tirto.id - "Target kita di bulan Mei ini harus betul-betul tercapai sesuai dengan target yang kita berikan, yaitu kurvanya sudah harus turun. Dan masuk pada posisi sedang di Juni, di bulan Juli harus masuk posisi ringan. Dengan cara apa pun," kata Jokowi saat membuka rapat kabinet paripurna seperti disiarkan akun YouTube Sekretariat Presiden, Rabu (6/5/2020).
Pernyataan Jokowi bukannya tanpa alasan. Selama hampir dua bulan imbauan kerja dari rumah (WFH) dilaksanakan, berbagai sektor ekonomi terpukul. Beberapa yang paling terpukul adalah bisnis hotel dan pariwisata.
Sampai medio April 2020, ribuan hotel di seluruh Indonesia tutup. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan Roeslani menyebut jumlahnya mencapai 1.650 hotel. Salah satu franchise yang mencapai 700 hotel bahkan menutup 300 hotelnya. Situasi ini tak berubah banyak sampai bulan Mei. Penyedia layanan akomodasi dan wisata Airy bahkan memutuskan menghentikan operasinya di bulan kelima tahun ini.
Pandemi Corona yang belum berhenti jadi sebab utamanya.
“Kami telah melakukan upaya terbaik kami untuk mengatasi dampak dari bencana (internasional) ini. Namun, mengingat penurunan teknis yang signifikan dan pengurangan sumber daya manusia yang kami miliki saat ini, kami telah memutuskan untuk menghentikan (kegiatan) bisnis kami secara permanen," terang manajemen Airy dalam pernyataan resminya.
Beberapa perusahaan harus mengurangi pengeluaran di saat pemasukan menipis, bahkan nihil. Meski tidak ada yang menyajikan data pasti, tetapi pihak-pihak yang fokus pada masalah tenaga kerja sepakat jumlah pekerja terdampak mencapai jutaan orang. Kadin mencatat enam juta orang telah dirumahkan. Kementerian Tenaga Kerja mendata 1,7 juta orang diberhentikan perusahaan. Bappenas menyatakan 2-3,7 juta orang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Seperti yang dinyatakan Jokowi, jika pandemi Corona tidak berhasil melunak pada Juli 2020, bukan tidak mungkin jumlah pekerja terdampak akan meningkat drastis. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengaku hanya mampu bertahan tanpa pemasukan hingga tiga bulan, terhitung sejak Maret 2020.
Klaim Terburu-buru
Indonesia tidak sendirian. Sejumlah negara lain juga berlomba-lomba mengklaim telah menurunkan angka penyebaran Corona. China, misalnya, sebagai episentrum Corona, mengklaim kemenangan atas virus Corona, sebagaimana disampaikan oleh pemimpin tertinggi China Xi Jinping. Awal Maret 2020, Jinping mengunjungi Wuhan, tempat Corona pertama menyebar.
Alasan klaim kemenangan itu karena kasus penyebaran Corona di China mengalami penurunan drastis. Pada hari Jinping pergi ke Wuhan, Senin (9/3/2020) kasus baru Corona menyentuh angka 19, penambahan kasus terendah selama Corona menyebar di China sejak pandemi ini menjadi isu nasional di Negeri Tirai Bambu.
Sejak minggu sebelumnya, kasus Corona di China juga sudah menurun hingga sekitar 100 orang dan terus berkurang sampai puluhan, kemudian belasan. Tidak heran China, menurut WHO, sukses menangani penyebaran Corona.
Kendati penurunan fantastis ini merupakan suatu kesuksesan, klaim kemenangan masih sangat prematur. Washington Post mencatat China mengidentifikasi penambahan kasus hanya berdasarkan hasil tes positif dan gejala virus Corona, seperti batuk atau sesak nafas. Namun China mengesampingkan mereka yang juga mendapat hasil tes positif tanpa gejala terjangkit virus Corona.
“Tidak bisa dipastikan bahwa transmisi [virus Corona] sudah benar-benar berhenti,” kata salah satu sumber tanpa nama dari Chinese Center for Disease Control and Prevention.
Di Indonesia, klaim terburu-buru ini punya gaya berbeda.
Setelah Jokowi menginginkan kurva kasus baru Corona turun, Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy tiba-tiba angkat bicara dua hari setelah rapat kabinet. Ia menyatakan angka penyebaran atau kasus baru Corona sudah turun meski tak drastis.
“Per 7 Mei, ada kecenderungan angka kasus yang terjadi di Indonesia mengalami penurunan walaupun tidak terlalu drastis. Tingkat kesembuhan juga mengalami kenaikan," terang Menteri Koordinator PMK Muhadjir Effendy dalam konferensi video lewat saluran YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (8/5/2020).
Klaim ini menimbulkan pertanyaan menilik setiap hari kasus terkonfirmasi positif Corona masih terus bertahan di atas 100 orang sejak April 2020. Titik terendah penambahan kasus ada pada 4 April dengan 106 pasien positif, dan setelahnya 185 pasien pada 20 April.
Baik pada April dan Mei, kurva masih naik-turun. Namun, bila dihitung dari jangka waktu seminggu terakhir saja, klaim Muhadjir jelas keliru. Sejak 1 hingga 7 Mei, ada total 2.658 penambahan pasien. Seminggu sebelumnya, antara 24 dan 30 April hanya ada 2.343 pasien baru Corona.
Penambahan angka terbanyak juga terjadi pada 5 Mei ketika ada 484 pasien baru yang teridentifikasi terjangkit Corona. Setelah muncul klaim Muhadjir, pasien positif Corona bertambah lagi menjadi 533 orang tanggal 9 Mei--penambahan kasus terbanyak dalam 1 hari sejak Maret 2020.
Kita bandingkan minggu pertama. Pada minggu pertama Maret, pasien Corona di Indonesia masih bisa dihitung dengan jari, yakni sebanyak empat orang. Akhir Maret, angka ini menjadi 1.528 orang. Pada minggu pertama April, jumlahnya menjadi 2.738, ada penambahan 1.210 pasien. Sedangkan di akhir April, jumlahnya menjadi 10.118. Minggu pertama Mei, angka ini bertambah lagi menjadi 12.776. Jelas, lonjakan pasien di minggu pertama paling banyak terjadi di bulan Mei 2.658 orang.
Membandingkan jumlah lonjakan kasus terkonfirmasi Corona selama satu bulan tentu tidak tepat. Faktanya, bulan Mei baru berjalan setengah bulan. Peningkatan kasus tertinggi memang terjadi pada April dengan jumlah 8.590 pasien dalam jangka waktu 30 hari. Namun, jika menilik penambahan di bulan Mei sebanyak 4.631 pasien dalam 12 hari, bukan tidak mungkin kasus baru di bulan Mei akan melebihi bulan April.
Kurva dan data ini sebenarnya tidak bisa menggambarkan seutuhnya kondisi riil di lapangan. Pengujian untuk mengidentifikasi seseorang terjangkit Corona atau tidak biasanya memakan waktu lebih dari satu hari, untuk mendapat hasil yang akurat. Sejauh ini, kurva laju infeksi harian itu belum dimiliki Indonesia. Bisa jadi pasien yang dites hari Selasa, masuk penambahan kasus untuk hari Kamis.
Namun, klaim pemerintah, termasuk Gugus Tugas COVID-19 dan Muhadjir bahwa kasus Corona menurun terlalu dini, jika bukan keliru. Sejauh ini niat Jokowi untuk menurunkan kurva penyebaran Corona “dengan cara apapun” hanya bisa diimplementasikan jajarannya dalam bentuk kekeliruan membaca data.
Penelitian yang dilakukan peneliti asal Fred Hutchinson Cancer Research Center, Laura Matrajt dan Tiffany Leung mencoba menelaah kapan puncak pandemi terjadi sejak kasus pertama. Pengukuran CDC memakai batas waktu orang bisa terjangkit Corona sebelum akhirnya sadar dan dikarantina selama lima hari.
Dalam lima hari tersebut, hasil penelitian yang dimuat di situs Centers for Disease Control and Preventionyang berbasis di Amerika Serikatmemprediksi bahwa puncak pandemi akan terjadi pada 85 hari setelah kasus pertama atau sekitar tiga bulan. Perkiraan berakhirnya pandemi adalah pada hari ke-125 setelah kurva setiap harinya terus mengalami penurunan. Jika waktu terinfeksi seseorang mencapai delapan hari sebelum terdeteksi, bukan tidak mungkin puncak pandemi akan lebih lama, begitu pula penurunan kurvanya.
Matrajt dan Leung juga menggunakan skema jaga jarak atau social distancing untuk memperkirakan puncak pandemi. Dengan waktu infeksi selama lima hari dan jaga jarak dilakukan pada hari ke-50 setelah kasus pertama, puncak pandemi menjadi lebih lambat 40 hari dengan jaga jarak.
Sampai sekarang puncak pandemi Corona di Indonesia masih belum terprediksi. Pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga Laura Navika Yamani menyatakan minimnya tes Corona di Indonesia menyulitkan prediksi puncak pandemi di Indonesia. Sejauh ini pemerintah mengklaim alat tes yang dimiliki Indonesia bisa melakukan pengujian 10.000 spesimen per hari. Di lapangan, pengujian hanya efektif dilakukan 4.000-5.000 per hari.
Dengan demikian, penurunan angka terkonfirmasi Corona bukanlah jaminan bahwa Indonesia sedang membentuk kurva landai atau menurunkan kurva penderita Corona. Angka penurunan, menurut Laura, seperti dilansir BBC, bisa jadi palsu. "Akibatnya, orang awam bisa berpikir kasusnya mereda, dan bisa muncul keinginan untuk beraktivitas di luar".
Tanpa penurunan itu, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang tengah berjalan rupanya jugatidak efektif. Riset dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA menunjukkan bahwa PSBB di 18 daerah Indonesia belum berjalan efektif akibat masih penambahan kasus terkonfirmasi tiap hari.
Di samping PSBB yang tak efektif, sudah lewat 85 hari sejak kasus pertama Corona muncul di Indonesia dan puncak pandemi belum diketahui. Visi Jokowi menurunkan pasien terkonfirmasi Corona ke angka ringan dalam tiga bulan bisa jadi terhambat atau bahkan terlalu muluk untuk diwujudkan.
Editor: Windu Jusuf