tirto.id - Cape Town, Afrika Selatan - Chandelier Room di komplek Castle of Good Hope, Cape Town disulap menjadi arena pertunjukan seni Kabata Tanrasula yang disiapkan oleh tim Konstelasi Artistik Indonesia Sabtu, 30 November 2024 lalu.
Sejak 3 hari sebelumnya, tim produksi sibuk mengerjakan persiapan panggung pertunjukan di ruang utama dan instalasi di ruang sebelahnya untuk pertunjukan sore hari pukul 16.00 - 18.00 waktu Cape Town.
Castle of Good Hope adalah peninggalan kolonial Belanda yang bentuknya mirip dengan Benteng Fort Rotterdam di Makassar.
Benteng ini menjadi venue penting bagi pertunjukan seni Kabata Tanrasula yang mengusung tema kekuatan terhadap ikatan sejarah dan kebudayaan untuk resiliensi manusia dari kekejaman kolonialisme yang menalikan Indonesia dan Cape Town.
Kabata Tanrasula bermakna “syair tentang kemuliaan manusia”, berasal dari bahasa Maluku Utara (Kabata) dan Bahasa Makassar untuk kata Tanrasula.
Produksi ini menjadi hasil dari proyek seni Seeking Tuan Guru yang dikerjakan sejak akhir tahun 2021.
Seeking Tuan Guru didesain dalam 3 fase, yakni riset dan residensi di Cape Town yang dilaksanakan Februari 2023, produksi dan inkubasi di Makassar pada Desember 2024, serta presentasi, kembali ke Cape Town November 2024.
Karya yang difasilitasi Kementerian Kebudayaan RI ini melibatkan 5 komposer: Aristofani dari Makassar, Maskur Daeng Ngesa dari Gowa, Atadengkofia dari Ternate, Lawe Samagaha dari Bogor, Anggara Satria dari Riau, serta 1 videografer Agus Eko Triyono dari Solo. Selain itu terdapat seniman pendukung seperti Bakri Daeng Bombong, Azis Daeng Gassing, Arif Rahman, Zahran Dzulfiqar, Rizky Salman, dan Abimevlana Hatta.
Untuk optimalisasi Kabata Tanrasula sebagai karya musik untuk seni pertunjukan, Konstelasi Artistik Indonesia melibatkan Ancoe Amar sebagai sutradara, Mamedz penata cahaya, dan Isa Faizal untuk pengembangan artistik.
Pukul 16.15 waktu Cape Town, suara tanpa alat pengeras menyita perhatian publik yang antusias melihat instalasi Seeking Tuan Guru.
Acara dipandu Manajer Produksi Kabata Tanrasula Helza Amelia dengan menjelaskan maksud dan tujuan helat hari itu.
Kemudian mengundang beberapa tokoh untuk memberikan sambutan, seperti Yazeed Kamaldien dari pihak pengelola venue yang mengatakan kegiatan ini penting sebab memberi dorongan bahwa kemerdekaan Indonesia dan bebasnya Afrika Selatan dari Apartheid perlu terus diperjuangkan dan dirasakan oleh negara lain seperti Palestina.
Diikuti oleh Bapak Daddy Yuliansyah kepala Pensosbud Konsulat Jenderal RI di Cape Town yang mengapresiasi kolaborasi lintas budaya melalui kegiatan seni seperti Kabata Tanrasula.
Ditutup oleh Aristofani Fahmi, produser Kabata Tanrasula sekaligus inisiator Seeking Tuan Guru yang mengundang Thania Petersen sebagai mitra kolaborator, menyampaikan sambutannya dengan ucapan terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu.
Ujung sambutan Aristofani kemudian bertransformasi menjadi bagian awal pertunjukan Kabata Tanrasula saat para musisi masuk ke ruang pertunjukan membawa batu yang diikat tali putih, simbol dari beban sejarah yang masih ada hari ini.
Mereka menyeret dan membenturkan batu-batu tersebut ke lantai kayu yang menghasilkan suara dentuman keras, menggema dalam ruang.
Selama 45 menit, Kabata Tanrasula menghidupkan panggung dengan perpaduan instrumen tradisional Nusantara, narasi dan teks seni tutur, gerak, animasi visual, dan tata cahaya.
Kabata Tanrasula berkisah tentang perjalanan dan perjuangan Syekh Yusuf Al-Makassari dan Syekh Imam Abdullah Kadi Abdussalam dari Tidore yang diasingkan ke Cape Town.
Karya ini dimulai dengan kelahiran Syekh Yusuf di Gowa pada tanggal 3 Juli 1626. Cahaya terang yang memancar hingga ke langit di Gowa menandai peristiwa kelahiran Syekh Yusuf menjadi cerita turun-temurun dan menghebohkan Gowa hingga ke Kerajaan Tallo.
Bagian yang sama berkisah tentang kelahiran Syekh Imam Abdullah di Tidore, sosok yang kelak menjadi Tuan Guru besar di Cape Town. Kedua peristiwa kelahiran ini disajikan melalui seni tutur yang menggunakan alat musik tradisional Sinrilik dan Arababu.
Dengan dukungan pencahayaan yang dikerjakan oleh Mamedz menciptakan atmosfer mistis yang mendalam.
Berikutnya menggambarkan perjalanan kedua tokoh yang berjarak kurang lebih 100 tahun dalam melawan kolonialisme, baik di Nusantara maupun Afrika Selatan.
Syekh Yusuf, dikenal sebagai ulama besar sekaligus pejuang, memimpin gerakan perlawanan di tanah kelahirannya melawan Belanda.
Syekh Imam Abdullah, atau Tuan Guru, memimpin gerakan perlawanan spiritual melawan upaya penjajah menghapus identitas budaya dan keislaman yang dibawa masyarakat keturunan Nusantara di Cape Town.
Setelah ditangkap oleh Belanda, Syekh Yusuf diasingkan ke Sri Lanka dan kemudian Cape Town, Afrika Selatan, tempat ia menjadi simbol perlawanan spiritual dan budaya.
Demikian pula, Syekh Imam Abdullah ditangkap di Tidore dan dibawa ke Batavia kemudian dibuang ke Cape Town oleh penjajah Belanda.
Perjuangannya terus menyala, tidak secara fisik, akan tetapi melalui pendidikan. Ia membangun komunitas muslim pertama di Afrika Selatan, melalui madrasah dan mengajarkan Islam dengan ajaran moderat.
Produksi Final
Produksi Kabata Tanrasula di Cape Town menjadi fase puncak dari rangkaian proses Seeking Tuan Guru.
Helza Amelia, Manajer Produksi Kabata Tanrasula, menjelaskan bahwa perjalanan panjang ini tidak hanya menghadirkan sebuah pertunjukan seni, tetapi juga menjadi medium refleksi sejarah dan budaya yang menghubungkan Nusantara dan Afrika Selatan.
"Produksi ini adalah gerbang pembuka dari segala persiapan dan proses kolaborasi lintas budaya yang kami bangun sejak awal," ujar Helza.
Helza menambahkan bahwa Kabata Tanrasula tidak hanya berkisah tentang perjuangan dua tokoh besar, Syekh Yusuf Al-Makassari dan Syekh Imam Abdullah Kadi Abdussalam, tetapi juga menghadirkan sebuah dialog penting tentang dekolonisasi dan identitas yang relevan hingga saat ini.
Kabata Tanrasula kemudian menjadi momen penting untuk menghubungkan kembali sejarah Nusantara dengan diaspora dan keturunan Indonesia di Cape Town.
"Kami berharap karya ini dapat menjadi jembatan untuk memahami bahwa perjuangan melawan kolonialisme adalah bagian dari sejarah kolektif yang harus terus dirawat, sehingga ini bukanlah akhir, tetapi sesuatu yang terbuka untuk tumbuh dan berkembang di masa depan" tutup Helza.
Editor: Sekar Kinasih