tirto.id - Jeng Narsih meneteskan air mata haru hingga menyeka wajah dengan tangan kanannya. Presiden Jokowi yang berdiri di sebelahnya menyaksikan momen penuh emosional itu. Jeng Narsih merupakan satu dari ribuan penerima sertifikat tanah di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat (Kalbar), Rabu (21/12/2016).
Jelang tutup tahun, Presiden Joko Widodo memang punya kesibukan berkeliling ke beberapa daerah seperti Balikpapan, Kaltim, hingga Kubu Raya Kalbar. Misi Jokowi salah satunya membagikan ribuan sertifikat tanah ke masyarakat.
Program yang diberi nama proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) ini tak hanya soal bagi-bagi sertifikat tapi ada target yang lebih luas. Selain menekan risiko konflik agraria juga bisa mendorong akses pembiayaan perbankan di masyarakat, dan tentunya jadi poin bagi pemerintah.
"Kalau ini jadi sertifikat ini efeknya bisa ke mana-mana, seperti sekarang ini untuk financial inclusion dari sertifikat saja bisa Rp23 triliun. Di sini untuk kredit saja," kata Jokowi dikutip dari Antara.
Masyarakat yang berhak mengikuti Prona mereka dengan golongan ekonomi lemah sampai dengan menengah, dengan penghasilan tidak tetap antara lain petani, nelayan, pedagang, peternak, pengrajin, pelukis, buruh musiman dan lain-lain. Program ini memang tak murni “gratis” karena hanya biaya pengelolaan penyelenggaraan Prona yang seluruhnya dibebankan APBN. Sedangkan biaya-biaya yang berkaitan dengan alas hak/alat bukti perolehan/penguasaan tanah, patok batas, materai dan BPHTB/PPh menjadi tanggung jawab peserta.
Target Jokowi terhadap program ini memang cukup muluk. Setiap tahunnya ada peningkatan jumlah signifikan penerima sertifikat tanah, misalnya tahun depan ditargetkan ada 5 juta sertifikat yang harus dikeluarkan untuk mengejar 60-an juta sertifikat yang harus segera diterbitkan. Angka ini cukup ambisius, karena tahun ini saja target Prona hanya mencakup 1.060.000 sertifikat. Target ini sudah di atas realisasi Prona 2015 yang hanya 700 ribu sertifikat.
"Bahkan di tahun 2018 juga kita menargetkan ada 7 juta sertifikat tanah dikeluarkan dan pada tahun 2019 ada 9 juta sertifikat tanah untuk masyarakat Indonesia," kata Jokowi.
Sayangnya target-target ini tidak mulus, hingga awal Desember 2016, sertifikasi tanah baru mencapai 46 juta hektar atau 38 persen dari target 120 juta hektar tanah yang harus tersertifikasi. Pemerintah masih menyisakan sekitar 74 juta hektar lahan yang ditargetkan selesai seluruhnya pada 2025.
Salah satu masalah adalah soal pembiayaan. Dari target 5 juta sertifikat, hanya 2 juta bidang tanah yang dibiayai oleh APBN. Sisanya 3 juta lainnya didapat melalui kerja sama dengan pemerintah daerah melalui APBD, investor melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan sumber dana lainnya yang sesuai aturan.
Program ini juga mengalami hambatan kekurangan petugas ukur. Kementerian ATR/BPN telah menerbitkan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 33 Tahun 2016 tentang Surveyor Kadaster Berlisensi yang memberikan kewenangan kepada perorangan ataupun Kantor Jasa Surveyor Kadaster Berlisensi berbentuk firma untuk menerima pekerjaan langsung dari Kementerian ATR/BPN atau dari masyarakat.
“Soal petugas ukur, kita akan melakukan swastanisasi, peraturan menteri sudah diterbitkan,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian ATR/BPN, M. Noor Marzuki dikutip dari laman bpn.go.id.
Ada persoalan yang sudah ada jalan keluarnya, misalnya soal Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang menjadi tanggungan masyarakat dalam membuat sertifikat. Kementerian ART/BPN telah menyiapkan sistem ‘BPHTB Terhutang’ di mana masyarakat tetap bisa mendapatkan sertifikat meskipun belum membayar BPHTB.
Hal ini akan tertulis dalam sertifikat bahwa BPHTB terhutang, dan apabila sewaktu-waktu mau dijual atau digadaikan, maka harus dilunasi terlebih dahulu. Namun, dengan target yang besar program ini harus memerlukan terobosan, tak cukup dengan langkah-langkah biasa saja.
Di Balik Sertifikasi Tanah
Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ART) atau Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai pelaksana teknis Prona mencari cara agar program yang sudah ada cikal bakalnya sejak 1981 atau sudah 35 tahun lamanya bisa sukses. Selama puluhan tahun program yang positif ini berjalan apa adanya dan tak kunjung selesai.
Percepatan sertifikasi tanah di masyarakat mau tak mau harus dilakukan. Selama berpuluh tahun, persoalan lahan merupakan isu sensitif yang dapat memicu munculnya konflik agraria yang selama ini sering terjadi. Dengan adanya sertifikat tanah, maka akan tercipta kepastian hukum atas kepemilikan dan penggunaan lahan, sehingga potensi konflik dapat dikurangi atau dihindari.
Setidaknya ada dua manfaat yang didapat, bagi masyarakat maupun pemerintah. Bagi masyarakat, sertifikasi tanah ini menjadi bukti kepemilikan yang sah dan kuat secara hukum sehingga tidak mudah digugat. Selain itu, adanya kepastian hukum ini bisa memberikan kemudahan bagi pemilik lahan untuk memperoleh pinjaman bank, serta hak waris akan terhindar dari potensi kesewenang-wenangan.
Minimnya lahan yang bersertifikat seringkali menjadi hambatan dalam proses pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan, bandara dan fasilitas umum lainnya. Tanpa ada bukti sertifikat, seringkali tim pembebasan lahan sulit menetapkan pihak mana yang berhak secara hukum atas tanah yang akan dibebaskan.
Persoalan tersebut selama ini sering membuat proyek pembangunan infrastruktur terkendala hingga bertahun-tahun. Hal ini jelas menghambat dan menimbulkan kerugian, karena biaya pembebasan lahan akan meningkat seiring kenaikan harga tanah setiap tahunnya apabila proses pembebasan lahan ini berlarut-larut.
Program sertifikasi tanah akhirnya jadi program prioritas dalam kabinet kerja Presiden Jokowi dan memasukkannya dalam paket kebijakan ekonomi jilid VII. Presiden Jokowi pun sadar tak cukup satu periode kepemimpinannya menuntaskan 100 persen program sertifikasi yang sudah melewati berbagai presiden ini.
Jadi, program ini tak hanya bernilai strategis bagi masyarakat luas seperti Jeng Narsih di Kubu Raya, Kalbar, juga jadi poin penting bagi pemerintah. Bisa menuntaskan program populis yang pekerjaannya tertunda oleh pemerintah sebelumnya tentu jadi sebuah nilai plus, dan bisa memperlancar program pembangunan infrastruktur yang juga sedang dikebut Presiden Jokowi.
Mengambil pribahasa “Sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui” barangkali bisa menjawab mengapa Jokowi gencar berkeliling bagi-bagi sertifikat tanah ke masyarakat.
“Saya ingin mengecek langsung, kontrol langsung. Kalau nanti tahun depan 5 juta, saya ingin lihat langsung 5 juta yang mendapat sertifikat,” tegas Jokowi.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Suhendra