Menuju konten utama

Jokowi yang Selalu Heran Kebebasan Berbicara Masih Diributkan

Jokowi terus menerus mengklaim dirinya sudah berusaha bersifat terbuka dan menerima kritikan.

Jokowi yang Selalu Heran Kebebasan Berbicara Masih Diributkan
Presiden Joko Widodo membacakan sumpah saat upacara pelantikan menteri dan wakil menteri Kabinet Indonesia Maju sisa masa jabatan periode 2019-2024 di Istana Negara, Rabu (15/6/2022). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.

tirto.id - Presiden Joko Widodo mempertanyakan kepada publik mengenai kondisi kebebasan berekspresi di saat demokrasi berjalan ke arah liberal. Hal itu disampaikan Jokowi dalam video singkat saat diwawancara salah satu stasiun televisi yang dia bagikan di media sosial Instagram hingga Twitter miliknya.

Video tersebut merupakan cuplikan video wawancaranya dengan Karni Ilyas yang sebelumnya telah diunggah di kanal TV One.

"Apa benar kita kurang bebas berbicara" kata Jokowi yang tertulis di laman media sosialnya pada Selasa (23/8/2022).

Dalam video tersebut Jokowi mengklaim dirinya sudah berusaha bersifat terbuka. Salah satunya dengan tidak mempermasalahkan sejumlah pihak yang kerap memberinya label negatif, salah satunya adalah kata dungu.

"Kebebasan apa yang masih kurang? Orang memaki-maki presiden, orang menghina presiden, orang mengejek presiden, orang mencemooh presiden juga tiap hari kita dengar," kata Jokowi.

"Orang mendungu-dungukan presiden juga kita tiap hari kita dengar kita lihat, biasa aja," imbuhnya.

Meski tidak mempermasalahkan mengenai sejumlah hinaan yang tertuju pada dirinya, namun Jokowi menyayangkan. Hal itu mengingat posisi Indonesia yang dikenal sebagai negara timur dengan budaya dan adabnya.

"Mau seperti apa lagi? Kita ingin seperti apa lagi? Saat ini demokrasi yang sangat liberal menurut saya saat ini," ujarnya.

"Meskipun kita ini orang timur yang penuh dengan kesantunan, yang penuh dengan etika dan tata krama yang baik," imbuhnya.

Walau Jokowi kerap ikhlas saat dihina, namun dirinya tak mempermasalahkan bila ada pihak lain membuat laporan bila mendapat hinaan. Karena hal itu telah diatur dalam undang-undang.

"Tapi kalau sudah masuk ke menghina orang kemudian orangnya itu marah dan melaporkan ke polisi ya itu sudah wilayah yang lain, itu wilayah hukum yang bekerja," tegasnya.

Klaim Jokowi bahwa kebebasan berpendapat sangat bebas saat ini berbanding terbalik dengan realitanya. Hasil survei lembaga Indikator Politik Indonesia (IPI) periode 11-21 Februari 2022 menyatakan masyarakat yang sepakat saat ini semakin takut untuk menyampaikan pendapat mencapai 62,9 persen.

Angka ini terdiri atas masyarakat yang sangat setuju 6,8 persen dan setuju 56,1 persen. Sementara masyarakat yang kurang setuju 16,8 persen dan tidak setuju sama sekali 4,6 persen.

“Mayoritas masyarakat kita takut menyatakan pendapatnya,” kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam kanal Youtube Indikator Politik, April 2022 lalu.

Menurut Burhanuddin ketakutan berpendapat muncul sejak Pilpres 2019 lalu, saat fenomenan kadrun vs cebong saling melaporkan berujung tudingan aksi kriminalisasi.

Wakil Koordinator KontraS, Rivanlee Anandar mengakui bahwa publik takut untuk berekspresi saat ini. Ia menilai masyarakat takut meski sudah ada upaya perbaikan revisi UU ITE.

Ia mengatakan, ada sejumlah alasan mengapa publik takut menyatakan pendapatnya. Pertama adalah kemunculan aksi doxing, labelisasi hingga stigmatisasi kepada masyarakat yang mengeluarkan ekspresi.

“Yang kedua parameter yang tidak terukur untuk menindaklanjuti sebuah perkara yang berkaitan dengan penghinaan atau kritik. Jadi tidak ada parameter yang jelas.

Oleh karena itu, polisi seolah-olah jadi mudah untuk melanjutkan perkara tersebut," kata Rivanlee kepada reporter Tirto pada April 2022 lalu.

“Itu dua hal yang menjadi kebiasaan belakangan ini dan membuat orang menjadi takut untuk berekspresi," kata Rivanlee menegaskan.

Kemudian, dua hal tersebut didukung dengan isi UU ITE yang bermasalah. Ia melihat pemerintah tidak serius untuk merevisi dengan mengeluarkan SKB 3 menteri, membuat pedoman Kemenkominfo dan lain-lain, tetapi tidak kunjung merevisi UU ITE. Hal ini diperparah dengan upaya kriminalisasi yang dilakukan pejabat dengan menggunakan UU ITE yang bermasalah hingga saat ini.

Aturan pengetatan kebebasan berekspresi juga muncul pada draf RKUHP yang masih memuat pasal penghinaan presiden.

Poin ini masuk dalam daftar 14 poin yang akan dibahas di DPR. Hal ini diatur dalam beberapa pasal di Bab 2 RKUHP, yakni Pasal 217, Pasal 218, dan Pasal 219. Sementara Pasal 220 menyatakan bahwa penerapan Pasal 218 dan 219 hanya dituntut berdasarkan aduan dan dapat dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden.

Selain itu, RKUHP menjelaskan soal definisi frasa 'untuk kepentingan umum' yaitu melindungi kepentingan publik yang diungkapkan lewat hak berekspresi atau berdemokrasi dengan contoh kritik. Pemerintah juga mendefinisikan kritik yaitu penyampaian pendapat terhadap kebijakan presiden dan wakil presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik-buruk kebijakan tersebut.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur menilai, pendefinisian penghinaan presiden dalam pasal-pasal tersebut, terutama Pasal 218 menandakan pembuat undang-undang tidak memahami kritik dan suara rakyat. Ia mengingatkan kritik tidak serta-merta harus dengan saran atau perbaikan.

Baca juga artikel terkait KEBEBASAN BEREKSPRESI atau tulisan lainnya dari Irfan Amin

tirto.id - Politik
Reporter: Irfan Amin
Penulis: Irfan Amin
Editor: Bayu Septianto