tirto.id - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengumumkan jumlah pengungsi Rohingya, yang terpaksa lari dari kampung halamannya di Rakhine, Myanmar, menuju Bangladesh kini sudah mencapai 589.000 orang. Jumlah ini diperkirakan akan segera mencapai 600 ribu pengungsi. Sekitar 60 persen dari mereka ialah anak-anak dan remaja.
Jumlah ini meningkat dibanding data pada 17 Oktober 2017. Laman badan PBB untuk urusan pengungsi (UNHCR), mencatat jumlah pengungsi dari Rakhine, yang masuk Bangladesh sejak akhir Agustus 2017, per 17 Oktober 2017, baru mencapai 582.000 orang.
Pada Jumat (20/10/2017) lalu saja sudah ada tambahan tujuh ribu pengungsi baru yang menyeberang dari Myanmar ke Bangladesh. Arus ratusan ribu pengungsi itu terus bertambah tiap pekan sejak kekerasan etnik bernuansa agama mewabah lagi di Rakhine sejak dua bulan lalu.
"Kadang-kadang air mata menetes dari mata saya. Mengerikan," demikian kesaksian Ian Cross, salah satu relawan pendamping pengungsi asal Leicester, Inggris kepada BBC seperti dilansir Antara.
Ian juga mengatakan ratusan ribu pengungsi itu kini semakin sulit mendapatkan suplai bantuan makanan dan fasilitas hidup dasar yang memadai. Sebagian malah menjadi korban pedagangan seks.
"Keluarga mereka di sini tak punya apa-apa. Mereka berjuang keras bertahan hidup setiap hari. Beberapa dari mereka menyerah untuk merelakan anak mereka bekerja, kadang-kadang menjadi objek kekerasan seksual," kata Ian Cross.
Badan-badan di bawah PBB akan menggelar konferensi di Jenewa pada Senin (23/20/2017). Pertemuan itu untuk membahas pengumpulan dana bantuan bagi 600 ribuan pengungsi Rohingya itu. PBB mencatat setidaknya dibutuhkan dana 434 juta dolar AS atau sekitar Rp5,8 triliun guna membiayai masa tanggap darurat krisis pengungsi Rohingya di Bangladesh.
Dalam catatan PBB, krisis yang dimulai oleh respon militer Myanmar saat pemberontak di Rakhine menyerang pos-pos polisi pada 25 Agustus 2017, itu merupakan arus pengungsian tercepat dalam sejarah.
PBB menuduh militer Myanmar telah melancarkan kampanye pembersihan etnis. Tapi, tuduhan itu sudah dibantah pemerintahan Aung San Suu Kyi. Meskipun demikian, fakta yang tak terbantahkan ialah, 8 pekan usai 25 Agustus 2017, mengalir ratusan ribu pengungsi dari Rakhine ke Bangladesh.
Padahal sebelum mereka tiba, sudah ada 400.000 pengungsi Rohingya lainnya menempati kamp-kamp di Bangladesh. Mereka datang akibat kekerasan serupa pada 1970-an, 1990-an dan Oktober 2016 lalu.
UNICEF menyebutkan 60 persen pengungsi Rohingya adalah anak-anak yang kebanyakan terserang malnutrisi akut. Lembaga PBB ini sudah mengajukan dana 76 juta dolar AS untuk biaya kebutuhan anak-anak pengungsi. Sedangkan Program Pangan Dunia WFP memerlukan 77 juta dolar AS untuk memberi makan satu juta pengungsi Rohingya.
Sementara itu, Amnesti Internasional meminta negara-negara Asia aktif terlibat menanggung beban Bangladesh akibat krisis pengunsi ini. "Lebih banyak lagi negara, khususnya dari Asia, mesti memainkan peran yang jauh lebih besar dan ikut menanggung beban tanggung jawab," kata Omar Waraich, Wakil Direktur Amnesti Internasional untuk Asia Selatan.
Di laman resminya, UNHCR menggambarkan arus pengungsian lebih dari setengah juta minoritas muslim Myanmar sejak 25 Agustus 2017 itu sebagai sebuah "eksodus".
"Mayoritas dari pengungsi itu ialah perempuan, anak-anak, bayi dan banyak lainnya orang-orang tua. Mereka tak punya apa-apa dan butuh semua jenis bantuan," tulis UNHCR pada Sabtu (21/10/2017).
UNHCR juga mencatat pengakuan salah satu pengungsi Rohingya bernama Mohammed, yang masuk ke Bangladesh bersama tujuh anggota keluarganya, termasuk seorang bayi. Dia berkata, "Mereka membakar rumah kami, mengusir kami dengan tembakan. Kami sudah berjalan kaki tiga hari melintasi hutan (sebelum masuk ke Bangladesh)."
UNHCR mengumumkan lembaga ini memerlukan tambahan dana senilai 83,7 juta dolar AS agar bisa memperpanjang masa pemberian bantuan bagi ratusan ribu pengungsi Rohingya di Bangladesh sampai akhir Februari 2018.
"Situasi makin genting sebab pengungsi baru terus berdatangan (dari Rakhine ke Bangladesh). Mereka punya banyak kisah mengerikan soal kekerasan ekstrem (di Rakhine), sebagian malah datang dengan terluka dan trauma," demikian ditulis oleh UNHCR.
Lembaga ini menyatakan di antara kebutuhan paling mendesak untuk pengungsi di Bangladesh itu ialah tempat penampungan berupa shelter darurat, selimut, air bersih hingga fasilitas kesehatan. Pertengahan Oktober 2017 lalu, UNHCR baru mengirim 700 metrik ton bantuan ke Bangladesh, yang terdiri dari tenda, seprai plastik, selimut, kelambu, peralatan dapur dan jerigen.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom