tirto.id - Seorang ibu bisa merawat sepuluh anak, akan tetapi sepuluh anak belum tentu bisa merawat seorang ibu.
Peribahasa tersebut menyiratkan betapa tangguh seorang ibu dalam membersamai anaknya.
Sayangnya, di negara yang masih kental budaya patriarki seperti Indonesia, stigma negatif masih membayangi para ibu yang berjuang seorang diri dalam mengasuh anak atau disebut ibu tunggal (single mom).
Status janda yang melekat pada ibu tunggal kerap mendapatkan komentar-komentar negatif dari sebagian orang: dicap genit, perusak rumah tangga orang, dikasihani, punya anak yang bermasalah, bahkan tak jarang dijadikan objek candaan.
Tak hanya dari masyarakat umum, stigma dan candaan dengan konotasi negatif tentang single mom juga terlontar dari pejabat publik yang seharusnya memiliki kepekaan, kecerdasan, dan empati yang lebih tinggi.
Pada kontestasi Pilkada 2024 belum lama ini, saat menghadiri deklarasi dukungan dari sebuah organisasi masyarakat, calon wakil gubernur DKI Jakarta nomor urut 1 Suswono berkelakar soal janda.
Saat itu Suswono tengah membahas soal program Kartu Janda yang akan dipergunakan untuk memberikan bantuan kepada kalangan janda.
Setali tiga uang, Ridwan Kamil, calon gubernur Jakarta yang berpasangan dengan Suswono, melontarkan pernyataan yang menyepelekan janda dalam sebuah agenda kampanye. Pernyataannya lantas viral di media sosial.
“Nanti janda-janda akan disantuni oleh Pak Habiburokhman. Akan diurus lahir batin oleh Bang Ali Lubis. Akan diberi sembako oleh Bang Adnan. Dan, kalau cocok akan dinikahi oleh Bang Ryan,” kata Ridwan.
Usai viral, keduanya pun meminta maaf dan mengaku tidak bermaksud untuk merendahkan pihak mana pun.
Ya, narasi soal ibu tunggal dan stigma negatif memang telah ada sedari dulu.
Mengutip laman University of Huddersfield di Inggris, sebuah jajak pendapat pada 2014 lalu menemukan 75 persen orang tua tunggal pernah mengalami stigma.
Masih dari sumber yang sama, Dr Nicola Carroll yang meneliti tentang ibu tunggal mengungkap bahwa para ibu yang diwawancarainya menggambarkan perasaan terisolasi, terstigma, dan frustrasi dengan stereotip negatif.
"Beberapa orang bercerita kepada saya tentang komentar-komentar kritis yang dilontarkan oleh saudara, kolega, atau kenalan. Yang lain bercerita ‘dikucilkan’ dari lingkungan sosial mereka setelah perceraian atau tidak diundang ketika keluarga pasangan berkumpul untuk makan dan jalan-jalan," tulis Carroll dalam laporannya.
Budiana, seorang ibu tunggal dari seorang putra berusia 20 tahun sekaligus Ketua Yayasan Komunitas Single Moms Indonesia (SMI) mengaku sering menghadapi komentar kurang menyenangkan dari lingkungan di dekatnya seperti keluarga dan tetangga.
Demikian disampaikan Budiana saat berbincang dengan Diajeng Tirto baru-baru ini.
Namun demikian, kata dia, alih-alih fokus pada stigma negatif dari orang lain yang sulit dikontrol dan diubah, ia lebih memilih memakai energinya untuk melakukan hal lain yang lebih bermanfaat.
Hal itu juga yang selalu ia ingatkan kepada para ibu tunggal di komunitas SMI.
"Biarin aja dia mau ngomong apa. Orang mau ngomong apa jangan fokus ke situ, jangan didengarkan. Pakai energimu untuk hal-hal yang positif," imbuh Budiana.
Fokus Berjuang dan Berjalan ke Depan
Ajeng, anggota komunitas Single Mom Indonesia, termasuk yang memilih untuk tetap fokus menjadi ibu tunggal berdaya demi memberikan yang terbaik untuk putrinya yang berusia 11 tahun.
Selain bekerja sebagai marketing di salah satu studio animasi di Jakarta, Ajeng juga mengambil beberapa pekerjaan freelance di bidang industri kreatif dan aktif di komunitas.
Menurut Ajeng, sejak jadi ibu tunggal pada akhir 2018 lalu, ia mesti pintar-pintar membagi waktu antara pekerjaan dan mengasuh anak.
Bahkan, Ajeng mengaku beberapa kali mengajak sang anak yang saat itu masih kecil untuk ke kantor.
Ketika libur di akhir pekan, ada kalanya ia mengajak anaknya jalan-jalan ke luar rumah.
"Jadi kalau ditanya bagaimana atur waktunya, itu balik lagi ke skala prioritas—tergantung dari kondisi. Yang pasti, prioritas utama saya untuk keluarga," ujarnya.
Budiana menambahkan, salah satu cara menyeimbangkan perannya di rumah dan kantor adalah dengan memastikan perusahaan tempat ia bekerja mengetahui kondisinya sebagai orang tua tunggal.
Misalnya, dengan menyampaikan bahwa dirinya bisa berada di kantor pada jam 9 pagi karena harus lebih dulu menyiapkan bekal untuk anak di sekolah.
Begitu pula dengan kondisi-kondisi yang mengharuskannya hadir untuk kebutuhan anak, seperti saat anak sakit atau ambil rapor di sekolah.
"Jadi dari awal kantor sudah tahu saya adalah ibu tunggal ingin bekerja, tetapi saya juga punya tanggung jawab mengasuh anak. Boleh tidak sama kantornya? Dan biasanya kantornya bersedia, " papar Budiana yang saat ini bekerja sebagai direktur di sebuah kantor penerbitan.
Di samping itu, Budiana merasa bersyukur karena adanya support system dari pengasuh dan keluarga dalam mengurus anaknya. Apalagi, ia telah bercerai dari suami sejak anaknya lahir pada 2004 silam.
"Saya adalah one of the luckiest—I guess. Karena memang banyak sekali yang kurang beruntung, bahkan waktu bercerai pun dipersulit oleh keluarga. Saya kebetulan tidak, keluarga mendukung."
Kesempatan, Alih-Alih Penghakiman
Alih-alih dikasihani dan butuh diberikan santunan, sebenarnya ada hal lebih esensial yang dibutuhkan oleh ibu tunggal.
Ajeng menuturkan, ibu tunggal perlu didukung tanpa penghakiman, perlu diberikan kesempatan yang merata untuk bisa berdaya dan menafkahi anaknya.
"Juga diberikan support system dengan lebih secara sosialnya, psikologisnya, dengan cukup. Jadi tidak, keluarlah jokes-jokes tentang ibu tunggal itu," kata Ajeng.
Budiana berharap perempuan yang menjadi ibu tunggal karena perceraian bisa terpenuhi haknya dengan ketetapan hukum yang kuat.
"Misalnya kalau bercerai secara legal dan benar, itu kan selalu [ada putusan] anak di pihak siapa. Kemudian selalu ada ayahnya harus menyantuni [nafkah] anaknya sampai usia berapa dengan sejumlah berapa," kata Budiana.
"Ketika santunan itu tidak diberikan, perempuan tidak punya kesempatan untuk menuntut karena kekuatan hukumnya itu nyaris tidak ada," imbuhnya.
Budiana juga berharap suatu saat nanti pemerintah menyelenggarakan program-program pelatihan untuk ibu tunggal agar semakin tangguh dan berdaya.
Program pelatihan dan pemberdayaan ibu tunggal ini sudah dijalankan komunitas Single Moms Indonesia, misalnya melalui kelas merilis emosi dengan menulis, workshop tentang teknik mengelola emosi, diskusi daring tentang co-parenting, dan lain sebagainya.
"Kalau pemerintah belum bisa, kami coba dulu membuat yang kecil-kecilan. Memang tidak menjangkau banyak, hanya sepersekian, tapi mudah-mudahan sekecil apapun itu bisa berdampak," pungkas Budiana.
Penulis: Putri Annisa
Editor: Sekar Kinasih