tirto.id - Muhammad Romahurmuziy (Romi) terjaring operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jawa Timur, Jumat (15/3/2019). Saat ini, Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu sedang menjalani pemeriksaan intensif di Polda Jatim.
Kabid Humas Polda Jawa Timur, Kombes Pol Frans Barung Mangera dan Ketua KPK Agus Rahadjo pun telah mengonfirmasi penangkapan pria yang akrab disapa Romi itu. “Betul, ada giat KPK di Jawa Timur, saat ini sedang dilakukan pemeriksaan oleh KPK yang bertempat di Polda Jawa Timur,” kata Agus.
OTT yang menyeret Romi ini menambah daftar panjang ketua umum parpol yang menjadi pesakitan komisi antirasuah. Sebab, sejak 2013, KPK telah menciduk beberapa pimpinan partai, mulai dari Anas Urbaningrum (Demokrat), Luthfi Hasan Ishaaq (PKS), Suryadharma Ali (PPP), dan Setya Novanto (Golkar).
Bagaimana siasat parpol yang pimpinannya tiba-tiba terciduk KPK?
Mengundurkan Diri
Sejumlah parpol meresponsnya beragam, mulai dari menggelar rapat internal hingga meminta sang pemimpin partai mundur dari jabatannya. Dalam kasus korupsi yang menjerat Luthfi Hasan, misalnya, ia langsung mengundurkan diri sebagai presiden PKS setelah resmi tersangka.
“Saya mengundurkan diri sebagai presiden PKS, dan kepada ketua Majelis Syuro agar dapat diproses secara organisasi,” kata Lutfi saat meninggalkan gedung KPK, 31 Januari 2013, seperti dikutip Antara.
Akan tetapi, bukan berarti PKS pasrah dan menyerahkan sepenuhnya kasus Lutfi itu ke KPK. Sebab, Anies Matta, pengganti Lutfi justru menuding kasus yang menjerat rekan partainya itu sebagai sebuah konspirasi besar.
Anis Matta pun mengajak semua kader partai untuk melawan gerakan pemberantasan korupsi yang disebutnya sudah bersifat tirani itu. “Yang dihadapi PKS adalah sebuah konspirasi besar yang ingin bertujuan hancurkan partai ini,” kata Anis saat sehari usai Lutfi mundur.
Hal yang sama juga dilakukan Anas Urbaningrum. Ia menyatakan mundur sebagai ketua umum setelah ditetapkan tersangka oleh KPK dalam kasus korupsi proyek Hambalang.
“Kalau saya punya status hukum sebagai tersangka, maka saya akan berhenti sebagai ketua umum Partai Demokrat,” kata Anas dalam keterangan pers, di Kantor DPP Demokrat, pada 23 Februari 2013.
Meski Anas menyatakan akan mengikuti proses hukum, tapi dia tetap yakin bahwa status tersangka atas dirinya lebih karena faktor-faktor non-hukum. Ia juga menegaskan dirinya tidak terlibat dalam proses pelanggaran hukum kasus Hambalang.
Namun, sebelum Anas mundur sebagai ketua umum, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), selaku Ketua Dewan Pembina yang juga Ketua Majelis Tinggi Demokrat telah mengambil alih langsung kepemimpinan untuk menyelamatkan partai, apalagi elektabilitas Demokrat terjun bebas menjelang Pemilu 2014.
Hal itu dilakukan Majelis Tinggi Demokrat sebagai solusi pertama untuk mengatasi kisruh internal. Sebab, pemberitaan seputar status hukum Anas itu santer usai sprindiknya bocor. Apalagi sejumlah petinggi partai mendesak agar ia mundur dari posisi ketua umum.
“Ketua majelis tinggi partai bertugas, berwenang, dan bertanggung jawab untuk memimpin penyelamatan dan konsolidasi partai,” kata SBY kala itu.
Rapat yang digelar Majelis Tinggi Demokrat juga menghasilkan sejumlah poin penting lainnya. Di antaranya: segala keputusan, kebijakan, dan tindakan partai ditentukan dan dijalankan Majelis Tinggi partai, serta mewajibkan semua kader menandatangani pakta integritas.
Novanto Ogah Langsung Mundur
Berbeda dengan sikap Golkar yang tidak langsung mengambil alih kepemimpinan partai dari Setya Novanto.
Meski berkali-kali partai berlambang beringin ini menggelar rapat internal, tapi posisi Novanto sebagai ketua umum tetap bertahan hingga Airlangga Hartarto ditetapkan sebagai ketum baru dalam Munaslub Golkar.
Bagaimana dengan sikap PPP usai Romi diciduk KPK? Hingga artikel ini ditulis, sejumlah petinggi PPP belum memberikan pernyataan resmi. Ruangan Fraksi PPP yang berada di lantai 15 Gedung Nusantara 1, terlihat sepi usai OTT KPK.
Editor: Jay Akbar