tirto.id - Pernyataan Presiden Joko Widodo yang mememinta publik tak segan mengkritik pemerintah kontradiktif dengan apa yang terjadi selama ini. Banyak individu hingga lembaga yang mengkritisi kebijakan pemerintah pada akhirnya 'dipolisikan' dengan peraturan karet, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) .
"Bukan hanya UU ITE, tapi penangkapan masif terkait hak menyampaikan pendapat di muka umum juga," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati kepada reporter Tirto, Selasa (9/2/2021).
YLBHI mencatat setidaknya ada 351 kasus pelanggaran hak dan kebebasan sipil yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia: Sumatera Utara, Sumatera Barat Sumatera Selatan, Lampung, Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur Yogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, hingga Papua.
Salah satu orang yang jadi korban UU ITE setelah mengkritik pemerintah adalah Faisol Abod Batis pada 17 Juli 2019 lalu. Dia dipolisikan setelah mengkritik Jokowi soal konflik agraria dengan basis data di Instagram.
Saat memberikan sambutan dalam acara peluncuran laporan tahunan Ombudsman RI tahun 2020 lewat video, Senin (8/2/2021), Jokowi mengatakan "masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau pun potensi malaadministrasi." "Dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan," tambahnya. "Semua pihak harus menjadi bagian dari proses untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik."
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga mengatakan pemerintah memerlukan pengawasan dari Ombudsman. "Baik berupa input, kritik, dan dukungan agar pelayanan publik di negara kita semakin berkualitas."
Saat memberikan sambutan dalam Hari Pers Nasional, Selasa, Jokowi mengatakan hal yang kurang lebih sama. Kali ini ditujukan kepada media massa. "Pemerintah terus membuka diri terhadap masukan dari insan pers," katanya.
Wakil Koordinator II Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar mengatakan pernyataan Jokowi kontradiktif karena pihak yang mengkritik pemerintah selama ini 'dihantui' dengan jerat UU ITE. "Jika benar Presiden menginginkan kritik, beri dan jamin ruangnya dari ancaman pasal karet yang ada selama ini," kata Rivanlee kepada reporter Tirto, Selasa.
Ia juga menilai pernyataan Jokowi mengabaikan fakta menurunnya kebebasan sipil yang gejalanya adalah semakin banyaknya pemolisian dan penangkapan.
"Pernyataan Presiden juga memperlihatkan beliau tidak memerhatikan kebijakan yang keluar dan kemudian mengancam kebebasan sipil," kata Rivanlee. Kebijakan yang ia maksud adalah Telegram Kapolri perihal penghinaan pejabat di masa pandemi.
Berdasarkan catatan Kontras, per Oktober 2020, ada 14 orang diproses hukum dalam 10 peristiwa kritik terhadap Jokowi. Kemudian, dari 14 peristiwa yang menghina Polri, 25 orang diproses. Belum lagi proses hukum terhadap empat orang yang menghina pemda dalam empat peristiwa berbeda.
Tak hanya berpotensi dijerat UU ITE, perseorangan atau kelompok yang kritis terhadap pemerintah juga dihantui peretasan. YLBHI mengalami itu pada 15 Juni 2020 lalu, sehari setelah menggelar diskusi daring berjudul Mimbar Bebas Demokrasi Melawan Oligarki Seri 1: Tanda-Tanda Otoritarianisme Pemerintah.
Peretasan media sosial juga dialami Roy Murtadho, pengelola Pesantren Misykat Al-Anwar, Bubulak, Bogor, juga aktif di Front Nahdliyin untuk Keadilan Sumber Daya Alam (FNKSDA). Dia dikenal penulis yang kritis terhadap isu sosial dan lingkungan.
Jurnalis senior Dandhy Dwi Laksono yang sering kali mengkritisi isu lingkungan juga mengalami hal serupa pada 14 Juni 2020. Pada akhir April 2020, peretasan dan penyadapan aplikasi Whatsapp terjadi kepada Ravio Patra, peneliti kebijakan publik yang cukup kritis terutama terhadap penanganan pemerintah dalam kasus COVID-19.
Rivanlee mengatakan hal-hal seperti ini akan terus muncul selama Presiden tak melakukan langkah konkret terhadap pembatasan kebebasan sipil. "Jadi, ketika kasus peretasan didiamkan, akan ada pola baru lagi ke depannya," tuturnya.
Karena semua peristiwa tersebut, tak heran jika persepsi publik terhadap tingkat demokratisasi di Indonesia semakin menurun. Survei Indikator Politik Indonesia menyebut 36 persen responden menyatakan Indonesia menjadi kurang demokratis dan 37 persen menyatakan Indonesia tetap sama keadaannya. Hanya 17,7 persen yang menyatakan bahwa Indonesia lebih demokratis.
Angka persepsi kurang demokratis lebih tinggi dibandingkan yang lebih demokratis adalah alarm yang perlu diantisipasi oleh elite politik, kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi saat memaparkan hasil survei, Minggu (25/10/2020).
Perlindungan dari Ombudsman dan LPSK
Selain protes dan kritik yang sifatnya langsung melalui demonstrasi atau di media sosial--yang rentan dikriminalisasi, publik dapat pula melakukan itu lewat lembaga resmi yang didirikan dengan semangat reformasi.
Salah satunya lewat Ombudsman RI. Publik berhak mengadu kepada mereka apabila menemukan malaadministrasi dalam penyelenggaraan urusan publik. Aduan akan diterima jika memenuhi persyaratan. "Sesuai Undang-undang, jika minta identitasnya dirahasiakan, maka akan kami rahasiakan," kata anggota Ombudsman RI Ahmad Alamsyah kepada reporter Tirto, Selasa.
Ada lagi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Seperti namanya, LPSK bertugas memberikan perlindungan kepada saksi dan korban. Apabila mendapat ancaman secara fisik hingga keselamatan jiwa, akan diberikan perlindungan di rumah aman. "Kalau menghadapi proses hukum, LPSK akan memberikan pendampingan agar saksi dan korban berani menyampaikan apa pun tanpa ada tekanan," kata Wakil Ketua LPSK Manager Nasution kepada reporter Tirto, Selasa.
Kemudian jika saksi dan korban mengalami luka fisik maupun psikis, LPSK akan memberikan pengobatan dan trauma healing. "Bahkan bisa dapat ganti rugi dari pelaku (baik pemerintah, kelompok, atau perseorangan). Kami punya kewenangan untuk itu. Negara bisa membayar kompensasi kepada korban jika mengalami kerugian," pungkasnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino