tirto.id - Apa yang mendorong seorang bocah Brasil – negeri sepakbola menyerang-dengan-indah itu – dengan sadar memilih bermain sebagai bek sejak menempuh karier di lapangan? Bagi Miranda, alasannya sangat personal: untuk mengenang seorang kakak yang begitu berkesan dalam hidupnya.
João Miranda de Souza Filho, putra bungsu dari 12 bersaudara, lahir pada 7 September 1984 di Paranavai, sebuah kota sentra produksi jeruk di Brasil selatan. Untuk membantu menopang perekonomian keluarga sebesar itu, kakak sulungnya, Vicente, bekerja sebagai teknisi listrik.
Miranda masih berusia 6 tahun saat Piu – nama panggilan Vicete – meninggal dalam kecelakaan kerja. Miranda tak begitu ingat detail kecelakaan itu. Ia hanya ingat tubuh kakaknya terbakar. Tapi ia ingat bahwa Piu terkenal sebagai pemain bertahan yang cukup terkenal di level amatir Paranavai.
Dalam wawancara pada 2007, saat masih bermain untuk Sao Paulo, ia mengaku ingin mengikuti teladan Piu di lapangan. Menurut pengakuannya, sampai saat itu pun warga Paranavai masih menganggap bahwa Piu lebih bagus ketimbang Miranda.
Tentu pernyataan ini cukup rapuh karena, 11 tahun kemudian, Miranda-lah yang berhasil melanglang buana dan mengenakan seragam tim setenar Atletico Madrid dan Inter Milan.
Hidup melaju cepat dan bergelombang bagi Miranda. Pada usia 19, ia menikahi Jacqueline. Saat sang istri mengandung, Sochaux memintanya hijrah ke Prancis. Lalu ayah tercinta meninggal dan ibunya memohon agar dia tidak berangkat.
Kejadian susul-menyusul itu sempat membuat Miranda goyah dan berpikir untuk berhenti merumput. Padahal, saat itu ia telah bermain 89 kali untuk Coritiba dan memenangi gelar juara profesional pertamanya dalam kejuaraan sepakbola daerah Parana.
Akhirnya ia nekat berangkat ke Sochaux walaupun kembali lagi ke Brasil dengan status sebagai pemain pinjaman untuk Internacional. Tapi ia tak pernah bermain untuk Internacional karena Sao Paulo berhasil membujuknya untuk pindah.
Uniknya, saat itu Miranda belum punya agen. Ia sendiri yang menerima tawaran. Ia hanya berkonsultasi dengan pengacara dan seorang teman saat harus menganalisis surat kontrak. Kini ia diageni Jorge Mendes, yang juga menjadi agen Cristiano Ronaldo.
Di Sao Paulo, bek rendah hati ini berkembang. Ia tiga kali memenangi liga Brasil dalam lima tahun. Pada 2007, ia ditugasi membela timnas Brasil untuk menggantikan Lucio yang cedera. Namun ia baru debut dua tahun kemudian, saat Dunga memilihnya untuk menghadapi Peru.
Ganjilnya, Piala Dunia 2018 merupakan Piala Dunia pertama bagi Miranda. Ia sendiri masih jengkel kalau mengingat tak dipanggil untuk Piala Dunia 2014 di negeri sendiri.
Ganjilnya lagi, pada periode sekitar 2014 itu, Miranda tengah berkibar megah di puncak. Bersama Diego Godin, ia menjadi benteng andalan Atletico. Apalagi, ia menjadi idola fans setelah mencetak gol tak terlupakan saat melawan Real Madrid di final Copa del Rey 2013.
Pada musim 2013-2014, di bawah asuhan Diego Simeone, Miranda dan Atletico merengkuh gelar juara La Liga dan menjadi runner-up Liga Champions. Sayangnya, kinerja Miranda memburuk selama musim berikutnya sehingga ia terdorong untuk pindah ke Italia.
Ia membatu Inter hanya kebobolan 30 kali dalam 38 pertandingan. Kinerja yang membaik itu membuat Tite memanggil bek yang paling nyaman menendang bola dengan kaki kanan ini. Ia diplot untuk berduet dengan Marquinhos.
Lima tahun merantau ke Eropa telah memperkuat kepercayaan diri Miranda, bocah pemalu dari Paranavai itu. Pencapaiannya bersama Atletico dan Inter Milan, serta status sebagai bek timnas Brasil di Piala Dunia 2018, menjadi persembahan yang indah untuk Piu.
Editor: Agung DH