Menuju konten utama

Juan Cuadrado: Jadi Penyerang Timnas Kolombia Demi Ibu

Setelah Cuadrado menjadi yatim pada usia 4 tahun, ibunya yang berjibaku sebagai kepala keluarga.

Juan Cuadrado: Jadi Penyerang Timnas Kolombia Demi Ibu
Gelandang Timnas Kolombia, Juan Cuadrado. AP/Fernando Vergara

tirto.id - Juan Cuadrado merintis kesuksesan sebagai pemain sepakbola dalam kondisi yang sulit. Empat tahun setelah tangisnya pecah di Necocli, Antioquia, Kolombia pada 26 Mei 1988, ia menjadi yatim piatu setelah ayahnya yang bekerja sebagai sopir truk ditembak orang hingga mati.

Walaupun tak punya ingatan cukup banyak tentang ayahnya, setiap mencetak gol pemain Juventus itu mengangkat tangannya untuk menghormati kenangan akan sang ayah. Kenangan itulah salah satu motivasinya untuk terus berusaha menjadi yang terbaik di lapangan hijau.

Motivasi kedua adalah Marcela, ibunya. Setelah sang ayah meninggal, Marcela mengambil alih tanggung jawab sebagai pemimpin keluarga. Perempuan pemberani ini bekerja mencuci dan mengepak pisang ekspor di perkebunan di Apartado mulai Senin hingga Jumat.

Sang ibu pula yang berusaha keras membebaskan Juan Cuadrado dari siklus kekerasan yang melingkupi masa kecil pemain Juventus ini. Ia mengantar Cuadrado kecil ke sekolah dan menitipkan putra kesayangan pada seorang paman. Namun, si bocah malah lebih sering tidur di ruang kelas.

Cuadrado mengeluh kepada neneknya bahwa ibunya tidak mencintainya karena tidak mengizinkannya bermain sepakbola. Tapi, saat Cuadrado kecil tinggal bersama neneknya, sang nenek sendiri yang frustrasi dengan kegemaran si cucu bermain bola.

Setiap kali pulang dari sekolah, ia selalu kotor lantaran bermain-main dengan bola hampir sepanjang hari. Sang nenek sampai menghukum dan memukulnya karena dianggap sangat bebal. Demikianlah nenek dan ibu yang sangat dicintainya menentang olahraga yang paling disukainya.

Namun, bahkan dengan semua keterbatasan itu, Juan Cuadrado telah menunjukkan kemampuannya. Ia selalu berlarian dan menendang apa saja -- kerikil maupun batu -- dan perlahan-lahan Marcela menyadari masa depan sang putra.

Selanjutnya, Marcela setuju untuk memasukkan Cuadrado di sekolah sepakbola, pertama-tama di Necocli lalu dilanjutkan dengan Apartado. Syaratnya satu: Cuadrado boleh bermain bola asalkan tidak berhenti belajar.

Hampir saja kariernya gagal di awal karena, saking aktifnya, saat bermain sepakbola di jalan, tumitnya cedera. Marcela menimpakan hukuman dengan menyita sepatunya selama sebulan. Tetapi bakatnya tak bisa diredam hingga namanya mulai tersebar ke mana-mana.

Nelson Gallego kemudian membawa Cuadrado ke Deportivo Cali. Ia juga mengajak sang calon bintang untuk tinggal bersamanya dan memberikan pelajaran tentang cara menjadi mandiri: memasang, belajar, dan sebagainya.

Usia Cuadrado saat itu 12 tahun. Sayang, ia dianggap terlalu pendek, hanya 4 kaki 4 inci (sekarang 5 kaki 8 inci) sehingga kariernya di Cali tuntas. River Plate juga menolak dengan alasan yang sama.

Gallego Santiago Escobar, saudara Andres Escobar yang tewas dibunuh setelah Piala Dunia 1994, menariknya ke Madrid. Ia melihat bahwa pemain remaja itu "tidak banyak cakap di lapangan tapi memanfaatkan setiap peluang yang ada" dan yakin bahwa Cuadrado "bisa bermain di tim mana saja".

Sebagai pemain profesional di Medellin, ia biasa bermain di posisi bek sayap, hanya sesekali saja ia dimainkan di depan. Udinese terpikat kepadanya dan sukses memperoleh tanda tangannya pada 2009.

Yang pertama kali dilakukannya setelah memperoleh kontrak bersama klub Italia itu adalah meminta ibunya, Marcela, untuk ikut bersamanya. Ia menganggap sudah cukup kerja keras sang ibu bagi dirinya dan tak ingin Marcela bekerja lagi. Sekarang, giliran Cuadrado yang merawat ibunya.

Sejak itu, ke mana pun Cuadrado pergi, sang ibu selalu menyertainya: Udine, Lecce, Florence, London, dan sekarang Turin.

Pelatih Hernan Dario Gomez memanggilnya ke tim nasional Kolombia pada 2010 dan langsung bikin gol dalam debut melawan Venezuela. Namun, baru Jose Pekerman yang memberinya kesempatan yang patut dengan memainkannya sebagai penyerang.

Hari-hari ini, ia tetap mengangkat tangan untuk mengenang ayahnya dan menghormati ibunya.

Baca juga artikel terkait PIALA DUNIA 2018 atau tulisan lainnya dari An Ismanto

tirto.id - Olahraga
Penulis: An Ismanto
Editor: Herdanang Ahmad Fauzan