tirto.id - Kantor Hukum dan HAM Lokataru Foundation mengkritik rencana Presiden Jokowi yang akan buka peluang merevisi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Manajer Program Lokataru Foundation, Mirza Fahmi menilai, merevisi pasal karet UU ITE tak akan banyak mengurangi kemampuan negara dalam mengkriminalisasi warga.
Berdasarkan pemantauan Lokataru Foundation, selama setahun terakhir pihaknya menemukan bahwa, "Negara masih memiliki seabrek perangkat hukum lain yang dapat digunakan sesuai kebutuhan," kata Mirza melalui keterangan tertulisnya, Rabu (17/2/2021).
Misalnya, pasal penghasutan, keonaran, hingga pelanggaran aturan kerumunan. Pasal penghinaan terhadap mata uang rupiah pun bisa dipakai untuk membungkam masyarakat sipil seperti kasus Manre, nelayan Kodingareng, Makassar yang merobek ‘amplop’ ganti rugi dari PT. Boskalis.
Tambah lagi dengan penggunaan Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) yang kerap dipakai korporasi untuk memukul mundur perlawanan masyarakat atau penghilangan paksa dan pembunuhan ekstrayudisial di Papua.
Selain itu, masih terdapat ‘senjata andalan’ pemerintah seperti kriminalisasi, hoaks, dan patroli siber yang masih berjalan. "Melihat semua hal di atas, tanpa UU ITE pun kualitas demokrasi kita akan tetap mandek jika tidak terus mundur," tuturnya.
Selain pemerintah, Lokataru menilai masyarakat juga memiliki kontribusi yang tak sedikit terhadap kemunduran demokrasi untuk menjerat orang lain dengan UU ITE.
Berdasarkan catatan Lokataru, sejak 2018 dua kelompok terbesar pelapor UU ITE adalah pejabat publik dan masyarakat sipil: 35,9 persen pelapor adalah kepala daerah, menteri, aparat keamanan, dan pejabat publik lainnya. Sedangkan pelapor dari masyarakat sendiri tercatat mencapai 32,2 persen.
Kemudian pada 2019, data yang dihimpun SAFENet menunjukkan setidaknya ada 3.100 kasus UU ITE yang dilaporkan. Data Koalisi Masyarakat Sipil dari Institut for Criminal Justice (ICJR) menunjukkan sepanjang 2016-2020, tingkat conviction rate kasus pasal karet mencapai 96,8 persen atau 744 perkara. Sedangkan tingkat pemenjaraan mencapai 88 persen atau 676 perkara.
"Perbedaan tipis antara jumlah pelapor warga dan pemerintah membuktikan bahwa masyarakat sipil sendiri gagal memahami dan mempraktekkan kebebasan berekspresi. Tak ubahnya tabiat pemerintah, semangat memenjarakan lawan bicara nyatanya ikut lestari di masyarakat," pungkasnya.
Sementara pada momen politik besar seperti Pemilu atau Pilkada, menurutnya, kecenderungan menggunakan UU ITE melonjak berkali lipat.
Sepak terjang buzzer sesungguhnya tak lebih dari efek samping dari kondisi mendasar ini, saat mental gerombolan warga senantiasa memandang lawan kubunya sebagai pihak yang mesti dibungkam dengan segala cara.
Kemudian, menurutnya, keberpihakan dan diskresi selektif polisi dalam menangani kasus pasal karet tak dapat dipungkiri. Namun, hal ini turut menegaskan kegagalan masyarakat dalam menghadapi silang pendapat di ruang publik.
Hal ini tercermin dari keluhan yang sering muncul manakala ada kubu yang ‘tak sukses’ mempolisikan lawannya lantaran adanya tebang pilih dalam penegakan hukum, alih-alih mempersoalkan keberadaan kriminalisasi itu sendiri.
"Wabah anti demokrasi ini menjangkiti banyak pihak, baik pendukung rezim maupun oposisi, ormas, hingga akademisi," ucapnya.
Oleh karena itu, dengan adanya momentum Jokowi akan merevisi UU ITE, Lokataru Foundation mendesak kepada Kapolri Listyo Sigit Prabowo yang baru dilantik agar berpegang pada prinsip restorative justice, untuk sesegera mungkin memulihkan korban-korban kriminalisasi pasal karet dari beleid yang ditandatangani 2011 silam.
"Hal ini untuk menunjukkan penyesalan atas praktik pemidanaan via UU ITE selama ini," tegas dia.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Maya Saputri