Menuju konten utama

Keberanian Rahaf Mohammed, Hak Perempuan, dan Tren Ateisme di Saudi

Rahaf memberontak terhadap dua rezim yang membuat hidupnya menderita: keluarga dan negara. Kini ia hidup bebas di Kanada tanpa takut dibunuh karena telah keluar dari Islam.

Keberanian Rahaf Mohammed, Hak Perempuan, dan Tren Ateisme di Saudi
Kepala Polisi Imigrasi Thailand Mayjen Surachate Hakparn (kanan) mendampingi Rahaf Mohammed Alqunun sebelum meninggalkan Bandara Suvarnabhumi di Bangkok, Thailand. Imigration Police via AP.

tirto.id - Rahaf Mohammed al-Qunun memulai kehidupan baru di Kanada dengan membawa sejumlah perubahan yang cukup radikal.

Perempuan berusia 18 tahun itu tidak lagi menganut Islam, agama yang resmi dianutnya sejak akil baligh. Ia kini jauh dari keluarga yang ia tuduh telah mengakibatkan penderitaan fisik dan mental selama tinggal di Arab Saudi. Ia juga terbebas dari paksaan nikah muda yang dilayangkan kedua orang tua.

Semua itu tak gratis, memerlukan keberanian besar, dan membuahkan kisah yang dua minggu belakangan jadi konsumsi publik internasional. Salah satunya dilaporkan dengan baik oleh jurnalis ABC Australia Sophie McNeill yang menemani Rahaf selama Rahaf bertahan di Bandara Suvarnabumi, Thailand.

Rahaf berasal dari keluarga seorang gubernur wilayah al-Sulaimi di kawasan Ha’il, Saudi bagian utara. Pada awal Januari 2019, saat sedang berlibur di Kuwait, Rahaf memisahkan diri dari rombongan. Ia kemudian memesan tiket dan terbang Australia—untuk mencari suaka.

Keluarga Rahaf segera melapor ke pihak berwenang. Saat Rahaf sedang transit di Bandara Suvarnabumi, ia didekati seseorang pria yang meminta paspornya dengan alasan akan membantu mengurus visa. Belakangan diketahui bahwa pria tersebut adalah perwakilan kedubes Saudi yang ditugaskan untuk mencegah kepergian Rahaf ke Australia.

Rahaf diamankan petugas bandara. Sadar rencananya terancam gagal, ia membuka akun Twitter dan mencuit perihal aksi nekadnya. Ia turut menyatakan diri sebagai murtad dan takut akan dibunuh oleh keluarganya atas nama kehormatan keluarga (honor killing) jika dideportasi ke Saudi.

Pihak keamanan bandara kesulitan menjangkau Rahaf yang saat itu mengunci diri di kamar hotel. Rahaf hanya mau bertemu perwakilan PBB, mengklaim status sebagai pengungsi, dan memohon pejabat kedutaan berbagai negara Barat untuk membantunya mencari suaka.

Cuitannya segera mendapat dukungan dari publik internasional. Seorang pengacara Thailand membantunya agar deportasi batal terlaksana—dan berhasil. Pemerintah setempat makin tertekan sebab berita tentang Rahaf mengular ke mana-mana, demikian juga simpati untuk remaja kelahiran 11 Maret 2000 itu.

Singkat cerita, Australia batal jadi rumah baru Rahaf. UNHCR terlalu khawatir dengan keselamatannya, lalu memproses permohonan suaka ke Kanada, yang diteken hanya dalam waktu beberapa jam. Rahaf setuju dengan negara tujuan pilihan UNHCR.

Pada tanggal 11 Januari 2019 Rahaf diterbangkan ke Kanada melalui Seoul, Korea Selatan. Pada keesokan harinya ia tiba di tempat tujuan. Baru menginjak Bandara Internasional Toronto Pearson, Rahaf disambut orang-orang yang bersimpati padanya.

Kasus Rahaf menjadi pelik karena statusnya sebagai perempuan Muslim yang tinggal di negara ultra-konservatif serta punya rekam jejak buruk soal hak asasi manusia. Apalagi ia tinggal di sebuah keluarga yang hobi mengekang, yang akhirnya mendorong Rahaf untuk bertindak agresif.

Dalam wawancara pertamanya kepada Sophie, Rahaf mengungkap keinginan untuk menjadi pribadi yang mandiri, bebas dari tekanan, serta lepas dari bayang-bayang depresi. Ia menunjukkan sikap sebagai orang yang membenci tidak hanya keluarganya sendiri, tapi juga negara tempat ia lahir dan berkembang.

“Aku tidak bisa menikahi orang yang aku inginkan. Aku tidak bisa bekerja tanpa izin. Perempuan (di Saudi) bahkan tidak bisa berpergian sendiri,” katanya.

Izin yang ia maksud berasal dari wali laki-laki, baik suami, orang tua, atau saudara laki-laki. Keluarga Rahaf otomasi murka. Dalam pernyataan resmi yang diterima ABC Australia, selain meniadakan sosoknya, mereka juga berupaya merusak reputasi Rahaf dengan menuduh mentalnya tak stabil.

“Kami atas nama keluarga Mohammed al-Qunun di Arab Saudi. Kami telah menihilkan si perempuan bernama ‘Rahaf al-Qunun’ yang tidak stabil secara mental, yang telah menunjukkan perilaku menghina dan memalukan (keluarga).”

Rahaf tak menyangka keluarganya akan bersikap demikian. Tapi ia juga tak mau kalah. Nicolas Keung dari The Star melaporkan, setelah mengetahui sikap keluarganya, Rahaf kemudian berjanji tidak akan memakai nama belakang warisan keluarga (al-Qunun).

Rahaf terdengar sangat muak dengan sikap keluarganya, yang selalu mempermasalahkan keputusan-keputusannya, meski untuk hal yang remeh sekalipun. Ia mengaku pernah dikurung di rumah karena memotong rambut sependek rambut laki-laki—hal yang dianggap tidak pantas di mata ayah dan ibunya.

“Itu bentuk penindasan sehari-hari. Kami (perempuan Saudi) diperlakukan seperti objek, seperti budak,” ujar Rahaf, saat merinci perihal “penderitaan fisik dan mental” yang ia alami.

Sophie mengutip pendapat Ben Rich, dosen politik Timur Tengad di Curtin University, Australia, bahwa kasus perempuan yang kabur dari negara konservatif seperti Arab Saudi makin mudah dijumpai. Hal ini bukan berarti perempuan di sana telah mendapat kesetaraan yang ideal, katanya.

“Perempuan tetap masih ditempatkan ke dalam kategori warga kelas dua. Kebanyakan dari otonomi legal dan ekonomi mereka masih diatur dalam hukum perwalian. Mereka membutuhkan wali laki-laki—entah itu ayah, suami, atau dalam beberapa kasus anak laki-laki—dalam penentuan keputusan penting.”

Pengalaman Rahaf kerap dibandingkan dengan kasus yang dialami Dina Ali Lasloom. Dina adalah perempuan Saudi yang juga berusaha kabur ke Australia untuk mencari suaka sekaligus perlindungan diri.

Laporan sejumlah media Kanada yang diulas Deutche Welle menyebutkan Dina dihentikan oleh otoritas Filipina saat sedang transit di Bandara Internasional Ninoy Aquino, Manila, pada 10 April 2017. Dokumen-dokumennya disita petugas Zona Internasional, sehingga ia tak bisa bergerak kemana-mana.

Untungnya Dina punya kesempatan merekam video dengan bantuan seorang turis Kanada. Video yang kemudian viral di media sosial itu menampilkan Dina saat sedang berbicara dengan nada ketakutan:

“Jika keluargaku datang, mereka akan membunuhku. Jika aku dikembalikan ke Arab Saudi, aku pasti akan mati. Kumohon, tolong aku. Aku di sini ditahan selayaknya kriminal. Aku tidak bisa melakukan apapun.”

Dina tidak seberuntung Rahaf. Meski turut mendapat dukungan yang melimpah dari warganet, keluarganya lebih cekatan untuk menjemput dirinya di bandara. Dina dilaporkan sampai diseret karena mencoba melawan petugas. Ia kalah. Keesokan harinya, tanggal 11 April 2017, ia diterbangkan balik ke Riyadh.

Dalam konteks keyakinan, pengalaman Rahaf serupa dengan kisah Rana Ahmad. Radio France Internationale pada Oktober lalu melaporkan bagaimana Rana kabur dari keluarga dan negaranya karena terlalu ketat dalam mengontrol kehidupannya. Sumber yang sama juga menuturkan perjalanannya menjadi seorang ateis.

Kegelisahan Rana dimulai saat ia remaja. Ia dipaksa memakai jilbab serta “berperilaku selayaknya perempuan, bukan anak-anak”. Saat itu usianya baru 14 tahun, dan tidak melawan.

Pada usia 19 tahun ia dinikahkan oleh kedua orang tuanya. Setelah itu ia menjalani status sebagai istri muda sekaligus bertanya-tanya soal status quo yang membuat hidupnya tak nyaman. Semakin ia merenung soal agama, kebutuhan akan kebebasan, dan refleksi diri, Rana semakin rentan dipapar depresi.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, ia mulai menghabiskan waktu untuk belajar filsafat di internet. Dari situlah ia menemukan diskusi soal ateisme. Di masa itu pula suaminya mulai bersikap kasar. Suatu ketika, ia merasa tak tahan, lalu mengajukan cerai—sebuah langkah yang dianggap mencemarkan nama keluarga.

Setelah cerai Rana makin mendalami ateisme. Pada akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa agama yang dianut sejak kecil tidaklah cocok untuknya. Ia makin mantap menjadi ateis, namun awalnya masih belum terbuka. Ia masih berpura-pura menjalankan hidup secara relijius.

Dua-tiga tahun kemudian ia nekad: kabur dari Saudi tanpa memberi tahu siapapun. Ia meninggalkan keluarga dan temannya untuk memulai hidup baru di Eropa. Rana tidak pernah menyesali keputusannya. Ia bersyukur bisa hidup dengan bebas. Cuma kadang ia rindu ayah dan ibunya.

Menjadi ateis adalah sebuah pelanggaran hukum di Saudi. Hukumannya merentang mulai dari penyiksaan hingga pemenjaraan. Otoritas setempat juga memaksa para pelaku untuk mengikuti sesi pengajaran khusus agar mereka kembali mengikuti ajaran Islam setelah menyelesaikan masa hukuman.

Pada Maret 2014, sebagaimana dilaporkan Human Rights Watch dan dilansir Independent, Kementerian Dalam Negeri Saudi mengeluarkan dekrit kerajaan yang menyatakan bahwa pengikut ateisme adalah teroris.

Bagi mereka, salah satu definisi terorisme adalah “menyerukan pemikiran ateis dalam bentuk apapun, atau mempertanyakan dasar-dasar agama Islam di mana menjadi pondasi negara ini.”

Realitanya, entah disadari pemerintah setempat atau tidak, jumlah ateis di Saudi sedang mengalami tren peningkatan dalam beberapa tahun terakhir.

Ada banyak laporan yang mengungkap fenomena ini. Contohnya Survei WIN-Gallup International tahun 2012. Salah satu hasilnya menyatakan bahwa 19 persen dari 502 responden Saudi menyatakan mereka “tidak relijius”; 5 persen lainnya mengakui diri sebagai ateis.

Infografik Bebas Ala Rahaf

Infografik Bebas Ala Rahaf

Lima tahun silam Caryle Murphy menerbitkan laporan di kanal Salon dengan tajuk mencolok: “Ateisme berkembang pesat di Saudi Arabia, meski ada aturan yang melarangnya”.

Caryle mewawancarai seorang warga usia tiga puluhan asal Saudi yang mengaku sebagai ateis. Namanya Fahad, dan ia mengatakan kenal dengan “setidaknya enam ateis lain”. Caryle juga mengobrol dengan rekannya, seorang jurnalis asal Riyadh, yang mengonfirmasi tren popularitas ateisme di Saudi.

Rekan Caryle menyebutkan faktor penyebab yang rupanya turut digelisahkan narasumber lain: agama digunakan secara serampangan oleh otoritas untuk mengontrol warga. Orang-orang Saudi makin banyak yang muak dengan kondisi itu sebab tidak ada penghargaan terhadap interpretasi Islam yang lain.

Tak mengherankan jika ada beberapa pemuka agama yang menggunakan “ateis” sebagai label yang disematkan kepada orang yang mempertanyakan tafsir mereka atas isi Al Qur’an dan hadis, yang didominasi oleh aliran Wahabisme, tulis Caryle.

Para ateis di Saudi ini menyatakan sikapnya dalam berbagai cara. Mulai dari mengabaikan arahan pemuka agama, hingga menantang atau bahkan mengejek pemuka agama di media sosial.

Media sosial dan internet adalah dua “berkah” yang membuat para ateis Saudi tak lagi malu untuk beropini secara kritis. Mereka menggunakannya untuk diskusi perihal ateisme, menguatkan solidaritas, hingga alat untuk mengagendakan kegiatan kopi darat.

Pemerintah tetap menjalankan represi. Namun ideologi adalah sesuatu yang hampir mustahil untuk diberantas. Satu orang masuk penjara, lainnya tetap giat menyebarkan agenda. Sebagian bahkan menjadikan represi tersebut sebagai bahan bakar yang membuat mereka makin bersemangat.

Rahaf Mohammed, misalnya, menyadari bahwa dirinya pernah berada di fase yang berbahaya. Usai insiden di Bangkok ia bahkan masih menerima cacian hingga ancaman pembunuhan. Tapi, berkatnya, ia justru lebih bersemangat untuk membagikan cerita soal apa yang dialami oleh para perempuan Saudi.

“Aku bahagia. Seperti lahir kembali, berkat perasaan cinta yang datang dari orang-orang yang menanti kehadiranku di Kanada. (Pengalaman) itu layak dijalani meski taruhannya adalah nyawa. Sungguh perasaan yang indah,” ungkapnya, kembali mengutip The Star.

Baca juga artikel terkait ATEISME atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf