Menuju konten utama

Kawanan Burung di Yogyakarta Itu Bermigrasi untuk Bertahan Hidup

Dari utara, mereka hendak bermigrasi ke Papua dan Australia untuk menghindari musim dingin ekstrem.

Kawanan Burung di Yogyakarta Itu Bermigrasi untuk Bertahan Hidup
ILUSTRASI. Sekelompok burung Common Teal terbang menyebrangi lahan basah pada hari musim dingin di pinggiran kota Srinagar, Senin (22/1/2018). ANTARA FOTO/REUTERS/Danish Ismail

tirto.id - Di sepanjang Jalan Mayor Suryotomo, Ngupasan, Yogyakarta terdapat pemandangan berbeda dari biasanya. Bercak-bercak putih tercecer di jalanan, di atas kabel-kabel listrik dan di beberapa bagian bangunan.

Bercak putih tersebut tak lain adalah tahi burung. Dalam beberapa hari terakhir, ratusan sampai ribuan burung kerap bertengger di daerah ini.

Kawanan burung ini hinggap bertengger di di kabel-kebal listrik, pohon, dan bangunan tua di sepanjang Jalan Mayor Suryotomo dari Perempatan Gondomanan ke utara hingga sekitar 400 meter sampai ke Hotel Melia Purosani.

Berdasarkan pengamatan reporter Tirto pada Jumat (23/11/2018) pagi, kotoran burung paling banyak terlihat di perempatan Gondomanan, pertemuan Jalan Mayor Suryotomo dan Jalan Panembahan Senopati, atau tepatnya timur Hotel Limaran. Dari Jalan Mayor Suryotomo ke utara, kotoran semakin sedikit, begitu pula dari Jalan Mayor Suryotomo menuju ke arah selatan.

Tahi burung itu tak hanya mengotori jalan, tapi juga menimbulkan bau tak sedap. Menurut Kepala Seksi Penanganan Sampah di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Haryoko, pembersihan juga mengandalkan air hujan. Saat hujan, tahi burung lebih mudah dibersihkan.

Menurut Haryoko, burung-burung itu umumnya adalah sriti dan kuntul. Sriti lebih banyak berada di bangunan tua dan kabel, sementara kuntul ada di pohon-pohon besar di sekitar perempatan Gondomanan.

Namun, Asman Adi Purwanto, anggota Paguyuban Pengamat Burung Yogyakarta, mengatakan burung-burung itu bukan Sriti atau Walet, melainkan layang-layang Asia.

"Orang Jawa mengenalnya burung Sriti karena pas terbang memang mirip burung Sriti, tapi kalau bertengger beda, Sriti atau Walet kan enggak bertengger," tutur Asman saat dihubungi reporter Tirto pada Jumat (23/11) siang.

Layang-layang Asia yang bernama latin Hirundo rustica adalah burung berukuran sekitar 20 cm dengan bulu ekor memanjang. Tubuhnya berwarna biru mengkilap dan putih. Tubuh bagian atas berwarna biru baja, pinggir tenggorokan kemerahan, perut putih, dan ada garis biru pada dada atas. Ekornya sangat panjang dengan bintik putih dekat ujung bulu.

Burung ini hampir ada di seluruh bumi bagian utara, terdiri dari delapan sub-spesies yang mewakili habitat asal masing-masing. Mereka berbiak di belahan utara dan jika musim dingin tiba mereka bermigrasi ke selatan melalui Afrika, Asia Tenggara, Filipina, dan Indonesia menuju Papua dan Australia.

Mencari Sumber Makanan

Migrasi burung adalah hal lazim. Ditulis All About Birds, setidaknya ada tiga jenis migrasi yang ditunjukkan oleh kawanan burung. Pertama, migrasi jarak dekat dari ketinggian satu ke ketinggian lainnya. Yang kedua adalah migrasi jarak menengah, yaitu dari satu provinsi ke provinsi lainnya. Jenis terakhir adalah migrasi jarak jauh yang merentang antar-negara bahkan lintas-benua.

Asman mengatakan ribuan burung layang-layang Asia dari belahan utara seperti Siberia, Rusia, Mongolia, dan Cina ini bermigrasi ke selatan dan singgah di Indonesia untuk menghindari cuaca dingin ekstrem di habitat asalnya sana. Cuaca ekstrem membuat persediaan makanan sulit didapat, sehingga mereka terpaksa harus bermigrasi untuk mencari sumber makanan baru.

"Itu siklus yang terjadi setiap tahun. Mereka akan ada di situ [Yogya] dengan jumlah banyak mulai awal Oktober setiap malam sampai pagi. Siangnya mereka menyebar ke seluruh Yogya untuk cari makan. Sore kembali. Terus terjadi sampai bulan Februari. Setelah itu mereka bergeser ke bumi sisi utara ke habitat asal mereka untuk berkembang biak. Nanti Agustus September bergerak lagi ke selatan," jelas Asman.

Ada juga kawanan layang-layang Asia yang tetap memilih tinggal di Yogya, meski jumlahnya tak signifikan. Biasanya, mereka yang tinggal adalah burung-burung yang masih muda dan belum dapat kawin.

Beberapa tahun lalu, kelompok pengamat dan peneliti burung di Yogyakarta bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga melakukan sejumlah penelitian terhadap burung layang-layang Asia ini. Mereka menangkap beberapa ekor dan memberi tanda cincin khusus yang aman pada tungkai kaki burung.

Profesor Ekologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Suwarno Hadisusanto mengatakan ada beberapa kemungkinan alasan burung-burung itu memilih untuk beristirahat di sekitar Perempatan Gondokusuman: adanya pohon besar serta lokasi dekat kali dan bangunan tua.

"Karena ada pohon besar selain itu juga karena dekat dengan tempat cari makan, kan di situ dekat dengan Kali Code," ujar Suwarno saat dihubungi Tirto, Jumat (23/11/2018). Pohon yang cukup tinggi, rindang, dan berdahan banyak serta bangunan tua dimanfaatkan untuk tempat berlindung.

Layang-layang Asia hanyalah salah satu dari beragam burung lainnya yang bermigrasi ke Indonesia di akhir tahun. Dilansir Mongabay, ada sekitar 19 jenis burung raptor atau burung pemangsa yang singgah di Indonesia. Contohnya adalah spesies sikep-madu asia (Pernis ptilorhyncus), elang-alap cina (Accipiter soloensis), elang-alap nipon (Accipiter gularis), baza hitam (Aviceda leuphotes), elang kelabu (Butastur indicus), dan alap-alap kawah (Falco peregrinus).

Infografik Migrasi Burung

Tiap tahun, ribuan burung raptor bermigrasi ke belahan bumi selatan melalui dua jalur. Pertama, via koridor daratan sebelah timur (Eastern inland corridor) yaitu dari tenggara Siberia ke timur Cina, menuju semenanjung Malaysia, masuk ke Indonesia dan mendarat di Jawa, Bali dan Lombok.

Kedua, via koridor Pantai Pasific (Coastal pacific corridor) yaitu dari timur Rusia, melewati Kepulauan Jepang dan Taiwan, lalu ke selatan Filipina dan merapat di wilayah Sunda Besar.

Dalam perjalanannya, raptor biasa terbang siang hari. Saat malam tiba, mereka mencari tempat singgah sementara untuk beristirahat (roosting). Di tempat istirahat, mereka dapat menghabiskan waktu tiga sampai 14 hari sekaligus mencari makan dan kemudian kembali melanjutkan perjalanannya (stop over).

“Dalam sekali migrasi, mereka dapat terbang hingga jarak 15.000 kilometer dengan waktu tempuh 50–70 hari,” ungkap Zaini Rakhman, Ketua Raptor Indonesia (Rain) saat memaparkan perilaku raptor bermigrasi, pada peringatan Hari Migrasi Burung Sedunia 2017.

Tantangan dalam mengkonservasi burung migrasi adalah kurangnya pengetahuan-populer soal burung-burung ini. Ada anggapan bahwa daging burung migrasi enak sehingga layak diburu. Atau, dugaan bahwa burung asing yang membawa virus flu burung. Perubahan iklim, bencana alam, serta kerusakan hutan adalah ancaman lainnya yang mengintai para burung migrasi.

Yogyakarta bukan satu-satunya tempat singgah bagi burung-burung ini. Keberapa daerah lain di Indonesia diketahui pernah atau sering menjadi tempat migrasi burung dari belahan bumi utara, seperti di Riau, Jambi, Palembang, Lampung, Malang, Bali, Bogor, Banyuwangi, Lombok, dan lainnya.

Baca juga artikel terkait PERUBAHAN IKLIM atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Humaniora
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani