Menuju konten utama

Kasus Hendri Bakarie Tegaskan Korps Bhayangkara Gemar Menyiksa

Polisi gemar menyiksa. Beberapa LSM mencatatnya dengan apik. Kasus terakhir menimpa Hendri Alfred Bakarie di Batam. Ia meninggal dunia.

Kasus Hendri Bakarie Tegaskan Korps Bhayangkara Gemar Menyiksa
Ilustrasi penyiksaan. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Hendri Alfred Bakarie ditangkap polisi pada Kamis 6 Agustus 2020 di Batam, Kepulauan Riau. Ia diduga terkait dengan kasus pengiriman sabu-sabu ke Malaysia lewat jalur laut. Polisi mengklaim telah menyita barang bukti berupa sabu-sabu, speed boat, dan timbangan.

Dua hari berselang, Hendri meninggal dunia dengan keadaan yang kacau. Kepalanya dibungkus dengan plastik bening yang direkatkan dengan lakban cokelat. Badannya penuh luka lebam. Dugaan penyiksaan oleh Korps Bhayangkara menyeruak. Keluarga meminta pertanggungjawaban.

“Kak Otong (sapaan Hendri) itu dari lutut sampai bawah itu lebam, dan kami lihat memang ada kejanggalan-kejanggalan yang terjadi,” kata Christy Bakarie selaku perwakilan keluarga dalam konferensi pers, Rabu (13/8/2020).

Christy mengatakan istri Hendri ada di lokasi kala penangkapan terjadi. Keluarga tidak mendapatkan tembusan surat perintah penangkapan hingga ia meninggal, padahal Pasal 18 ayat 3 KUHAP mewajibkan itu. Mereka tidak mengetahui kabar maupun lokasi keberadaan Hendri, termasuk alasan ia ditangkap.

Sehari setelah penangkapan, Hendri sempat dibawa ke rumahnya oleh polisi dengan tangan diborgol. Mereka mengklaim berasal dari Polresta Barelang. Christy mengatakan saat itu istri Hendri melihat ada bercak darah pada kemeja putih yang dikenakan suaminya.

Polisi menggeledah rumah Hendri karena ada dugaan ia menyimpan sebagian narkotika di rumah. Sebagaimana penangkapan, penggeledahan itu pun dilakukan tanpa menunjukkan surat perintah atau didampingi oleh ketua lingkungan setempat. Penggeledahan itu berlalu tanpa hasil.

Sekitar pukul 1 pagi keesokan harinya, polisi membawa Hendri ke rumah kawannya juga untuk menggeledah. Hasilnya pun nihil.

“Jam 1 malam itu Kak Otong minta minum, dia bilang saya kehausan karena saya enggak dikasih minum,” kata Christy.

Pukul 11 siang, seorang polisi mendatangi kediaman keluarga dan mengatakan bahwa Hendri sudah bisa dijenguk. Mereka tentu saja lega bukan kepalang. Mereka pun segera menyiapkan baju untuk Hendri.

Apa yang belum mereka tahu adalah Hendri telah meninggal dunia pagi harinya, pukul 07.13.

Mereka tahu soal itu setengah jam setelah sampai di kantor polisi. Polisi bilang Hendri berada di rumah sakit Budi Kemuliaan. Belakangan polisi mengklaim Hendri meninggal karena asma, tetapi Christy mengatakan Hendri tidak punya riwayat penyakit itu.

Keluarga langsung beranjak ke rumah sakit dan mereka mendapati jenazah Hendri yang penuh lebam dan kepalanya terbungkus plastik. Ketika ditanya, pihak rumah sakit berujar kondisi jenazah sudah demikian sejak diserahkan polisi. Sebaliknya, polisi mengatakan rumah sakit yang melakukan itu.

Pihak keluarga sudah membawa kasus ini ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri. Mereka pun berencana membawa masalah ini ke ranah pidana. Mereka ingin ada yang bertanggung jawab atas kematian Hendri.

“Kami ingin kapolres meminta maaf atas kejadian ini dan menjelaskan secara terang-terangan dan usut tuntas pelaku-pelaku yang melakukan kekerasan terhadap Otong sehingga menyebabkan Otong meninggal,” kata Christy.

Polisi Gemar Menyiksa

Sarpan menangis dalam sebuah video. Ia yang berprofesi sebagai kuli disiksa oleh anggota Polsek Percut Sei Tuan, Medan, Sumatera Utara agar mengaku sebagai pembunuh rekan kerjanya, Dodi Somanto. Nyatanya pelaku pembunuhan adalah A dan kini ia telah ditetapkan sebagai tersangka, sementara 6 pelaku penyiksa Sarpan dinyatakan bersalah dan akan menjalani sidang disiplin.

Kasus Sarpan dan Hendri hanyalah sebagian bukti betapa polisi gemar menyiksa.

Berdasarkan catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), pada tahun 2019 terjadi 62 penyiksaan dan 48 kasus (77,4 persen) di antaranya dilakukan oleh polisi. Pada April hingga Agustus 2020, terdapat 5 peristiwa penyiksaan dengan korban sebanyak 13 orang. Jika dijumlah, berdasarkan laporan Hari Bhayangkara ke-74: Tak Kenal Prioritas, Semua Diterabas (PDF), polisi telah melakukan 921 kekerasan yang mengakibatkan 1.627 jiwa luka-luka dan 304 orang tewas.

Husein Ahmad, peneliti dari Imparsial, LSM yang bergerak di bidang pengawasan dan penyelidikan pelanggaran HAM di Indonesia, mengatakan ada sejumlah aspek yang membuat polisi gemar menyiksa. Pertama, banyak penyidik Polri yang tidak kapabel dalam melakukan investigasi. Bayangkan, kata Husein, polisi muda masuk ke Sekolah Polisi Negara (SPN) selama delapan bulan dan dipaksa untuk mempelajari segala tetek bengek hukum. Penyiksaan dijadikan jalan pintas untuk menyelesaikan perkara.

“Mahasiswa hukum saja yang kuliahnya empat sampai lima tahun belum tentu mengerti seluruh hukum,” kata Husein dalam siaran pers online, Rabu (13/8/2020).

Masalah ini diperberat dengan ukuran keberhasilan penyidik yang hanya melihat kuantitas alih-alih kualitas perkara.

Aspek kedua ialah pengawasan. Kebanyakan kasus penyiksaan hanya ditangani secara etik oleh Divisi Propam Polri, padahal penyiksaan alias penganiayaan adalah kejahatan menurut hukum pidana. Itu terjadi karena masih ada kultur melindungi anggota di Korps Bhayangkara.

Sepanjang Agustus 2019-Februari 2020 Polri mencatat ada 38 kasus penyiksaan. Dari 38 kasus tersebut, sebanyak 23 kasus diproses sebagai pelanggaran disiplin dan sebanyak 15 lainnya merupakan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri (KEPP). Kasus yang telah selesai disidangkan dan mendapatkan putusan sebanyak 15 kasus, yaitu sidang disiplin 9 kasus dan sidang Komisi KEPP 6 kasus.

Keberadaan lembaga pengawas eksternal menjadi harapan. Namun, nyatanya, pengawasan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tidak efektif. Kompolnas, kata Husein, hanya merupakan lembaga untuk memberikan masukan ke Presiden sebagaimana tertulis dalam Perpres 17 tahun 2011. Apa yang dibutuhkan adalah lembaga yang mempunyai daya gedor untuk menindak kesalahan polisi.

“Selama ini Kompolnas hanya mempunyai wewenang memberikan saran. Cuma jadi lembaga curhat, kemudian curhatan itu diberikan kepada polisi dan presiden. Ini enggak efektif,” kata dia.

Direktur LBH Masyarakat Afif Abdul Qoyim mengatakan dalam kasus narkotika lain, banyak pembuktiannya hanya berbasis pengakuan tersangka yang diperoleh melalui penyiksaan. Dengan kata lain, praktik penyiksaan dalam penanganan perkara terkait narkotika sudah jamak terjadi.

Dalam laporan LBH Masyarakat dan Open Society tahun 2012 berjudul Membongkar Praktik Pelanggaran Hak Tersangka di Tingkat Penyidikan: Studi Kasus terhadap Tersangka Kasus Narkotika di Jakarta (PDF) terungkap dari 388 tahanan narkotika, hanya 186 (47,9 persen) yang penangkapannya sah secara administratif--polisi memberikan surat perintah penangkapan dan tembusannya kepada keluarga. Sementara 193 lainnya tidak mendapat hak itu, dan tujuh lainnya tidak menjawab.

Sebanyak 264 responden mengalami kekerasan fisik dalam penangkapan, 269 responden mengalami kekerasan mental, dan 60 responden mengalami kekerasan seksual. Angka yang ditotal akan melampaui jumlah responden sebab ada banyak tersangka yang mengalami kekerasan ganda. Bahkan 56 di antaranya mengalami tiga kekerasan itu sekaligus.

Kekerasan juga terjadi ketika penahanan. Tercatat ada 127 responden yang mengaku mendapat kekerasan selama penahanan.

Penelitian ini juga menemukan berbagai jenis penyiksaan, mulai dari dipukul sampai disundut rokok. Dari 388 responden, sebanyak 115 orang mengalami penyiksaan, 169 mengalami perlakuan buruk lainnya (misalnya dipaksa tidak tidur), dan 52 orang mengalami keduanya.

Karenanya, Afif menuntut agar pemerintah segera mendekriminalisasi pemakaian, penguasaan, dan pembelian narkotika dalam jumlah kecil demi mengurangi pendekatan penghukuman yang membuat kasus ini terulang.

Sebab, “Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mudah sekali menjerat pidana seseorang juga memberi sumbangsih pada hal ini,” kata dia lewat keterangan tertulis, Rabu (13/8/2020).

Pengacara publik LBH Jakarta Shaleh Alghifari menilai kesaksian atau pengakuan yang diperoleh dengan cara penyiksaan semestinya tidak dapat digunakan. Karenanya, peran kejaksaan sebagai dominus litis alias pengendali perkara pun menjadi sorotan. Masalahnya kejaksaan kerap hanya menjadi “tukang pos” yang sekadar mengantarkan berita acara pemeriksaan (BAP) ke pengadilan.

Akibatnya, banyak korban penyiksaan yang dijebloskan ke penjara. Contohnya pengamen anak di Cipulir.

Andro Supriyanto yang merupakan pengamen korban salah tangkap dan sejumlah orang lainnya pernah menggugat sejumlah pasal yang menyangkut kewenangan Kejaksaan dalam KUHAP ke Mahkamah Konstitusi. Mereka ingin kejaksaan melakukan proses pra-penuntutan pada setiap perkara, dan mewajibkan penyidik menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum.

MK pun mengabulkan sebagian permohonan ini, yakni kewajiban penyidik menyampaikan SPDP kepada kejaksaan.

Diharapkan, kejaksaan bisa aktif melakukan pengawasan sejak awal kasus digelar, tapi kenyataannya belum ada perubahan berarti.

“Memang SPDP hari ini dikirimkan, walaupun masih ada yang melanggar, tapi pada prosesnya sekarang sering kami temui SPDP ini kayak satu dokumen saja, yang setelah dikirim, jaksa tidak dikasih apa-apa lagi, tidak dikasih update mingguan atau bulanan mengenai pengembangan penyidikan,” kata dia.

Reporter Tirto telah menghubungi Kasubbaghumas Polresta Barelang AKP Betty Novia lewat Whatsapp, tetapi pesan hanya dibaca. Telepon saya diputus sesaat setelah terhubung. Namun Kapolresta Barelang Kombes Pol Purwadi Wahyu Anggoro mengatakan apa yang sudah disampaikan Christy dan dibantah rumah sakit.

“Menurut rumah sakit, mereka membungkus kepala yang bersangkutan sesuai prosedur COVID-19. Itu adalah wewenang rumah sakit,” katanya, Rabu (12/8/2020), mengutip media lokal Batampos.co.id.

Sementara Kabid Humas Polda Kepri Kombes Harry Goldenhardt mengatakan saat ini penyidik yang menangani kasus Hendri telah ditangani oleh Inspektorat Pengawasan Daerah (Itwasda) Polda Kepulauan Riau dan Propam Kepulauan Riau.

“Masih menunggu hasil otopsi,” kata Harry kepada reporter Tirto, Rabu (13/8/2020).

Baca juga artikel terkait PENYIKSAAN atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino