Menuju konten utama

Kawan-Kawan Soeharto yang Terlibat G30S

Letkol Untung maupun Kolonel Latief punya hubungan dekat dengan Soeharto.

Kawan-Kawan Soeharto yang Terlibat G30S
Letnan Kolonel Untung, komandan pengawal Presiden Indonesia yang memimpin kudeta yang gagal melawan Presiden Sukarno pada Oktober 1965. AP Photo

tirto.id - Adalah fakta bahwa para pelaku penting G30S, pernah jadi anak buah daripada Soeharto di masa lalu. Para pelaku penculikan disebut-sebut berasal dari pasukan pengawal presiden Sukarno, Tjakrabirawa. Namun, pasukan penculik dari Tjakrabirawa yang dibawa Letnan Kolonel Untung adalah berasal dari Banteng Raiders.

Tak hanya Untung, Sersan Mayor Bungkus pun berasal dari Banteng Raiders Jawa Tengah. Begitu juga Pembantu Letnan Dua Djahurup dan Letnan Satu Dul Arief. Kata Bungkus kepada Ben Anderson dan Arief Djati dalam "The World of Sergeant-Major Bungkus" (yang dimuat di Jurnal Indonesia No. 78 Oktober 2004), trio Bungkus, Djahurup, dan Dul Arief ditempatkan di Keresidenan Besuki, Jawa Timur waktu revolusi melawan Belanda. Setelah dikirim ke Seram (melawan RMS) mereka bertiga yang tergabung dalam kesatuan Anjing Laut, ditempatkan di Jawa Tengah.

Waktu Soeharto jadi Panglima di Jawa Tengah, mereka sudah di sana. Bungkus dan kawan-kawan termasuk Banteng Raider yang dimasukan ke Tjadangan Umum Angkatan Darat—yang belakangan jadi Kostrad. Setelahnya, masuklah ia ke Tjakrabirawa, di bawah komando Untung. Begitu juga Djahurup dan Dul Arief.

Untung, sepengakuan Soeharto, dalam Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989:123), bukan orang yang asing baginya. ”Saya mengenal Untung sudah lama dan sejak menjadi komandan resimen 15 di Solo, di mana Untung menjadi salah satu komandan kompi Batalyon 444," ujar Soeharto.

Batalyon yang bermarkas di Kleco, Solo, tersebut dipimpin Mayor Sudigdo dan dikenal sebagai Batalyon Digdo. Untung yang kelahiran Kebumen tidak asing dengan Solo karena sekolah di Solo. Dalam biografinya, Soeharto menekankan bahwa Untung pernah dapat pendidikan politik dari tokoh PKI Alimin yang termasuk Pahlawan Nasional.

Bahkan, tulis Subandrio dalam Kesaksianku tentang G-30-S (2000: 47), Soeharto beserta Bu Tien hadir ketika Untung menikah di Kebumen. Seorang atasan hadir dalam hajatan keluarga bawahannya memang merupakan hal biasa di Indonesia. Tak hanya ke hajatan Untung, Soeharto, juga menghadiri acara khitanan anak Abdul Latief.

Seperti Untung, Latief juga bukan orang baru bagi Soeharto. Sama seperti Soeharto, Latief juga hadir dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Latief, dalam bukunya Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto terlibat G 30 S(2000:95), mengaku banyak pemuda meninggal karena pertempuran jelang siang setelah pendudukan 6 jam Jogja itu.

“Di desa Sudagaran atau Kuncen kira-kira jam 12.00 siang bertemulah saya dengan komandan Wehrkreisse Letkol Soeharto... waktu itu beliau sedang beristirahat menikmati soto babat,” tulis Latief. Soeharto bukannya menawari, malah dia menyuruhnya untuk bertempur lagi.

Setelah 1949, Latief berada di bawah komando Soeharto, termasuk ketika dikirim Sulawesi Selatan. Setelahnya, Latief bertugas di Jawa Tengah. Latief mengaku dia pernah diperintahkan Soeharto untuk memimpin batalion yang anggotanya mayoritas orang Madura yang pernah bertugas di Sulawesi. Waktu penumpasan PRRI di Sumatra, Latief termasuk perwira Diponegoro yang dikirim ke sana.

Letief mengaku dirinya pernah diminta Soeharto untuk menjadi Komandan Brigade Infanteri Para dalam Operasi Pembebasan Irian Barat: Trikora. Untuk itu, Latief mengaku pernah latihan terjun payung bersama Try Sutrisno. Setelah Trikora berlalu dan Latief juga lulus Seskoad, Latief menjadi Komandan Brigade Infanteri Jaya Sakti di Jakarta, yang baru saja dibentuk. Ketika Asian Games 1962, Latief kebagian jatah tugas keamanan di sana.

Waktu itu, Soeharto juga berada di Jakarta sebagai Panglima Kostrad dengan pangkat Mayor Jenderal. Latief tidak di bawah Soeharto kala itu, melainkan di bawah Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, Panglima KODAM. Soeharto pernah meminta kepada Umar agar Latief ditempatkan menjadi komandan satuan tugas di Kalimantan Timur, tapi Umar menolak.

Semua tahu belakangan Latief terlibat dalam G30S. Beruntungnya dia tidak dihukum mati. Hingga setelah Soeharto lengser, Latief termasuk perwira yang berani bilang Soeharto terlibat G30S, seperti judul bukunya.

“Dua hari sebelum peristiwa tanggal 1 Oktober 1965, saya beserta keluarga mendatangi rumah keluarga Bapak Jenderal Suharto di Jalan Haji Agus Salim,” aku Latief dalam bukunya (2000:277).

Latief mengaku mereka bicara soal Dewan Jenderal. Selain urusan terkait negara, Latief pernah mengajak Soeharto bertukar rumah. Latief melihat rumah Soeharto sebagai jenderal terlalu kecil. Sementara itu Latief yang pangkatnya masih kolonel dapat rumah agak besar di Jalan Jambu, Jakarta.

Di malam penculikan, Soeharto ada di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto karena anak bungsu kesayangannya, Hutomo Mandala Putra sedang dirawat setelah ketumpahan sop panas.

“Kira-kira pukul sepuluh malam saya saya sempat menyaksikan Kolonel Latief saya di depan zaal tempat Tommy dirawat,” aku Soeharto.

Infografik Sahabat Lawas Soeharto

Infografik Sahabat Lawas Soeharto

Selain dengan dua perwira Jawa Tengah itu, Soeharto juga kenal dengan Syam Kamaruzaman, orang yang dianggap sebagai Biro Khusus Partai Komunis Indonesia (PKI).

Harry Tjan Silalahi, dalam biografinya yang disusun J.B. Sudarmanto, Tengara Orde Baru: Kisah Harry Tjan Silalahi (2004:179), mengatakan bahwa Soeharto dan Syam berkenalan di Marx House, Pathuk, Yogyakarta. Tempat itu adalah tempat diskusi yang dikelola Sutan Syahrir dari Partai Sosialis Indonesia (PSI). Des Alwi dalam Pak Harto: The Untold Story (2011:62) juga mengatakan bahwa Soeharto memang sering nongkrong di daerah Pathuk itu. Tidak ada yang salah jika Soeharto rajin datang diskusi di Pathuk. Namun, Soeharto bukan tipikal pemuda yang suka mendalami sebuah pemikiran. Dia lebih terlatih sebagai komandan para serdadu ketimbang pemuda pemikir macam Syahrir.

Baik Syam, Latief dan Untung tidak pernah muncul batang hidungnya sebagai orang bebas di zaman Orde Baru. Untung dieksekusi, Latief menjalani hidup sebagai tahanan politik, dan Syam tidak pernah jelas nasibnya. Meski mereka pernah berdekatan dengan Soeharto, garis sejarah pada akhirnya memisahkan mereka.

Baca juga artikel terkait G30S atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nuran Wibisono