Menuju konten utama

Kasus Pemukulan Alif & Bagaimana Harusnya Melindungi Pejalan Kaki

UU LLAJ telah menjamin hak para pejalan kaki, sayangnya pengemudi motor masih banyak yang menggunakan trotoar untuk menghindari kemacetan.

Kasus Pemukulan Alif & Bagaimana Harusnya Melindungi Pejalan Kaki
Pengendara sepeda motor nekat melintas di jalur untuk pejalan kaki di kawasan Jalan Samanhudi, Jakarta, Rabu (16/8). ANTARA FOTO/Makna Zaezar

tirto.id - Alif Supadi (33), anggota Koalisi Pejalan Kaki menceritakan pengalamannya saat dipukul seorang wanita pengemudi ojek online, di kawasan Jatiwaringin, Jakarta Timur yang videonya sempat viral beberapa waktu lalu. Menurut Alif, awalnya dirinya mengendarai sepeda motor dan terjebak kemacetan di daerah itu sekitar pukul 18.30.

Menurut Alif, saat itu banyak pengendara motor yang menggunakan trotoar untuk menghindari kemacetan. Alif kemudian memarkir motornya di rumah makan Sangkuriang dan berjalan kaki di sepanjang trotoar serta menegur pengendara yang menyerobot hak pejalan kaki sembari merekamnya.

Ia meminta para pemotor agar turun dari trotoar dan menghormati hak pejalan kaki. Respons pengendara motor pun beragam, ada yang kembali turun ke jalan raya, tetapi tak sedikit yang masih nekat berkendara di pedestrian. Alif bahkan sempat terlibat perdebatan dengan pengemudi ojek online wanita soal hak pemotor dan pejalan kaki.

“Di perdebatan itu, saya pikir sudah selesai dan dia sudah jalan. Saya juga sudah jalan, melanjutkan peneguran kepada pemotor yang melintas di trotoar. Tetapi pengendara ojek itu kembali lagi memanggil saya dan memukul muka saya,” kata Alif, di kantor Koalisi Pejalan Kaki, Sarinah, Jakarta Pusat, Selasa (14/8/2018).

Akan tetapi, setelah pemukulan yang dialaminya itu, Alif tetap melanjutkan aksinya menegur para pengendara motor yang tidak tertib. Menurut Alif, hak pejalan kaki ini sudah diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) serta Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan.

Dalam Pasal 106 ayat (2) UU LLAJ, misalnya, disebutkan bahwa pengemudi kendaraan bermotor wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki. Sementara Pasal 34 ayat (4) PP Nomor 34/2006 menegaskan bahwa trotoar hanya diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan kaki.

Kasubdit Pengawalan dan PJR Polri Kombes Pol Bambang Sentot Widodo mengakui hal tersebut. Menurut dia, UU LLAJ telah menjamin hak para pejalan kaki. “Hak dan kewajiban pejalan kaki diakomodasi oleh UU. Kewajiban ini dalam rangka melindungi mereka, bukan membatasi,” kata Bambang, di Jakarta, Selasa (14/8/2018).

Bambang juga tidak mempersoalkan upaya Alif menegur pengendara motor yang menggunakan trotoar. Menurutnya, pejalan kaki berhak untuk membuat keamanan dan kenyamanan di trotoar. “Peran serta masyarakat juga diperlukan dalam menegakkan hukum sesuai dengan kapasitas pejalan kaki,” kata Bambang.

Menurut Bambang, UU LLAJ telah menjamin keadilan bagi para pengguna trotoar. Sejumlah pasal dalam UU tersebut juga memberikan sanksi bagi para pengendara dan mereka yang tidak menggunakan trotoar seusai dengan fungsinya.

Sayangnya, tetap saja masih banyak pemotor bandel yang rela menerobos trotoar. Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Budiyanto menyatakan, pihaknya telah melakukan penindakan terhadap pengendara yang nekat berada di jalur trotoar.

“Sebagai contoh, pada 17 Juni-31 Oktober 2017, ada 55.456 pengendara yang ditindak di wilayah DKI Jakarta yang berkaitan dengan pelanggaran trotoar,” kata Budi.

Pelanggaran di trotoar, kata Budi, bukan hanya masalah lalu lintas saja, tetapi juga aspek pelanggaran ketertiban umum. Karena itu, kata dia, Ditlantas Polda Metro bekerja sama dengan Dinas Perhubungan DKI Jakarta untuk melaksanakan Operasi Lintas Jaya guna menegakkan aturan dan tertib lalu lintas di jalan raya.

Tidak hanya itu, kata dia, kepolisian dan dinas perhubungan juga bekerja sama untuk membangun dashboard electronic law enforcement (ELE) perihal penanganan ketertiban lalu lintas. Dengan cara memasang CCTV di jalan raya dan dapat terhubung dengan tanda pengenal pelat nomor otomatis (automatic number plate recognition).

Kepala Seksi Keselamatan dan Teknik Sarana Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Yayat Sudrajat mengatakan pemerintah akan memaksimalkan penggunaan ELE. “Alat ELE akan ditaruh di titik-titik persimpangan,” kata dia.

Kata Yayat, siapapun yang melanggar peraturan lalu lintas akan terekam secara otomatis ke pusat data pemerintah. Jika terbukti melanggar, maka akan ada dokumen elektronik yang mencantumkan jumlah pelanggaran si pengendara. Dokumen elektronik ini sah sebagai bukti di persidangan sebagaimana diatur Pasal 272 UU LLAJ dan Pasal 5 ayat (1) UU ITE.

“Salah satu solusi bagi para pengendara motor yang naik ke trotoar, ialah menggunakan ELE. Nantinya mereka akan mendapatkan surat tilang yang berisi waktu dan lokasi pelanggaran. Program itu yang akan dijalankan juga oleh kepolisian dan Pemprov DKI,” jelas Yayat.

Sementara itu, Staf Perencana Bidang Kelengkapan Prasarana Jalan dan Jaringan Utilitas (KPJJU) Dinas Bina Marga DKI Jakarta, Josua Lumban Gaol mengatakan, pihaknya telah membangun trotoar yang ideal bagi pejalan kaki.

Namun demikian, kata Josua, masalah muncul setelah pembangunan trotoar selesai, yaitu perilaku masyarakat yang tidak menghargai fasilitas umum dan hak pejalan kaki. Untuk itu, kata Josua, diperlukan sosialisasi yang lebih sering kepada masyarakat soal hak pejalan kaki dan fungsi trotoar.

Kasus Alif di atas seolah menunjukkan pejalan kaki ialah kasta terendah dalam ketertiban di jalan raya. Hak mereka diabaikan oleh para pengendara motor. Keberadaan trotoar bahkan seringkali tidak diurus dengan layak.

Baca juga artikel terkait KASUS PEMUKULAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz