tirto.id - Penangkapan Azis Syamsudin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhir September lalu menambah panjang noda hitam Partai Golkar. Sejak bertahun-tahun lalu banyak kader yang terbukti mengeruk uang dengan cara haram. Namun demikian, dukungan terhadap partai ini masih juga besar.
Pada Pemilu Legislatif 2019, Partai Golkar berhasil memperoleh 12,31 persen suara dan 85 kursi di parlemen. Lima tahun sebelumnya, dengan mendapat 14,75 persen total suara nasional, 91 kader resmi jadi anggota dewan. Pada 2009, suara Partai Golkar sebanyak 14,45 persen atau terbesar kedua.
Pada pemilu pertama era Reformasi yang diselenggarakan pada 1999, Partai Golkar mendapatkan 22,44 persen atau terbesar kedua di bawah PDIP. Lima tahun berikutnya, mereka beringsut ke posisi pertama dengan 21,58 persen suara.
Partai Golkar adalah salah satu partai terkorup baik di era Orde Baru maupun Reformasi. Pimpinan Partai Golkar sekaligus Presiden ke-2 Indonesia, Soeharto, dilabeli oleh Transparency International Indonesia (TII) sebagai politikus paling korup dengan harta kekayaan mencapai 15-35 miliar dolar AS. Secara kuantitas pun demikian. Sepanjang 2014-2019, menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 8 kader telah ditangkap KPK. Setelah itu sampai sekarang ada dua lagi yang dijadikan tersangka, Alex Noerdin dan Azis.
Kader yang ditangkap KPK tak main-main. Mereka kerap merupakan pengurus utama partai seperti Sekretaris Jenderal Idrus Marham dan Ketua Umum Setya Novanto.
Korupsi yang melibatkan Idrus dalam kasus PLTU Riau-1 hampir menyeret Partai Golkar secara institusional sebab ada dugaan uang dipakai untuk kegiatan partai. Partai Golkar bahkan sempat mengembalikan uang ke KPK. Namun dalam perkembangannya Partai Golkar lolos.
Penegak hukum berargumen sulitnya menjerat partai politik karena korupsi kader “bukanlah kebijakan resmi partai politik sehingga pertanggungjawabannya adalah pribadi. Bahkan ditegaskan belum ada mekanisme yang jelas untuk menetapkan pertanggungmijawaban pidana atas tindak pidana korupsi terhadap partai politik.”
Banyak Pengusaha dan Sisa-sisa Orde Baru
Daya tahan Partai Golkar tak bisa dijelaskan tanpa melihat apa yang terjadi dengan situasi politik Indonesia itu sendiri setelah Soeharto tumbang. Menurut peneliti asal Australia Marcus Mietzner, komposisi elite politik tetap itu-itu saja meski sistem pemilu sudah berubah. Pensiunan tentara dan orang-orang kaya tetap merupakan kandidat terkuat untuk menempati jabatan publik.
Mietzner menyebutkan tiga alasannya dan salah satunya adalah biaya politik yang tetap mahal. Pemilihan yang membutuhkan uang banyak membuat pengurus partai lokal beralih ke pengusaha. Dana dari pusat dan negara--Rp 1.000/suara--tidaklah cukup.
Dulu Partai Golkar bergantung kepada Soeharto untuk masalah pendanaan ini.
Tidak heran kemudian Partai Golkar menjadi sangat ambisius jika menyangkut uang dan pengusaha. Siapa pun yang hendak menempati posisi pucuk pimpinan dipastikan telah mempersiapkan uang.
Praktik politik uang merebak dalam Musyawarah Nasional (Munas) VII Partai Golkar 2004. Seperti dicatat Muhammad Imam Akbar Hairi dalamDemokrasi Internal Partai: Studi Proses Pemilihan Ketua Umum Partai Golkar pada Musyawarah Nasional Golkar Tahun 1998, 2004 dan 2009 (2012): “Kemarin kandidat sama-sama punya duit, yang kalah itu kalah setengah triliun, yang menang juga hilang setengah triliun. Kalah menang habis segitu, dan tidak bisa kembali lagi. Dan masing-masing mengklaim bahwa (dukungan) yang dipegangnya itu sudah di atas 50 persen plus 1."
Pertarungan saat itu akhirnya dimenangkan seorang sipil yang juga pengusaha: Jusuf Kalla.
Lima tahun berselang, JK yang sudah tak berminat dengan posisi ketua umum membuka persaingan baru. Orang-orang yang muncul ke permukaan adalah Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Hutomo Mandala Putra, dan Yuddy Chrisnandi. Dalam munas, Aburizal menjanjikan memberikan dana abadi sebesar Rp1 triliun untuk menjalankan semua kegiatan partai, sementara Tommy berjanji kasih Rp500 juta ke tiap DPD tingkat I bila terpilih.
Kursi kepemimpinan Partai Golkar beralih dua kali lagi sejak itu, ke Setya Novanto kemudian Airlangga Hartarto. Keduanya adalah orang berduit. Novanto terlibat dalam salah satu skandal korupsi terbesar Indonesia, sedangkan Airlangga punya kekayaan hingga Rp81 miliar.
Orang-orang kaya ini yang menjadi penggerak partai hingga Partai Golkar menolak tumbang kendati diterpa kasus korupsi berkali-kali.
Di samping itu, Partai Golkar punya banyak orang yang bisa setiap saat menjadi pemimpin. Partai Golkar tidak mengalami situasi seperti PDIP dan Partai Demokrat. Sulit membayangkan dua partai itu tanpa Megawati Sukarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Sebaliknya, kader-kader Partai Golkar justru berebut untuk menjadi pemimpin--tentu yang punya uang. Ketika Munas Golkar pada 2019, misalnya, lagi-lagi satu kandidat yang hendak menantang Airlangga berasal dari kalangan orang kaya, Bambang Soesatyo--meski akhirnya gagal.
Alasan kedua mengapa dunia politik diisi orang yang itu-itu saja adalah orang-orang “terbuang” dari Partai Golkar, kelompok penguasa di era Orde Baru, bukan hilang dari panggung politik tapi mendirikan partai atau mencaplok partai lain untuk membangun kendaraan politik sendiri. Mereka adalah Oesman Sapta Odang (OSO) yang jadi pemimpin Partai Hanura, kemudian Hary Tanoesoedibjo yang mendirikan Perindo, lalu Surya Paloh yang membentuk Partai Nasdem, serta Prabowo Subianto yang mendirikan Partai Gerindra.
Belum lagi Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang sempat dipimpin Edi Sudrajat, pemimpin "faksi" militer partai saat Soeharto tumbang.
Beberapa orang seperti Wiranto dan Prabowo yang berada di Hanura dan Gerindra juga bekas pejabat militer dari era Orde Baru. Pada akhirnya, sisa-sisa Orde Baru ini yang menjadi pejabat pemerintahan.
Sebab ketiga, pengaruh Orde Baru masih melekat kuat di Indonesia. Pernyataan Mietzner selaras dengan hasil survei Indo Barometer terhadap 1.200 responden pada 15-22 April 2018. Soeharto masih dianggap oleh publik sebagai presiden paling berhasil dalam sejarah Indonesia. Dalam survei termaksud, Soeharto mendapat angka penilaian positif sebesar 32,9 persen. Di urutan kedua terdapat Soekarno dengan 21,3 persen dan di urutan ketiga Joko Widodo dengan 17,8 persen.
“Pada kenyataannya, pemilih lebih percaya pada figur semacam itu (warisan Orde Baru) akan memberikan stabilitas dan keuntungan ekonomi serta efisiensi birokrasi daripada politisi yang tidak berpengalaman dari akar rumput atau akademisi,” catat Mietzner dalam buku yang disunting Edward Aspinall berjudul Soeharto's New Order and It's Legacy (2010).
Dirk Tomsa dalam buku berjudul Party Politics and Democratization in Indonesia: Golkar in the post-Suharto era (2008) juga berpendapat Partai Golkar belum sepenuhnya lepas dari bayang-bayang Orde Baru. Namun mereka juga berhasil berdiri dua kaki dengan satu kaki berada di era Reformasi yang menjunjung demokrasi. Dengan itu Tomsa memperkirakan Partai Golkar akan terus bertahan bahkan dibanding partai lain semacam Partai Demokrat, PDIP, PKS, PAN, dan PPP.
“Kendati Golkar akan menghadapi tantangan signifikan terkait integritas institusionalnya, kelemahan partai-partai lain akan mengukuhkan dominasi partai bekasan rezim Orde Baru tetap sebagai partai politik terkuat ke depan,” catat Tomsa. Tesis ini, berdasarkan catatan perolehan suara selama pemilu, belum terpatahkan.
Boleh saja para pejabat khawatir tentang bahaya TNI disusupi PKI, tapi yang tidak mereka bahas adalah bahaya pemerintahan yang sampai sekarang masih saja bercita rasa Orba.
Editor: Rio Apinino