tirto.id - Kasus pengaturan skor sudah menetapkan 15 tersangka. Kasusnya kini masih dalam proses penyidikan di kepolisian, dan pasti dilimpahkan ke Kejaksaan buat segera disidangkan.
Namun, proses tersebut belum tentu bisa berjalan lancar. Selain karena ada mekanisme administratif menyangkut kelengkapan barang bukti dan dokumen, ada potensi intervensi yang dikhawatirkan muncul.
Kekhawatiran itu setidaknya seperti yang dirasakan Emerson Yuntho, aktivis antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch sekaligus pemerhati sepakbola. Dasar kekhawatiran itu adalah keberadaan Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Noor Rochmad dan Daru Tri Sadono, koordinator pada Jampidum dalam susunan Komite Adhoc Integritas PSSI yang dibentuk.
“Bukan hanya kekhawatiran tapi kecurigaan. Jadi curiga karena semangat Komite Adhoc Integritas PSSI ini bisa mengganggu proses penyidikan,” kata Emerson kepada reporter Tirto, Jumat (22/2/2019).
Emerson meminta dua jaksa itu mundur dari Komite Adhoc Integritas PSSI. Ia khawatir konflik kepentingan dua jaksa ini nantinya menghambat penuntasan kasus. Konflik kepentingan ini juga dikhawatirkan membonsai dan membelokan kasus mafia bola dari masalah hukum ke masalah internal PSSI.
Jika pun pembelokan kasus tak jadi, Emerson mengkhawatirkan muncul gangguan lain. Salah satunya menyangkut status Satgas Antimafia Bola yang terbilang baru sehingga berkas penyidikan yang dari polisi berpotensi ditolak jaksa, yang dalam hal ini di bawah Jampidum, saat dilimpahkan ke tahap penuntutan.
“Kalau mau, orang jampidum harus mundur. Bukan sekadar potensi konflik kepentingan, tapi potensi dia mengintervensi. Satgas sudah bekerja progresif, jangan sampai langkah ini mentok penuntutan atau pengadilan,” kata Emerson.
Kinerja Jaksa Melempem
Apa yang disampaikan Emerson memang bukan tanpa dasar. Dalam penelusuran Tirto, banyak kasus yang ditangani Kejaksaan berakhir mengecewakan baik di tahap penyidikan atau penuntutan.
Salah satu contoh soal buruknya kinerja Jaksa ini pernah disorot ICW pada 2015. Kala itu, ICW mengidentifikasi ada 800 kasus yang belum tuntas digarap Kejaksaan. Salah satunya, kasus korupsi proyek bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) pada 2012 yang menjerat tujuh tersangka. Hingga 2015, kasus ini tak naik-naik ke penuntutan.
Hal yang sama juga diungkap Ombudsman RI pada 2018. Kala itu, lembaga pengawas pelayanan publik itu mendapat 82 laporan sepanjang 2018 terkait dengan mandeknya penanganan perkara di Korps Adhyaksa.
Kemudian pada Januari 2019, Komisi Kejaksaan yang bertugas memantau kinerja lembaga yang dipimpin M. Prasetyo ini merilis ada 888 aduan. Angka ini naik 10 dari total aduan kinerja Kejaksaan pada 2018 sebanyak 878.
Gambaran kinerja kejaksaan seperti ini bikin Emerson tak yakin Kejaksaan bisa menuntaskan kasus mafia bola. “Kalau setelah era Prasetyo, [kejaksaan] tidak ada prestasi yang luar biasa yang bisa dibanggain. Sunyi senyap. Enggak ada yang istimewa, jadi terkesan dasar saja,” ucap dia.
Bantahan Prasetyo
Jaksa Agung M. Prasetyo menampik kekhawatiran Emerson. Ia menyebut keberadaan Noor Rachmad dan Daru Tri Sasono tak akan menimbulkan konflik kepentingan, sebaliknya mereka akan membenahi PSSI.
Bekas politikus Partai Nasdem ini memastikan kasus ditangani dengan baik. Ia pun menjamin akan memantau langsung kasus mafia bola yang ditangani tim penuntut umum pada Jampidum.
“Saya penuntut umum tertinggi. Jadi saya akan bisa mengendalikan itu, tapi khusus Jampidum, tidak perlu harus dikhawatirkan, enggak ada conflict of interest,” kata Prasetyo, Jumat siang.
Apa yang disampaikan Prasetyo memang belum bisa dibuktikan saat ini. Menurut Akmal Marhali, Koordinator Save Our Soccer, Prasetyo perlu diberi waktu buat buktikan ucapannya itu. Namun, kasus tersebut harus tuntas.
Jika nantinya ucapan itu tidak ditepati, Akmal mengharapkan, publik memberikan sorotan terhadap kejaksaan.
“Harus juga kita tekan [kejaksaan] supaya bisa bertindak cepat. Bergerak cepat agar kasus-kasus yang sudah masuk bisa tuntas. Jangan sampai nantinya malah jadi menyulitkan kerja Satgas lagi,” kata Akmal.
Penulis: Mufti Sholih
Editor: Mufti Sholih