Menuju konten utama

Kasus Suap Wali Kota Pasuruan Pakai Kode Apel Hingga Trio Kwek-Kwek

"Teridentifikasi penggunaan sandi dalam kasus ini," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.

Kasus Suap Wali Kota Pasuruan Pakai Kode Apel Hingga Trio Kwek-Kwek
Wali Kota Pasuruan Setiyono bersiap untuk menjalani pemeriksaan seusai terjaring operasi tangkap tangan (OTT), di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (5/10/2018). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar.

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Walikota Pasuruan Setiyono dan tiga orang lainnya sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek di Pasuruan. KPK pun mengungkap penggunaan kode-kode aksi yang dilakukan Setiyono dkk.

"Teridentifikasi penggunaan sandi dalam kasus ini," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan (5/10/2018).

Kode-kode itu antara lain, "apel" yang berarti fee proyek; kemudian "ready mix" yang berarti campuran semen; "Kanjengnya" yang diduga berarti Walikota Setiyono; dan "Trio Kwek-Kwek" merujuk pada tiga orang kepercayaan Setiyono yang bertugas mengurus fee proyek.

Setiyono ditetapkan tersangka oleh KPK karena diduga menerima suap dari perusahaan rekanan terkait dengan proyek pembangunan Pusat Layanan Usaha Terpadu - Koperasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (KLUT-KUMKM). Proyek ini dibiayai dengan APBD 2018.

Selain menetapkan Setiyono, KPK juga menetapkan 3 orang lainnya sebagai tersangka. Mereka antara lain Staf Ahli/Plh Kepala Dinas Pekerjaan Umun Kota Pasuruan Dwi Fitri Nurcahyo; staf Kelurahan Purutrejo Wahyu Tri Hardianto; dan Muhammad Baqir selaku swasta yang diduga sebagai penyuap.

Alex menerangkan, diduga Walikota Setiyono telah mengatur proyek-proyek di Pasuruan. Pengaturan itu dilakukan oleh 3 orang stafnya yang dijuluki "Trio Kwek-Kwek".

Setiyono diduga menerima fee sebesar 5%-7% untuk masing-masing proyek bangunan dan proyek pengairan.

Untuk kasus pembangunan KLUT-KUMKM ini, Setiyono diduga menerima sekitar Rp200 juta atau 10% dari Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang mencapai Rp2,29 miliar. Selain itu, perusahaan rekanan juga harus membayar sekitar Rp20 juta atau 1% dari HPS sebagai jatah untuk pokja.

Pemberian ini dilakukan secara bertahap yakni, pertama, pada tanggal 24 Agustus 2018 Muhammad Baqir memberikan Rp20 juta ke Wahyu Tri melalui transfer. Uang ini merupakan jatah 1% untuk Pokja. Uang ini diberikan sebagai tanda jadi.

Kemudian, pada 7 September 2018 selepas perusahaan Baqir dinyatakan memenangkan lelang, Baqir mentransfer lagi uang sebesar Rp 115 juta (5%) ke rekening orang kepercayaan Setiyono.

Sisanya 5% lagi baru akan dibayarkan setelah Baqir menerima uang muka (pembayaran termin pertama).

Atas perbuatannya ini, Setiyono dan dua orang penerima lainnya disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

Sementara Muhamamad Baqir selaku penyuap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Baca juga artikel terkait OTT KPK PASURUAN atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri