tirto.id - Pelaporan narasumber konten podcast kembali terjadi. Kali ini, Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar, Erwin Aksa melaporkan Ketua Majelis Pertimbangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhammad Romahurmuzy ke polisi dengan alasan dugaan pencemaran nama baik.
Kabar ini telah dikonfirmasi Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri, Kombes Pol Nurul Azizah. Ia mengatakan pelaporan dilakukan pada 8 Mei 2023. Laporan tersebut disampaikan di SPKT Bareskrim dan didaftarkan dengan nomor LP/B/90/V/2023/SPKT/Bareskrim Polri.
“Pelapornya adalah EA, kemudian terlapor adalah MR. Pasal yang disangkakan yaitu tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui media elektronik dan/atau fitnah," kata Nurul.
Pelapor mengadukan pria yang akrab disapa Rommy dengan Pasal 45 ayat (3) juncto Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau Pasal 310 ayat (1) KUHP dan/atau Pasal 311 ayat (1) KUHP. “Bila ditangani dan ada pembaruan, pasti akan saya sampaikan,” kata Nurul.
Dasar pelaporan berawal saat Rommy menyebut Erwin Aksa pernah memberikan cek kosong terkaitPemilihan Gubernur Sulawesi Selatan. Hal itu disampaikan Rommy ketika berbicara pada saluran Youtube 'Total Politik'.
Rommy menilai, Erwin telah menipunya pada kontestasi Pilkada Sulawesi Selatan 2018. Saat itu, Erwin meminta Rommy, yang kala itu menjabat Ketum DPP PPP, memberikan rekomendasi untuk pasangan Arifin Nu’mang-Tanribali Lamo dengan perjanjian.
Akhirnya Rommy merekomendasikan pasangan tersebut. Erwin pun diduga memberikan sebuah cek bodong, karena uang yang dijanjikan tak pernah cair. “Itu tidak pernah ada [uang]. Ceknya ada, (tapi) bodong,” kata Rommy dalam tanyakan video tersebut.
Kasus Rommy ini menambah daftar konten podcast yang dijadikan dasar pelaporan ke polisi. Sebelumnya, Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan melaporkan pernyataan Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti dan pendiri Lokataru Foundation, Haris Azhar ke polisi akibat konten podcast.
Dalam konten yang diisi oleh Fatia dan Haris tersebut menyinggung soal keterlibatan Luhut dalam bisnis tambang di Intan Jaya. Pihak Luhut mengklaim sudah melayangkan somasi dan meminta Haris serta Fatia untuk meminta maaf atas tudingan tersebut.
Saat ini, kasus Fatia dan Haris vs Luhut sudah masuk tahap persidangan. Kedua aktivis HAM tersebut dalam dakwaan disebut telah mencemarkan nama baik Luhut.
Fenomena Podcast yang Belakangan Ramai
Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar mengakui fenomena podcast tengah menjamur di masyarakat. Saat ini, proses pengelolaan podcast juga sudah mulai lebih profesional di mana ada proses editing dan tidak live.
Karena itu, Wahyudi menyayangkan, masih ada penerapan upaya pidana konten podcast, padahal masih ada penyelesaian tanpa pendekatan pidana.
“Jadi semestinya tidak kemudian langsung menggunakan klausul-klausul pidana. Jadi problem, kan, memang sampai saat ini Dewan Pers belum mengakui ini bagian dari media baru yang pada umumnya di mana sengketa pers bisa digunakan, kecuali memang sedari awal dia bagian dari perusahaan media,” kata Wahyudi, Jumat (12/5/2023).
Wahyudi mengatakan, saat ini kantor pers mulai menggunakan medium podcast dalam menciptakan kontennya. Akan tetapi, konten podcast di luar media resmi, tidak bisa dilindungi Dewan Pers karena tidak memenuhi dasar pers.
Menurut Wahyudi, permasalahan podcast harus dilindungi dan dipayungi secara hukum. Sebab jika tidak, kata dia, maka konten podcast dengan mudahnya dijadikan sebagai bahan pelaporan narasumber ke polisi. Ia menilai, perlu ada semacam lembaga etik yang menyelesaikan sengketa podcast agar tidak menggunakan pendekatan hukum dalam penyelesaian konten podcast.
Di sisi lain, Wahyudi juga menilai penyedia platformpodcast harus memperbaiki regulasi agar melindungi konten podcast sebagai alat menjerat hukum pemuat konten.
“Ini juga bisa mendorong perusahaan penyedia layanan media sosial seperti Youtube dan lainnya bisa digunakan sebagai platform untuk podcast, untuk memperluas guideline rules ketika ada pemanfaatan-pemanfaatan seperti ini sehingga kemudian disediakan tidak hanya semata-mata produksi konten, media podcast tapi juga penyedia layanan media sosialnya,” kata Wahyudi.
Wahyudi menilai, individu yang merasa dirugikan akibat konten podcast seharusnya tidak menggunakan pasal pencemaran nama baik sebagai upaya penyelesaian. Mereka bisa menggunakan hak jawab atau membuat konten podcast di tempat yang sama.
Ia beralasan, penyelesaian dengan tidak mengedepankan pidana penting untuk menjaga semangat kebebasan berpendapat atau berekspresi. Ia khawatir korban podcast akan mengalami potensi kriminalisasi dengan pasal tersebut bila tidak ditangani serius.
“Kalau kemudian misalnya aktivis-aktivis seperti Fatia atau aktivis politik yang dia punya political power dan bisa kemudian ditegakkan ketentuan pasal-pasal ini, bagaimana kemudian masyarakat umum [rakyat biasa], masyarakat pada umumnya tentu akan lebih rentan, akan mengalami situasi atau kriminalisasi seperti itu," kata Wahyudi.
Wahyudi mengatakan, pemerintah sudah melakukan sejumlah hal untuk menyelesaikan masalah podcast. Selain menunggu revisi UU ITE, publik menunggu penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai upaya penyelesaian. Di sisi lain, Mahkamah Agung perlu mengeluarkan fatwa agar kasus dugaan pencemaran nama baik berkaitan dengan konten medsos bisa dikurangi.
Analis politik dan media dari Universitas Multimedia Nusantara, Silvanus Alvin menilai, pelaporan pidana dengan basis konten podcast memang mulai marak. Hal ini terjadi akibat perbedaan posisi podcast dengan pers saat ini.
Ia menjelaskan, podcast masih bergerak pada user generated content serta tidak diatur spesifik. Sementara itu, media pers menggunakan pendekatan profesional yang diatur dengan kode etik, pedoman kerja dan Undang-Undang Pers.
“Artinya, sebuah kanal atau akun podcast yang membahas isu sensitif di bidang apa pun, dapat menghindari pelaporan apabila memang sudah mengantongi data serta bukti-bukti," kata Alvin kepada reporter Tirto.
Karena itu, Alvin menilai, DPR dan pemerintah harus mulai mengatur peran influencer dan kanal yang mereka miliki. Ia beralasan, pers bekerja sesuai aturan, praktik kerja dan penindakan pelanggaran etik. Sementara media sosial seperti podcast masih barang baru sehingga perlu pengaturan agar tidak ada penindakan secara semena-mena.
“Dalam hal ini, pemilik akun podcast dapat meniru praktik media pers, dengan cara memberi ruang hak jawab. Apabila ada 1 pihak atau individu yang merasa disudutkan, maka bisa saja yang bersangkutan meminta untuk hak jawab. Bila ada ruang hak jawab, saya rasa pelaporan ini bisa diminimalisir,” kata Alvin.
Alvin menyebut, pelaporan pidana dengan dasar konten podcast terjadi karena sejumlah faktor. Salah satunya ketiadaan ruang klarifikasi sehingga tidak memuat unsur cover both side sebagaimana di pers. Asumsi lain, kata Alvin, muncul khawatir berlebihan dampak dari konten medsos.
“Tidak dapat dipungkiri kesempatan viral itu lebih besar dari medsos. Kemudian, literasi digital yang masih belum mumpuni dan diterpa oleh info viral, maka bisa saja publik menerima itu sebagai kebenaran. Sementara, klarifikasi dipandang sebelah mata," kata Alvin.
Oleh karena itu, kata Alvin, pelaporan bisa memberi kesan bahwa pihak yang dituduh menyatakan tuduhan sama sekali tidak benar karena berani menempuh jalur hukum.
Menurut Alvin, upaya mencegah kemunculan kasus podcast dapat dilakukan dalam sejumlah cara. Dari sisi pembuat konten, mereka harus mampu menjaga jangan sampai mereka lepas tanggung jawab ketika konten mereka viral. Sementara itu, pemerintah harus mengatur jelas soal keberadaan konten podcast.
“Dari sisi pemerintah adalah mengusulkan dan bisa saja komunikasi dengan DPR. Karena negara hukum, maka aturan itu harus ada, clear, dan jelas," kata Alvin.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz