tirto.id - Nama penceramah Bahar bin Smith kembali menjadi perbincangan. Setelah dibui akibat penganiayaan remaja pada 2019 lalu, ia kembali duduk di kursi pesakitan dengan kasus penganiayaan kepada seorang sopir taksi daring berinisial A di daerah Bukit Cimanggu, Tanah Sereal, Kota Bogor pada 2018 lalu.
"Terdakwa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka," kata Jaksa Kejati Jabar, di PN Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat sebagaimana dinukil dari Antara.
Jaksa lantas mendakwa Bahar melanggar pasal 170 KUHP ayat 2 ke-1 tentang kekerasan dan pasal 351 KUHP ayat 2 tentang penganiayaan jo pasal 55.
Kuasa hukum Bahar Ichwan Tuankotta mengajukan keberatan dalam pembacaan dakwaan Bahar. Ia beralasan perkara sudah selesai karena sudah ada upaya perdamaian kedua belah pihak disertai dengan surat pernyataan.
"Sudah ada surat perdamaian, pencabutan laporan polisi, dan sudah diberikan kompensasi kepada korban," kata Tuankotta kepada reporter Tirto, Rabu (7/4/2021).
Proses perdamaian sudah berlangsung sejak 2019. Ia bahkan mengaku ada saksi yang hadir dalam proses tersebut.
Tuankotta memastikan berkas bukti perdamaian akan mereka masukkan dalam persidangan, apalagi Bahar tidak mengajukan eksepsi. Saat ini, mereka memilih tetap menjalani proses persidangan. "Kami akan mengikuti proses persidangannya."
Menurut Tuankotta, sidang Bahar adalah bentuk abuse of power karena kliennya termasuk pengkritik Jokowi. Dia menganggap siapa saja yang mengkritik Jokowi memang akan terus dicari-cari kesalahannya.
Surat Damai Bukan Alasan
Peneliti dari Insitute Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar berpendapat perkara Bahar memang bisa diselesaikan dengan pendekatan restoratif justice, tapi dengan catatan. "Enggak menjamin harus selalu damai karena tergantung keputusan Jampidum," kata Dio kepada reporter Tirto, Rabu.
Restoratif justice bisa menghentikan kasus sesuai Pasal 12 poin 10 Perja 15 Tahun 2020. Tapi perkara bisa dilanjut jika Kepala Kejaksaan Tinggi setempat menolak penghentian penuntutan dengan pendekatan tersebut.
Dio mengatakan persidangan sudah berlangsung sehingga kewenangan semua berada di JPU. Ia pun mengatakan bahwa persidangan penganiayaan sudah tidak bisa dihentikan dengan dalih surat perdamaian.
Terkait upaya dokumen perdamaian untuk memengaruhi hukuman Bahar, dia berpendapat "itu bisa menjadi bahan pertimbangan hakim."
Ahli hukum pidana UI Indrianto Seno Adji pun mengatakan persidangan Bahar tetap berjalan meski sudah ada upaya perdamaian. Kepada reporter Tirto, Rabu, Indrianto mengatakan "kasus penganiayaan bukan delik aduan, artinya dengan atau tanpa dokumen perdamaian, kasus bisa tetap berlanjut ke pengadilan."
Pria yang pernah jadi Komisioner KPK ini mengatakan surat perdamaian tidak bisa menjadi alat untuk menghentikan perkara yang sudah masuk persidangan. Hanya saja memang dokumen perdamaian dapat menjadi pertimbangan hakim untuk meringankan hukuman Bahar.
"Hakim dapat mempertimbangkan surat keterangan damai sebagai alasan untuk meringankan pemidanaan yang dijatuhkan sesuai kebijakan hakim terhadap minimal dan maksimal pemidanaan," kata Indrianto.
Penganiayaan itu sendiri bermula ketika korban menjemput istri Bahar, Jigana Roqayah, menurut jaksa. Dalam perjalanan pulang dari pasar, karena macet, Jigana mengajak si sopir makan dulu hingga lalu lintas terurai. Mereka sampai rumah pukul 11 malam.
Saat itu Bahar telah menunggu di depan pintu dan masuk ke mobil. Di dalam mobil itulah dia bertanya: "Ente tahu ane?" Korban menjawab "tidak tahu" dan Bahar bilang "Ane habib Bahar."
Korban pun dipukuli. Dia ke luar mobil tapi tetap dipukul hingga terjatuh.
Korban lalu dimasukkan ke mobil Bahar dibantu Wiro, yang kini berstatus buron. Di mobil korban kembali disiksa. Kepala belakang digebuk dan diinjak sampai memar.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino