tirto.id - Sejumlah komunitas dan organisasi masyarakat sipil mengeluhkan permasalahan inklusi difabel dan kelompok rentan kepada para kandidat Calon Wali Kota Yogyakarta. Mereka juga menyoroti tentang permasalahan pendataan difabel yang masih kacau.
Dalam sesi mimbar suara warga yang digelar di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Yogyakarta pada Selasa (19/11/2024) dan dihadiri ketiga kandidat Calon Wali Kota Yogyakarta, Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA), menyoroti carut-marut pendataan penyandang disabilitas antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD), yang berimbas pada tidak optimalnya alokasi anggaran untuk difabel.
Calon Wali Kota Yogyakarta nomor urut 1, Heroe Poerwadi, berjanji untuk memperbaiki sistem pendataan dengan menciptakan data tunggal yang terintegrasi untuk semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Heroe mengafirmasi pernyataan organisasi SAPDA bahwa data yang saat ini tersebar di berbagai instansi terutama Kementerian sosial dan Dinas Kesehatan bisa menjadi kendala.
“Data itu dulu tidak sama, tetapi sudah terjadi beberapa tahun terakhir ini integrasi pendataan di Yogyakarta sudah jadi satu, sehingga seluruh OPD ketika kita bicara tentang disabilitas itu punya data yang tunggal,” kata Heroe dalam diskusi tersebut, Selasa (19/11/2024).
Namun, Heroe tidak merinci bagaimana bentuk pengembangan sistem disabilitas yang ditawarkan, termasuk aspek teknis, anggaran, maupun waktu implementasinya.
Sementara itu, Calon Wali Kota Yogyakarta nomor urut 2, Hasto Wardoyo, menekankan pentingnya edukasi masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi difabel. Hasto berjanji akan mengerahkan tim pendamping difabel dari keluarga untuk mendata difabel.
“Saya kira ini bagaimana carut-marut data, itu saya akan mengerahkan Tim Pendamping Keluarga. Tim Pendamping Keluarga itu mendata keluarga. By name, by adress, data mikro, bukan data makro. Kalau BPS data makro. Tapi pemerintah punya Tim Pendamping Keluarga,” ujar Hasto Wardoyo di lokasi yang sama.
Sementara itu, Calon Wakil Wali Kota Yogyakarta nomor urut 3, Singgih Raharjo, mengusulkan bakal melibatkan kelompok disabilitas dan inklusi sosial dalam pembangunan melalui Musrenbang Reguler dan Musrenbang Tematik.
“Data itu memang kalau kita tidak hati-hati, maka data sekarang dengan data yang besok pun pasti akan berbeda. Maka satu data menjadi kunci utama untuk kemudian menjadi dasar untuk pembangunan kita,” imbuh Singgih.
Pembahasan ini juga kemudian disinggung oleh LKIS yang menyoroti diskriminasi sosial terhadap kelompok rentan, seperti penyandang disabilitas, penghayat kepercayaan, dan korban kekerasan. Kelompok ini jarang dilibatkan secara aktif dalam proses perencanaan dan pengambilan kebijakan, sehingga kebijakan yang dihasilkan sering kali kurang inklusif.
Meskipun semua paslon menyatakan komitmen terhadap inklusi difabel, skeptisisme muncul dari para peserta dialog. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa isu difabel sering kali hanya menjadi bagian dari retorika kampanye tanpa tindak lanjut nyata.
Penulis: Dina T Wijaya
Editor: Andrian Pratama Taher