Menuju konten utama
Debat Pilgub Jabar 2018

Jurus Data dan Silat Lidah Pasangan 2 DM yang Kurang Kompak

Deddy Mizwar banyak bermain data, sementara Dedi Mulyadi lebih banyak bicara soal filosofi. Sayang, keduanya kelihatan tidak kompak dalam debat Pilgub Jabar.

Jurus Data dan Silat Lidah Pasangan 2 DM yang Kurang Kompak
Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar (kiri) dan Dedi Mulyadi menyampaikan visi dan misi saat Debat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat di Sabuga, Bandung, Jawa Barat, Senin (12/3/18). ANTARA/M. Agung Rajasa

tirto.id - “Sebelumnya, saya ingin koreksi terlebih dahulu bahwa tingkat kemiskinan Jawa Barat berada di bawah rata-rata nasional,” celetuk Deddy Mizwar.

Celetukan calon Gubernur Jabar nomor urut 4 itu langsung membungkam Rosiana, moderator debat Pilgub Jawa Barat di gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Senin (12/03). Menurut Demiz, demikian sapaannya, apa yang diucapkan Rosiana keliru, sebab faktanya tingkat kemiskinan di Jawa Barat lebih rendah dari rata-rata nasional.

“Jawa Barat itu 7,8 persen, sedangkan rata-rata nasional 10,1 persen,” lanjut Deddy.

Tak hanya mengoreksi soal data kemiskinan, Demiz juga menambahkan data rasio gini yang sempat disinggung moderator. Menurutnya rasio gini di Jawa Barat 0,393 lebih rendah dari Bandung yang mencapai 0,44. Data yang diungkapkan Demiz sesuai dengan data rilisan BPS Jawa Barat.

PERIKSA DATA Deddy Mizwar  1

Sebagai Wakil Gubernur, Demiz tampak hafal data-data semacam itu. Gaya penyampaian Demiz pun terlihat lugas dan tanpa ragu. “Saya koreksi karena saya pegang data di sini,” tegasnya.

Dalam debat Pilkada pertama ini, Demiz tampil lepas. Sejak sesi pertama ketika seluruh kandidat menyampaikan visi dan misi, Demiz sudah percaya diri. Visi misi Demiz dipaparkan secara singkat, lugas, tepat waktu, dan sesuai dengan lembar visi dan misi yang diserahkannya ke KPU Provinsi Jawa Barat.

Kepercayaan diri itu juga terlihat pada sesi ke 4. Saat Anton Charlian (cawagub pasangan nomor urut 2) bertanya soal proses perizinan Meikarta, Demiz pun bisa menjelaskannya secara rinci.

“Jadi perlu dijelaskan bahwa yang kita tolak adalah perizinan Meikarta membangun kota metropolitan 500 hektare sampai 2.200 hektare. Yang kami izinkan 84,6 hektare yang sudah ditentukan gubernur tahun 1994. Yang kami tolak adalah metropolitan. Tetapi perizinan yang menjadi hak mereka 84,6 harus segera dikeluarkan karena itu hak mereka dan kita adalah pelayan publik. Jangan ganggu hak orang lain. Dzalim itu namanya,” Beber Demiz.

Lagi-lagi Dedy lincah mengutip angka untuk berdebat. Ia benar-benar menguasai kebijakan pemerintah Jawa Barat semasa memimpin bersama Ahmad Heryawan.

PERIKSA DATA DEDDY mizwar 2

Sebaliknya, keketatan Demiz menggunakan data angka untuk mendebat lawannya tak menular pada Dedi Mulyadi, cawagub yang mendampinginya.

Misalnya soal Meikarta. Demul, begitu ia disapa, mengklaim pajak Meikarta nantinya bisa mencapai Rp 1 triliun untuk Kabupaten Bekasi. Angka ini baru sebatas perkiraan, yang sayangnya tanpa landasan. Sebagai pembanding, Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bekasi pada 2017 saja hanya sebesar Rp 1,8 triliun.

Sepertinya Demul memang tidak andal dalam urusan data. Dia lebih jago bersilat lidah. Ketika Akhmad Syaikhu menuding kebijakan Demul membelit pohon di Purwakarta, Demul mencoba mematahkannya dengan jawaban-jawaban filosofis.

“Menyarungi pohon adalah bagian dari kebudayaan memuliakan pohon, yang derajatnya lebih tinggi daripada orang yang kerjanya nebang pohon di mana-mana,” kata Demul.

Saat Syaikhu menyerang balik dengan bahwa masih banyak anak-anak yang tidak mengenakan kain di Purwakarta tempat Demul menjadi Bupati, ia dengan mudah menepisnya.

“Tunjukkan kalau di Purwakarta ada anak-anak yang tidak kebagian kain, setiap hari jumat anak-anak di Purwakarta pergi ke sekolah menggunakan kain sarung dan hampir semuanya memiliki kain sarung yang baik,” jawab Demul yang langsung mendapat aplaus dari penonton.

Serangan ala Syaikhu sudah biasa diterima Demul. Jauh sebelum masa kampanye, Demul sudah diterpa isu SARA. Ia dianggap tidak islami dan cenderung dekat dengan aliran kepercayaan.

Kurang Kompak

Terlepas dari retorika Demul dan kecakapan Demiz memainkan data, keduanya justru terlihat tidak kompak. Demiz sama sekali tidak memberikan kesempatan Demul bicara dalam sesi pemaparan visi dan misi.

Pada sesi kedua, Demul diberikan kesempatan untuk menjawab. Sayangnya jawaban itu cukup berbelit. Ia bicara nyaris tanpa jeda. Satu menit seakan lewat tanpa menghela napas.

Pada sesi ketiga kekompakan mulai nampak. Begitu Demiz selesai menanggapi isu kemiskinan dan kesenjangan sosial di Jawa Barat, Demul sudah siap turun dari kursi untuk menambahkan jawaban. Namun sedetik kemudian, Demiz kembali angkat bicara mengingat masih ada sisa waktu. Demul pun duduk lagi.

Gestur semacam itu kerap muncul di beberapa sesi lainnya. Begitu mendapat kesempatan bicara, Demul tidak menyia-nyiakannya. Ia bicara terburu-buru karena waktu yang terbatas. Setiap kata yang keluar dari mulutnya mengalir deras. Contohnya saat menjelaskan soal prinsip Siliwangi “Silih Asah Silih Asih Silih Asuh, nu jauh orang deket, neus deket urang layeukeun, neu layeu urang padetkeun, neus padet siliwangi keun. Demul mengucapkannya bak mantra; tiap kata yang keluar nyaris tidak terdengar jelas.

Anehnya, ketika mendapat kesempatan untuk bertanya pada calon pasangan lain, Demul santai menjelaskan sampai kehabisan waktu. Akibatnya, serangan ke kubu lawan pun kurang tegas.

Misalnya dalam serangan yang dilancarkan Demul soal sokongan dana dari korporasi swasta kepada calon lainnya. Demul mungkin sedang membidik Ridwan Kamil yang selama ini banyak menggunakan dana CSR perusahan untuk pembangunan di Bandung. Sayangnya, serangan itu tidak tajam.

“Apapun sistem dan kebijakan yang kita miliki manakala disponsori banyak pihak kepentingan terhadap ekonomi Jawa Barat, maka hasilnya akan jadi sia-sia,” katanya.

Pada sesi terakhir Demul bahkan turut bicara, meski Demiz belum selesai. Kesannya, mereka berdua sedang berebut panggung.

Gagal Merepresentasikan Diri

Pada saat sesi pentas seni, Demiz dan Demul mempercayakannya pada penyanyi berdarah Jawa Barat, Charlie van Houten yang terkenal bersama band ST12. Kepopuleran Charlie tidak terbantahkan. Namun sebagai representasi diri, menggunakan Charlie adalah sebuah kegagalan.

Tentu tidak boleh dilupakan Deddy Mizwar juga seniman. Demul pun selalu tampil bersama simbol-simbol kebudayaan Sunda, misalnya dengan mengenakan ikat kepala khas Sunda. Dalam ucapan, Demul bahkan selalu menggunakan filosofi Sunda untuk menjelaskan berbagai fenomena sosial.

Namun dua keunggulan tersebut — Demiz sebagai seniman dan Demul yang mencitrakan nyunda—justru tidak hadir dalam sesi khusus pentas seni. Mereka hanya jadi pelengkap aksi musik dan tari Charlie. Bandingkan misalnya dengan pasangan TB Hasanuddin dan Anton Charliyan. Boleh saja mereka tampil dengan jas, tetapi duet perwira TNI dan Polri itu -- terutama TB Hasanudin -- memamerkan kebolehan pencak silat di atas panggung.

Kecakapan mengutip data dan bersilat lidah di sesi awal pun tiba-tiba anjlok, lalu terkapar habis ketika Demiz terang-terangan mengaku tidak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan via amplop. Kesan yang muncul, ia seperti malas berpikir untuk menanggapi pertanyaan tentang "Revolusi Industri 4.0" dan era disrupsi.

“Saya enggak bisa jawab pertanyaan ini. Nanti saya minta ahlinya untuk menjelaskan itu sama saya. Ini kita nih selama ini seolah-olah kita bisa menjawab semua persoalan, yang ada di sini. Kenapa? Kenapa kita harus menjawab semua persoalan yang kita enggak tahu kadang-kadang. Nanti saya panggil Pak Asep Walan, profesor-profesor itu, bagaimana kita menghadapi masalah ini.”

Jawaban Demiz langsung mendapat sorakan “huuuuu” dari bangku penonton.

Demul langsung berinisiatif mengambil alih panggung. Sayangnya waktu terbatas. Ia tak sempat melancarkan retorika untuk menambal blunder pasangannya.

Baca juga artikel terkait DEBAT PILGUB JABAR 2018 atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Politik
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Windu Jusuf