tirto.id - “Tidak lagi bermusuhan-musuhan. Kita sekarang berdiri berdampingan meskipun dengan [masa lalu yang] penuh luka dan kekerasan akibat kebencian dan kekecewaan,” ucap Ratu Juliana dalam pidatonya ketika mengakhiri rangkaian Konferensi Meja Bundar pada 27 Desember 1949. Berakhirnya konferensi yang berlangsung dari Agustus hingga Desember 1949 itu, habis pula masa hidup Negara Kolonial Hindia Belanda—jajahan terbesar Belanda di Asia.
Saat Juliana menyampaikan pidato yang diperdengarkan melalui pengeras suara ke luar Ridderzaal, orang-orang yang berkumpul di depannya terlihat menangisi “perpisahan” dengan negara kolonial tersebut. Raut wajah Juliana sendiri menampakkan kesedihan.
Selama satu tahun berikutnya (1949–1950), ia sempat menjadi kepala Uni Indonesia-Belanda, tetapi badan ini berumur pendek karena Indonesia di bawah Sukarno segera menyatakan pembubaran dari persatuan tersebut.
Ratu Juliana menjadi kepala negara terakhir dari negeri jajahan itu setelah menerima takhta dari ibunya, Ratu Wilhelmina, yang melengserkan diri karena masalah kesehatan pada bulan September 1948. Sejak sebelum naik takhta, Juliana merupakan figur yang menjadi perhatian dalam dua sisi, kontroversial namun dicintai.
Lagu Nazi pada Resepsi Pernikahan
Juliana lahir pada 30 April 1909, tepat hari ini 113 tahun yang lalu, sebagai anak satu-satunya yang bertahan hidup dari pernikahan Ratu Wilhelmina dan Hendrik dari Mecklenburg-Schwerin.
Seperti tercatat dalam arsip parlemen Belanda, HM Koningin Juliana (2021), ia mengenyam pendidikan privat bersama dengan putri-putri bangsawan lain termasuk Elise Bentinck, Elisabeth van Hardenbroek, dan Miek de Jonge. Setelah berusia 18 tahun, Juliana melanjutkan pendidikan di Universitas Leiden dan mengambil jurusan hukum internasional. Di kampus itu ia berkenalan dengan topik-topik di luar jurusannya yang menyangkut pula urusan jajahan Belanda, terutama Suriname dan Antillen Belanda.
Di samping pendidikan, kebutuhan dari seorang penerus takhta untuk dapat mengamankan jalan suksesi dinasti adalah kehadiran pasangan. Ratu Wilhelmina telah mencari calon pendamping bagi putrinya setidaknya sejak dekade 1930-an. Keluarga Kerajaan Belanda merupakan satu dari sedikit keluarga kerajaan di dunia yang masih menjunjung tinggi kepercayaan religius. Oleh sebab itu, salah syarat bagi pendamping anggota keluarga kerajaan harus seorang Kristen Protestan dan dari kelas sosial yang sama-sama kuat.
Wilhelmina sebenarnya menemukan banyak calon yang pas dari para pangeran Inggris, namun Juliana menolak semua calon dari Inggris yang ditawarkan oleh sang ibu. Ia menemukan sendiri cintanya dalam diri Pangeran Bernhard, seorang Jerman, ketika ia mengunjungi Olimpiade Musim Dingin Bavaria tahun 1936. Pada akhir tahun yang sama, mereka mengumumkan pertunangannya.
Publik Belanda terbelah menerima berita “baik” ini. Saat itu, Jerman di bawah kekuasaan Hitler telah banyak dicurigai setidaknya oleh tetangga-tetangga Eropanya dan identitas Bernhard tidak dapat dilepaskan dari negeri asalnya. Namun, ketika publik di negeri induk terbelah, anehnya—seperti ditunjukkan Ong Hok Ham dalam Runtuhnya Hindia Belanda (1989), publik Eropa di Hindia Belanda satu suara dan malahan bersorak sorai atas pertunangan sang calon ratu.
Pada dekade 1930-an, Nationaal-Socialistische Beweging (NSB, Gerakan Nasional Sosialis) yang merupakan organisasi politik Belanda pro-Nazi cukup populer di Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Bonifacius de Jonge (menjabat 1931-1936) bahkan sempat menerima audiensi dari NSB. Dukungan dari golongan Eropa di Hindia terhadap ide-ide NSB pun cukup kuat.
Peristiwa yang lebih mengejutkan terjadi di tengah resepsi pernikahan. Diungkap oleh Enne Koops dalam “Partijlied van de nazi’s op galafeest Juliana en Bernhard” (Historiek 7 Januari 2022), pada acara makan malam pernikahan Putri Juliana dan Pangeran Bernhard yang diadakan pada 5 Januari 1937, terdengar lagu Partai Nazi karya Horst Wessel yang dimainkan oleh orkestra. Ratu Wilhelmina bersikeras bahwa lagu ini harus diputar.
Sebelumnya, komposer terkenal yang telah sering bekerja untuk keluarga kerajaan, Peter van Anrooy, menolak untuk memainkan lagu Nazi itu. Ia secara pribadi menentang garis partai itu yang bertindak keji terhadap orang Yahudi dan orang-orang yang berbeda pendapat. Ketika ia dan kelompok orkestranya yang berjumlah sekitar 25 orang menolak untuk memainkan lagu Wessel di makan malam pernikahan Putri Juliana, Ratu Wilhelmina murka.
Sang ratu segera memecat Anrooy dan menggantinya dengan Kapten Walther Boer, komposer Orkes Militer Kerajaan yang bersedia memainkan lagu tersebut. Dalam sebuah wawancara pada tahun 1950, Anrooy mengenang peristiwa itu, “[…] saya ingin semua orang tahu bahwa saya menolak memainkan lagu yang terkutuk itu!”
Pengaruh Guru Spiritual
Kontroversi lain melingkupi Juliana satu tahun setelah ia naik takhta. Pada 20 September 1949—di tengah peradilan bagi para penjahat perang dan proses dekolonisasi yang menyakitkan bagi bekas jajahan Belanda—Mahkamah Istimewa di Amsterdam menjatuhkan putusan hukuman mati bagi Willy Lages, pengelola Biro Sentral Emigrasi Orang-orang Yahudi yang berafiliasi dengan Nazi Jerman.
Salah satu kejahatan yang dilakukan oleh biro tersebut adalah mengorganisasi perampasan dan penyerangan terhadap warga Yahudi di tengah perang. Ratu Juliana tidak bersedia memberikan persetujuan kerajaan atau tanda tangannya di atas surat putusan hukuman mati itu.
Menurut Fons Kockelmans dalam “Onconstitutioneel gedrag van koningin Juliana [Tindakan Inkonstitusional dari Ratu Juliana]” (Historiek 21 Februari 2022), keengganan ini disebabkan oleh pengaruh dari seorang penyembuh spiritual bernama Greet Hofmans yang dekat dengan ratu. Hofmans mempromosikan tindakan-tindakan yang pasifis—salah satunya menolak hukuman mati.
Di tengah protes massa yang semakin deras terhadap pilihan ratu, menteri kehakiman Hendrik Mulderije menolak untuk bertanggung jawab tindakan sang kepala negara. Ini membuat kabinet berada dalam posisi serba salah. Perdana Menteri Willem Drees kemudian membujuk ratu dengan mengatakan bahwa ini bukan kali pertama ia menandatangani sebuah putusan hukuman mati. Artinya secara prinsip menandatanganinya bukanlah masalah yang sangat besar.
Tindakan ini gagal, ratu bahkan sempat mengancam akan mundur, dan akhirnya terjadilah krisis konstitusional. Krisis baru dapat diakhiri ketika menteri kehakiman yang baru, Leendert Donker, mengambil semua tanggung jawab dengan mengubah hukuman Lages menjadi hukuman penjara seumur hidup.
Keterlibatan Hofmans di dalam hidup Juliana juga sempat menjadi sumber dari kontroversi lain yang disebut Greet Hofmans Affair atau yang di Belanda disebut Masalah Soestdijk—merujuk pada rumah tempat tinggal Ratu Juliana dan Pangeran Bernhard. Masalah ini menyebabkan renggangnya hubungan pernikahan sang ratu dengan suaminya.
Hofmans yang dijuluki sebagai Rasputin modern sebenarnya pada awalnya diperkenalkan ke dalam lingkaran keluarga kerajaan oleh Pangeran Bernhard. Setelah kelahiran putri terakhirnya, Marijke (ketika dewasa dikenal sebagai Putri Christina), yang menderita kelainan mata akibat rubella pada 1947, Bernhard memperkenalkan penyembuh spiritual tadi. Meskipun awalnya skeptis, Juliana akhirnya setuju untuk melakukan beberapa konsultasi pribadi dan akhirnya terpikat oleh ide-ide tidak umum yang disampaikan Hofmans.
Pertemuan yang tadinya dilakukan secara pribadi dan terbatas mulai berkembang ke pertemuan kelompok yang diadakan oleh Hofmans di Oude Loo. Juliana menjadi salah satu audiensnya. Para peserta mendapatkan ceramah spiritual dan bahkan diajak melakukan perdebatan tentang topik-topik filosofis yang tidak umum. Ketika Juliana menjadi semakin dekat dengan kelompok Hofmans dan menunjukkan sikap politik yang semakin pasifis, Bernhard menjadi terganggu.
Tiga Serangkai Menyingkirkan Hofmans
Hubungan Juliana dengan suaminya memburuk dengan cepat pada tahun 1955. Perceraian tampak di depan mata sampai akhirnya Bernhard memutuskan untuk menceritakan masalahnya kepada Perdana Menteri Drees. Drees segera mengingatkan bahwa perceraian harus dihindari dengan segala cara. Drees kemudian berniat untuk membongkar semua fakta yang berkaitan dengan masalah Hofmans ini.
Menurut Michel Ketelaars dalam “De Greet Hofmans-affaire [Masalah Greet Hofmans]” (Historiek 17 Februari 2022), Drees membentuk sebuah tiga serangkai yang beranggotakan mantan perdana menteri Pieter Sjoerds Gerbrandy (menjabat 1940–1945), mantan perdana menteri Louis Beel (menjabat 1946–1948 dan 1958–1959), serta mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh (menjabat 1936–1942).
Ketiganya menyelesaikan tugas pada 24 Agustus 1956 dan mengumumkan solusi masalah secara publik, yaitu melakukan reorganisasi pegawai rumah tangga di Soestdijk: menyingkirkan “kelompok ratu” yang pro-Hofmans, dan mejauhkan Hofmans dari sang ratu termasuk melarang ratu mendatangi Konferensi Oude Loo. Triumvirat tampaknya berpikir bahwa pengaruh pasifis yang dibawa Hofmans kepada ratu sangat berbahaya bagi kepentingan nasional Belanda di tengah dunia yang sedang dalam ketegangan Perang Dingin (sekitar 1947–1991).
Sekalipun dilingkupi berbagai kontroversi, Juliana adalah ratu yang tidak kalah mendapatkan cinta dan perhatian dari masyarakat umum Belanda. Salah satu tindakannya yang terkenal adalah saat ia terjun ke lapangan ketika Belanda dilanda badai luar biasa pada awal tahun 1953 (bencana yang disebut dengan Banjir Laut Utara 1953).
Di tengah jebolnya 30 tanggul laut Belanda, Juliana turun ke jalan dengan menggunakan sepatu karet dan mantel tua untuk mengirimkan bantuan kepada warga yang terdampak. Tindakannya secara tidak langsung memberikan dukungan kepada monarki yang telah rapuh di tengah pertanyaan publik Belanda tentang perlu tidaknya eksistensi keluarga kerajaan.
Penulis: Christopher Reinhart
Editor: Irfan Teguh Pribadi