tirto.id - Presiden Jokowi menerbitkan strategi penghapusan kekerasan terhadap anak dengan menandatangani Peraturan Presiden Nomor 101 tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (Stranas PKTA) per 15 Juli 2022.
Aturan ini menjadi gambaran dalam upaya penanganan serta tanggung jawab penghapusan kekerasan pada anak.
"Stranas PKTA adalah strategi nasional yang dituangkan dalam dokumen yang memuat arah kebijakan, strategi, fokus strategi, dan intervensi kunci, serta target, peran, dan tanggung jawab kementerian lembaga, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten kota, dan masyarakat untuk mewujudkan penghapusan kekerasan terhadap anak," bunyi pasal 1 ayat 1 di perpres tersebut sebagaimana dikutip dari JDIH Setneg, Rabu (20/7/2022).
Dalam peraturan ini, Jokowi menegaskan bahwa perlindungan kepada anak tidak hanya bagi mereka yang lahir, tetapi juga yang masih dalam kandungan sebagaimana definisi dalam Perpres tersebut.
"Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan," bunyi pasal 1 ayat 2 Perpres tersebut.
Dalam definisi juga membahas bentuk kekerasan yang mengarah pada anak. Kekerasan, dalam pandangan pemerintah adalah segala perbuatan kepada anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual dan/atau penelantaran, termasuk ancaman perbuatan, pemaksaan hingga perampasan kemerdekaan yang melawan secara hukum.
Stranas ini bertujuan menjamin ketentuan dan pelaksanaan perundang-undangan dalam penegakan penghapusan kekerasan anak, mengatasi faktor sosial-budaya yang membenarkan upaya kekerasan anak, mewujudkan lingkungan aman dan ramah untuk anak di dalam maupun luar rumah, meningkatkan kualitas pengasuhan, meningkatkan akses keluarga rentan dari layanan pemberdayaan ekonomi untuk mencegah kekerasan dan penelantaran anak.
Selain itu, aturan ini juga memastikan ketersediaan dan kemudahan akses layanan terintegrasi bagi anak yang berisiko menghadapi kekerasan dan anak korban kekerasan, serta memastikan anak mampu melindungi diri dari kekerasan dan menjadikan mereka sebagai agen perubahan.
Aturan ini juga memuat soal kondisi kekerasan kepada anak, arah kebijakan dan strategi penghapusan kekerasan terhadap anak serta kerangka kelembagaan dan koordinasi.
Arah kebijakan yang diambil pemerintah antara lain penyediaan kebijakan, pelaksanaan regulasi dan penegakan hukum, penguatan norma dan nilai anti kekerasan, penciptaan lingkungan aman dari kekerasan, peningkatan kemampuan pengasuhan, pemberdayaan ekonomi keluarga rentan, ketersediaan dan akses layanan terintegrasi hingga pendidikan kecakapan hidup untuk ketahanan diri anak.
Hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) Tahun 2018 menunjukan 1 dari 17 anak laki-laki dan 1 dari 11 anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual.
Sementara 1 dari 2 anak laki-laki dan 3 dari 5 anak perempuan pernah mengalami kekerasan psikis langsung, 14 dari 100 anak laki-laki dan 13 dari 100 anak perempuan pernah mengalami kekerasan psikis tidak langsung melalui daring (cyberbullying), serta 1 dari 3 Anak laki-laki dan 1 dari 5 anak perempuan mengalami Kekerasan fisik.
"Dapat disimpulkan bahwa 2 (dua) dari 3 (tiga) anak perempuan dan anak laki-laki di Indonesia pernah mengalami Kekerasan sepanjang hidupnya," bunyi penjelasan dalam poin pendahuluan Stranas tersebut.
Dalam penjelasan juga menyebut bahwa kekerasan yang dialami anak cenderung lebih dari satu kekerasan dengan pelaku kekerasan beragam mulai dari orang terdekat, teman sebaya hingga orang dewasa yang dikenal. Ketidaksiapan penyediaan layanan perlindungan anak berdampak anak korban kekerasan sulit mendapatkan bantuan dan pendampingan.
Hal itu berakibat kekerasan sering tersembunyi dan tidak terlaporkan sehingga sulit dicegah, ditangani efektif dan diatasi secara jangka panjang.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Restu Diantina Putri