tirto.id - Banyak masalah dalam penyaluran bantuan sosial (bansos) kembali dibicarakan setelah Menteri Sosial Juliari Batubara ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kader PDIP itu diduga menerima suap dari pengadaan bansos sembako untuk masyarakat terdampak COVID-19 di Jabodetabek.
Juliari diduga memotong hak rakyat miskin sebesar Rp10 ribu dari total bantuan yang per paketnya seharga Rp300 ribu. Total suap sebanyak Rp17 miliar.
Pengamat politik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan karena kasus ini bansos sembako sebaiknya dievaluasi sebab selama ini memang dugaan penyelewengan sering ditemukan di lapangan. Misalnya, sembako berkualitas buruk adalah tanda bahwa ada dana yang disunat sehingga produk yang dibagikan harganya lebih murah dari yang semestinya.
“Sebenarnya sudah ada indikasi itu ('downgrade' kualitas sembako). Cuma, kan, masalahnya baru ini yang terungkap. Bagaimana yang di daerah, yang menurut saya lebih parah lagi?” katanya kepada wartawan Tirto, Selasa (8/12/2020).
Ia lalu menawarkan mengganti bansos sembako. “Sebaiknya alihkan ke tunai,” katanya.
Untuk membantu penduduk terdampak COVID-19, pemerintah menyalurkan paket sembako senilai Rp43,6 triliun. Ada lagi pos logistik/pangan/sembako senilai Rp25 triliun. Jadi setidaknya ada uang yang siap disalurkan sebesar Rp68,6 triliun.
Hal senada juga dikatakan ekonom senior Faisal Basri. Menurutnya dana hampir Rp70 triliun itu bisa lebih tepat sasaran dan lebih sesuai dengan kebutuhan jika dikonversi dalam bentuk tunai. Faisal memberi contoh: beras dan gula tidak cocok untuk penerima yang menderita diabetes; lalu keluarga yang memiliki bayi bisa membeli susu sendiri jika tak ada dalam paket. Intinya, penerima lebih leluasa memilih barang yang sesuai kebutuhan.
“Keleluasaan memilih sirna karena isi paket sembako sama untuk seluruh penerima bantuan. Menurut teori mikroekonomi, pilihan yang lebih banyak akan memberikan kepuasan lebih tinggi ketimbang bantuan barang,” kata dia di situs pribadi.
Uang tunai ini bisa dibelanjakan di warung tetangga atau pasar rakyat, yang pada akhirnya membuat perputaran uang di kalangan pengusaha kecil, mikro, dan ultra-mikro bertambah. Perputaran uang dalam skala seperti ini tentu menambah panjang nafas mereka yang sudah tersengal-sengal diterpa pandemi.
“Maslahat yang diterima mereka lebih merata ketimbang lewat pengadaan terpusat,” katanya.
Bantuan tunai pun sebenarnya menguntungkan si pemberi. Mereka tak membutuhkan ongkos tambahan untuk transportasi, pengemasan, upah bagi petugas, serta beragam biaya administrasi dan pelaporan lain.
Momentum Mempercepat Inklusi Keuangan
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra el Talattov menambahkan, bansos tunai, lebih spesifik yang disalurkan lewat bank langsung ke rekening penerima, memang meminimalisasi potensi korupsi. “Selama sudah berdasarkan NIK, sudah punya akun bank, relatif sulit untuk dikorupsi. Enggak bisa dipangkas lagi,” katanya kepada reporter Tirto, Selasa.
Selain itu, yang menurutnya juga penting dari bansos tunai via bank adalah dapat meningkatkan inklusi keuangan Indonesia. “Juga masyarakat punya akses lain ke program pemerintah,” tambahnya.
Inklusi keuangan Indonesia masih rendah dibanding negara ASEAN lain, kata Presiden Joko Widodo. Jokowi mengatakan dengan realisasi indeks inklusi keuangan sebesar 76 persen pada 2019, Indonesia masih terpaut jauh dari Singapura yang sudah mencapai 98 persen, Malaysia 85 persen, dan Thailand 82 persen. “Kita masih di angka 76 persen,” ujar Jokowi dalam Indonesia Fintech Summit 2020, Rabu 11 November 2020.
Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Tirta Segara mengatakan pada dasarnya pencapaian Indonesia itu relatif baik. Sebab, indeks inklusi keuangan sebesar 76,2 persen tahun lalu sudah naik jauh dibanding 3 tahun yang lalu, yaitu 69 persen.
Sejauh ini OJK menargetkan inklusi keuangan sebesar 90 persen pada 2024. “Cukup optimistis bisa tercapai,” kata Tirta dalam konferensi pers virtual, Kamis 15 Oktober 2020.
Singapura membuktikan bahwa inklusi keuangan mujarab untuk menyembuhkan negara dari penyakit korupsi. Mereka masuk ke dalam jajaran negara yang dianggap paling tidak korup. Selain itu, kalaupun tetap dikorup, maka pelacakannya jauh lebih mudah, menurut laporan World Bank pada April 2017 lalu.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino