Menuju konten utama
Kronik Ramadan

Kairo dan Dinasti Fatimiyah: Kala Mesir Dikuasai Kaum Syiah

Dinasti Fatimiyah yang beraliran Syiah pernah menguasai Mesir dan membangun Kairo sebagai ibukota kerajaan.

Kairo dan Dinasti Fatimiyah: Kala Mesir Dikuasai Kaum Syiah
Ilustrasi Kairo. tirto.id/Sabit

tirto.id - 5 Ramadhan 362 Hijriyah atau bertepatan dengan 9 Juni 969 Masehi menjadi hari bersejarah bagi umat Muslim. Hari itu, dinasti Fatimiyah yang beraliran Syiah berhasil menaklukkan Kairo.

Sebelumnya, mereka berhasil merebut kota Fustat dari kekuasaan Bani Abbasiyyah pada 358 Hijriyah (969 M). Penaklukan Kairo itu juga menjadi cikal bakal berdirinya Universitas Al-Azhar yang terkenal hingga saat ini. Dinasti Fatimiyah yang sebelumnya berpusat di Tunisia pun mulai mendirikan pusat pemerintahan baru di situ.

Menurut Paul E. Walker dalam “The Isma’ili Da’wa and the Fatimid capihate” yang terdapat di buku The Cambridge History of Egypt, Vol. 1: Islamic Egypt, 640-1517 (1999), penguasa yang disebut sebagai Fatimiyah ini adalah penganut Syiah dan meyakini bahwa seseorang dalam setiap generasi dari keturunan Rasulullah memiliki kewenangan semi-Ilahiah untuk menafsirkan kehendak Allah SWT. Tentu saja, imam yang suci ini tidak lain adalah khalifah Fatimiyah yang berkuasa (hlm. 122).

Karena ingin mengasingkan istana dari rakyat, dinasti Fatimiyah mendirikannya beberapa kilometer sebelah utara Misr al-Fustat. Kota benteng, demikian komplek istana itu dijuluki, menurut Max Rodenbeck dalam Kairo Kota Kemenangan (2013) adalah wilayah seluas empat kilometer persegi berisi istana dan halaman parade serta taman pribadi.

Mengikuti nasihat para astrolog, mereka menyebut istana itu sebagai al-Qahirah, mengikuti nama Arab bagi planet Mars. Para pedagang dari Italia, dengan ketidakmampuannya untuk melafalkan bahasa Arab, dengan cepat menyebutnya sebagai “Kairo”. Inilah awal zaman keemasan kota itu (hlm. 83).

Fustat masih makmur. Namun seiring berjalannya waktu, kota itu hanya menjadi satelit bagi Kairo yang terus berkembang. Selama lima ratus tahun di bawah kekhalifahan Fatimiyah dan penerusnya, Kairo menjadi ibu kota kekaisaran yang meliputi kota suci Mekkah, Madinah, dan Yerusalem.

Namun, dinasti Fatimiyah menghadapi masalah di depan mata. Penduduk negeri yang mereka tundukkan sebagian besar merupakan Muslim Sunni. Selain itu, pengakuan penguasa Fatimiyah sebagai keturunan Rasulullah sangat diragukan.

Tatkala al-Mu’izz li Din Allah masuk ke Misr al-Fustat dengan mengendarai kuda, seorang warga menantang klaimnya atas gelar khalifah. Seperti dicatat Paul E. Walker, Al-Mu’izz pun menghunus pedangnya. “Inilah garis keturunanku,” serunya. Kemudian, sembari menghamburkan uang logam emas dari dompetnya, dia melanjutkan, “Dan inilah buktiku” (hlm. 125).

Dinasti Fatimiyah tidak berangan-angan memenangkan perdebatan tentang aliran Syiah. Akan tetapi, menurut keyakinan mereka, yang dipengaruhi filsafat Yunani, agama sesungguhnya tidak dapat dipahami sebagian besar orang yang berpandangan sederhana. Sehingga, untuk memudahkan, mereka membaurkan keyakinan agama dengan kepercayaan setempat.

Beberapa anggota keluarga Rasulullah sudah dikuburkan dan dimuliakan di Kairo. Kemudian, seluruh jenazah leluhur al-Mu’izz sengaja dibawa ke ibu kota yang baru itu dan dilengkapi tempat ziarah nan mewah. Pemberian sedekah yang dipamerkan mendorong masyarakat turut berziarah ke makam keluarga ini. Tak lama sesudahnya, kebiasaan itu menjadi kebiasaan khalayak.

Infografik Kronik kairo jatuh ke dinasti fatimiyah

Mesir pada masa Fatimiyah

Mesir merupakan satu-satunya negara yang paling merasakan kekuasaan Fatimiyah. Di tanah itulah para penerus ‘Ubaydullah al-Mahdi menanamkan karakteristik khas budaya mereka. Ketegangan hubungan antara beberapa provinsi di barat laut Afrika dan Asia Barat dengan Kairo mempersulit dinasti ini untuk meletakkan jejak-jejak kebudayaannya di daerah-daerah itu.

Dalam sejarah kebudayaan Mesir, Fatimiyah bersama dinasti-dinasti sebelumnya, yaitu Iksidiyah dan dan Thulun, bisa dikatakan sebagai era Arab-Persia yang berbeda dengan era Persia-Turki pada periode Dinasti Ayyubiyah dan Mamluk. Barangkali, satu-satunya periode Arab murni adalah periode sebelum Dinasti Thulun.

Menurut Philip K. Hitti dalam History of the Arabs (2005), Dinasti Ayyubiyah yang menggantikan Dinasti Fatimiyah memperkenalkan semangat dan budaya kerajaan besar Saljuk ke Afrika. Kebesaran mereka terlihat dalam bidang kesenian, industri, serta gerakan politik dan sains.

Sedangkan pada periode Fatimiyah, kebudayaan yang mendominasi adalah kebudayaa Persia. Namun, elemen paling penting dalam populasi Mesir sepanjang Abad Pertengahan dan masa modern adalah orang-orang Kristen Koptik yang telah terarabkan. Populasi utama itu bertahan di bawah kekuasaan rezim ultra-Syiah, meski masyarakat umumnya bermazhab Sunni (hlm. 798).

Dari sisi politik, periode Fatimiyah menandai munculnya zaman baru dalam sejarah bangsa Mesir. Untuk pertama kalinya sejak periode Firaun, Mesir dikuasai kekuatan besar yang didasarkan atas prinsip keagamaan. Sedangkan dua dinasti sebelumnya yang berkuasa di negeri itu tidak memiliki dasar kebangsaan maupun keagamaan. Kebangkitan dan kemajuan mereka dicapai berkat kemampuan militer serta posisi kekhalifahan Abbasiyah yang mulai melemah (hlm. 799).

Setelah dua ratus tahun penuh kejayaan, rezim Fatimiyah mulai mengalami penurunan dan dipenuhi intrik politik. Pada 1168, ketika Salah ad-Din al-Ayyubi (Saladin) ingin meminta bantuan dari Dinasti Fatimiyah untuk menghadapi pasukan Kristen, ia terkejut melihat penguasa Kairo yang kian melemah dan mudah disingkirkan. Saladin akhirnya mengambil alih kekaisaran itu.

====================

Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang peristiwa dalam sejarah Islam dan dunia yang terjadi pada bulan suci kaum Muslim ini. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Kronik Ramadan". Kontributor kami, Muhammad Iqbal, sejarawan dan pengajar IAIN Palangkaraya, mengampu rubrik ini selama satu bulan penuh.

Baca juga artikel terkait RAMADAN atau tulisan lainnya dari Muhammad Iqbal

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Muhammad Iqbal
Editor: Ivan Aulia Ahsan