tirto.id -
"Ada batas embarkasi Jokowi sebagai presiden dan PDIP sebagai partai. Hasil survei kami elektabilitas Jokowi justru meningkat," kata Arya saat dihubungi Tirto, Kamis (14/9/2017).
Hasil survei tahunan CSIS mendapatkan angka tren elektabilitas Jokowi sebesar 36,1 persen pada 2015, kemudian meningkat lagi pada 2016 menjadi 41,9 persen, dan pada 2017 sebesar 50,9 persen. "Jadi hak angket tidak banyak mempengaruhi kandidat," sebut Arya.
Sebaliknya, menurut Arya, masyarakat menilai Jokowi dari kinerjanya. Hal itu terlihat dari tingginya kepuasan publik atas kinerja Jokowi selama memimpin. "Misalnya pada pembangunan infrastruktur itu 70,2 persen masyarakat cukup optimis," kata Arya.
Faktor lain, Jokowi tidak masuk dalam struktural PDIP meskipun pada 2014 diusung oleh partai tersebut. "PDIP justru mendapatkan tren kenaikan elektabilitas karena Jokowi. Terbukti hari ini elektabilitas PDIP masih yang paling tinggi dibanding partai lainnya," kata Arya.
Elektabilitas PDIP dari data CSIS saat ini adalah sebesar 35,1 persen. Angka itu jauh dibandingkan Gerindra sebagai oposisi mereka dalam Pilpres 2014 yang mendapat angka elektabilitas 14,7 persen di tahun 2017.
"Elektabilitas Prabowo juga stagnan saja. Tidak mengalami kenaikan signifikan. Tidak mengalami penurunan signifikan di angka 25,8 persen," ujar Arya.
Rabu kemarin (13/9), Sekjen Gerindra Ahmad Muzani menyatakan bersyukur dengan angka elektabilitas Prabowo tersebut. Menurutnya, angka itu terbilang bagus karena Prabowo belum melakukan apapun.
"(Hasil survei) Membangkitkan kami untuk terus bergerak meyakinkan rakyat mendukung beliau sebagai capres 2019," kata Muzani di DPR, (13/9).
Sejumlah partai pendukung Presiden Jokowi kini berada di Pansus Hak Angket KPK antara lain PDIP, Golkar, PPP, NasDem, dan Hanura. Jabatan Ketua Pansus Angket KPK diisi oleh Agun Gunandjar Sudarsa (Golkar). Sedangkan tiga wakilnya ialah Masinton Pasaribu (PDIP), Teuku Taufiqulhadi (NasDem), dan Dossy Iskandar (Hanura).
Ketua Pansus Hak Angket KPK Agun Gunanjar membantah bahwa Pansus akan melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebaliknya, Pansus Hak Angket bekerja untuk membentuk sistem pengawasan terhadap KPK.
"Pansus tidak bergerak pada koridor posisi melakukan pembekuan, pelemahan, atau diksi penguatan, itu kan akan timbul problem. Kalau dikatakan pelemahan, seperti apa? Dilakukan penguatan juga seperti apa? Lalu kalau jadi pembekuan, mekanismenya seperti apa?" kata Agun di Kompleks DPR Senayan, Senin (11/9/2017).
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Agung DH