tirto.id - Universitas Manchester melansir pernyataan resmi berjudul End of trial statement from the University regarding the rape trial at Manchester Crown Court pada 6 Januari 2020 lalu. Pernyataan ini terkait dengan kasus Reynhard Sinaga, predator seksual pemangsa ratusan laki-laki dan merekamnya via ponsel, yang telah dihukum penjara seumur hidup, baru-baru ini.
Kampus ini adalah tempat Reynhard, pemuda yang lahir dan besar di Indonesia, menimba ilmu sejak Agustus 2007. Di kampus ini dia mengambil jurusan sosiologi dengan tesis Gay Asia Selatan, Pria Biseksual di Manchester, sebelum melanjutkan studi PhD di Universitas Leeds pada 2012.
Dalam rilis tersebut, Universitas Manchester pertama-tama memberikan "simpati" kepada para korban, baik "yang terkena dampak langsung atau tidak langsung." Mereka "mengonfirmasi bahwa beberapa anggota komunitas universitas telah terkena dampak langsung."
Kampus lantas menyatakan "telah membentuk bantuan khusus untuk orang-orang yang mungkin terkena dampak." Mereka memfasilitasi pemulihan bagi korban dengan menyertakan nomor telepon yang bisa dihubungi.
Laporan juga bisa dalam bentuk email, bahkan tatap muka.
Komisioner Komnas Perempuan periode 2015-2019, Nina Nurmila, yang sepanjang kariernya konsisten mengadvokasi masalah kekerasan seksual di kampus, mengatakan apa yang dilakukan Universitas Manchester adalah "langkah yang sangat bagus dan responsif."
"Kan, korbannya lebih banyak daripada yang telah melewati peradilan," kata Nina kepada reporter Tirto, Rabu (8/1/2020).
Nina menjelaskan keadilan bagi korban kekerasan seksual tidak hanya berarti pelaku dihukum setimpal, tapi juga pemulihan untuk korban. Karena itulah fasilitas pemulihan tak kalah penting dari vonis hakim. Di sini kerusakan psikologis korban setidaknya bisa diminimalisasi.
Berdasarkan rekaman video yang ditemukan penyelidik, Reynhard memerkosa 195 korban sejak dua setengah tahun terakhir. Namun tak semua bersaksi di pengadilan. The Guardian bahkan melaporkan hanya sedikit dari mereka yang sadar sudah perkosa sampai kemudian polisi datang dan memberitahu soal itu, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah kejadian.
Salah satu korban yang bersaksi di pengadilan mengaku hampir bunuh diri seandainya ia tak bercerita kepada ibunya, satu-satunya orang yang bisa diajak bicara atas apa yang dia alami. "Mimpi buruk saya jadi kenyataan," katanya.
Sementara korban lain mengatakan hidupnya "berubah selamanya" pada hari ketika diberitahu polisi bahwa dia adalah korban pemerkosaan. Ia memvonis Reynhard sebagai "predator jahat" dan "monster tak berwajah."
Kampus Indonesia Terbelakang
Nina lantas merefleksikan apa yang dilakukan kampus di Inggris itu dengan yang terjadi di Indonesia. Kampus-kampus di Indonesia, kata Nina, masih jauh dari kata berpihak kepada korban meski faktanya kasus-kasus kekerasan seksual juga terjadi di sini.
Dalam proyek 'Nama Baik Kampus', ada 174 kasus pelecehan yang berhubungan dengan institusi perguruan tinggi masuk ke meja redaksi Tirto. Para penyintas, sebagian besar masih mahasiswa, yang bercerita itu tersebar di 29 kota dan berasal dari 79 perguruan tinggi. Beberapa dari mereka bahkan mengalami kekerasan berulang kali.
Pelakunya berasal dari beragam latar belakang, termasuk dosen, mahasiswa, bahkan dokter klinik kampus.
Beberapa kampus atau lembaga terkait memang cukup progresif. Misalnya, FFTV IKJ yang membuat peraturan pencegahan pelecehan pada November 2019, dan Kementerian Agama yang menerbitkan surat keputusan serupa untuk kampus-kampus Islam.
Namun, umumnya, kata Nina, "[kampus] mencoba menutupi kasus karena dianggap akan mencemarkan nama baik mereka. Kemudian, korban umumnya akan diintimidasi."
Nina mengatakan idealnya kampus menerbitkan standar operasional prosedur (SOP) tentang penanganan pelecehan seksual karena ia "lebih mengikat dan praktis."
"SOP itu guideline yang ketat dan harus diikuti, mulai dari jika korban mau melapor ke mana, kemudian fasilitas apa saja yang disediakan kampus," katanya.
Nadine Kusuma, mahasiswa UGM yang aktif dalam advokasi kekerasan seksual, mempertegas apa yang Nina katakan lewat contoh kasus Agni, juga mahasiswa UGM yang diperkosa teman kuliahnya saat KKN.
Apa yang dilakukan kampus, kata Nadine, justru membuat korban lain enggan mengungkap masalahnya.
Kasus pelecehan seksual yang dialami Agni, bukan nama sebenarnya, berujung antiklimaks. Rektor UGM Panut Mulyono menyebut Agni dan si pelaku, HS, sepakat kasus ini diselesaikan secara 'kekeluargaan', alih-alih diproses lewat jalur hukum.
"Ada beberapa kasus yang sebelumnya mau diadvokasikan, akhirnya enggak jadi karena melihat kasus Agni saja berakhir damai," katanya. "Saat kampus tidak mengambil tindakan cepat, maka akhirnya ada public shaming ke korban."
Nadine berharap kampus di Indonesia bisa seperti Universitas Manchester. Langkah kecilnya adalah membuat SOP yang tegas. Pasalnya, dari pengalaman mengadvokasi SOP kekerasan seksual di UGM, hasilnya jauh dari harapan.
"Kampus bisa menjadi lebih baik dan mempertahankan nama baik dengan menghadirkan peraturan yang melindungi korban," tegas Nadine.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino