tirto.id - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama Satya Langkun merespons polemik dana desa fiktif yang belakangan ramai dibicarakan publik. Menurutnya, risiko terbesar dalam konteks kasus ini ialah pengawasannya.
Tama menilai pengawasan alokasi dana desa sampai ke unsur pemerintahan paling bawah masih lemah. Sehingga potensi koruspinya terbuka lebar.
"Bagaimana ke depannya? Tentu yang diperkuat adalah fungsi pengawasan di pemerintah. Kedua, peran serta masyarakat," ujarnya ketika ditemui di Kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (8/11/2019).
Ia juga berharap ada peningkatan kapasitas terhadap masing-masing kepala desa untuk bisa mengelola anggaran sampai dengan membuat laporan pertanggungjawaban.
Hal itu berangkat dari data ICW, yang mencatat kepala desa terbilang cukup sering terjerat tindak pidana korupsi.
"Pada 2016 sampai 2017 ada 110 kepala desa. Tahun 2018, kita mencatat sampai Desember, ada 102 tersangka. Ini tercatat dalam pemberitaan. Kami tidak tahu yang tak tercatat," ujarnya.
Dalam tiga tahun tersebut ICW mencatat 212 kepala desa menjadi tersangka atas tindak pidana korupsi. Hal itu menurutnya ada kenaikan ketimbang tahun-tahun sebelumnya.
"Kalau dulu, setahun mungkin hanya 12 sampai 20 orang," ujarnya. "Maka sekarang kepala desa masuk lima besar pelaku korupsi yang ditetapkan sebagai tersangka."
Ia berharap ke depannya pemerintah mengambil upaya lebih dalam pengawasan dana desa. Agar jalur distribusi dana tersebut dikontrol ketat baik dari mulai dianggarkan sampai dengan disalurkan.
"Upaya akuntabilitas dan transparansi itu menjadi salah satu modal dasar pengelolaan dana desa," ujarnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Widia Primastika