tirto.id - “Suratnya sudah dikirim,” kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) ihwal surat yang ditujukan kepada International Olympic Committee (IOC) Thomas Bach di Sekretariat IOC. Surat itu merupakan permintaan tertulis agar Indonesia bisa menjadi tuan rumah Olimpiade 2032.
Surat itu merupakan tindak lanjut atas permintaan informal yang pernah disampaikan Presiden Jokowi kepada Presiden IOC Thomas Bach saat gelaran Asian Games tahun lalu. Penyerahan surat yang menyatakan keinginan Indonesia menjadi tuan rumah Olimpiade 2032 dilakukan oleh Duta Besar Indonesia di Bern, Muliaman Darmansyah Hadad pada 11 Februari 2019.
Christophe Dubi selaku Executive Director IOC menyampaikan respons positif terhadap proposal Indonesia untuk menjadi tuan rumah gelaran olahraga internasional empat tahunan ini. “IOC sudah mengakui kapabilitas Indonesia pada saat penyelenggaraan Asian Games dan Asian Paragames 2018 yang berjalan sukses. Kami rasa ini menjadi pondasi yang cukup kuat,” kata Dubi dalam pertemuannya dengan Muliaman.
Proses pemilihan tuan rumah Olimpiade 2032 akan dilaksanakan selambat-lambatnya pada 2024. Saat ini sejumlah kota di berbagai negara telah dipilih dan ditetapkan sebagai tuan rumah Olimpiade berturut-turut tahun 2020, 2024 dan 2028. Adalah Tokyo – Jepang, Paris – Perancis, dan juga Los Angeles – Amerika Serikat (AS).
Penetapan Tokyo sebagai tuan rumah Olimpiade 2020 dilakukan pada 2013 silam. Sementara Paris dan Los Angeles ditetapkan pada 2017. Memang ada jarak yang cukup jauh antara penetapan tuan rumah dan pelaksanaan Olimpiade. Masih tersisa 13 tahun bagi Indonesia untuk menuju Olimpiade 2032.
Apakah ada baiknya Indonesia berpikir ulang untuk menjadi tuan rumah penyelenggara Olimpiade 2032?
Negara-Negara Tuan Rumah Olimpiade Tekor
Tuan rumah terakhir gelaran olahraga internasional empat tahunan itu adalah Rio de Janeiro, Brasil. Pada 2009, negeri Samba itu memenangkan hak untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2016, mengalahkan Madrid – Spanyol, Tokyo – Jepang, dan Chicago – AS.
“Saya tidak pernah merasa lebih bangga di Brasil. Sekarang, kita akan menunjukkan kepada dunia bahwa kita bisa menjadi negara yang hebat,” ucap Presiden Luiz Inacio Lula da Silva saat pengumuman tuan rumah Olimpiade diumumkan.
Padahal saat itu, ekonomi Brasil belum pulih sepenuhnya pasca dilanda krisis keuangan 2008. Dalam kondisi ekonomi yang morat-marit, pemerintah Brasil menganggarkan lebih dari 14 miliar dolar AS atau sekitar Rp196 triliun untuk menyelenggarakan Olimpiade. Dana itu dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur stadion, peningkatan transportasi, tempat tinggal para atlet atau desa Olimpiade, keamanan dan persyaratan logistik lainnya.
Kenyataannya, dana yang dikeluarkan membengkak sampai dengan 20 miliar dolar AS. Parahnya, Rio de Janeiro hanya bisa menuai pendapatan sebesar 4,5 miliar dolar AS dari ajang Olimpiade. Gelontoran dana yang tidak sedikit itu membuat marah rakyat Brasil. Mengingat situasi ekonomi yang belum pulih, pemerintah justru menyia-nyiakan dana yang tidak sedikit untuk penyelenggaraan Olimpiade.
Pil pahit juga harus ditelan oleh warga Brasil. Setelah pembangunan berbagai sarana dan prasarana Olimpiade selesai, serikat pekerja konstruksi mengatakan mereka menerima pemberitahuan 100 pemutusan hubungan kerja (PHK) setiap hari.
“Saya harus membayar sewa dan mendukung dua anak perempuan. Saya benar-benar perlu mendapatkan pekerjaan hari ini,” kata Rosilene Leandro da Silva, yang tidak bekerja sejak dia diberhentikan dari pekerjaannya di sebuah toko garasi melansir The Guardian.
Tiga bulan setelah Olimpiade berakhir, Rio de Janeiro memberikan bukti yang jelas bahwa ekonomi Brasil kian terpuruk. Para pensiunan dikenakan potongan pajak, program sosial dipotong dan kenaikan gaji dibatalkan. Kemarahan warga Rio de Janeiro dan sekitarnya semakin memuncak saat sejumlah sarana olahraga bekas Olimpiade, tidak lagi digunakan dan dibiarkan terlantar.
Kurang dari enam bulan setelah pesta Olimpiade berakhir, banyak situs olahraga yang terlantar. Stadion Maracana tempat pembukaan dan penutupan Olimpiade tak lagi hijau, ribuan kursi rusak, layar televisi yang hilang, dan beban 1 utang juta dolar AS terhadap perusahaan listrik, seperti tulis The New York Times.
Negara lain yang juga seperti terkena “kutukan tuan rumah Olimpiade” adalah Kanada. Olimpiade Musim Panas 1976 Montreal, Kanada, menjadi lambang risiko fiskal bagi negara tuan rumah penyelenggara. Proyeksi biaya mencapai 124 juta dolar AS ternyata jauh dari kenyataan yang mencapai 6 miliar dolar AS.
Sebagian besar dikarenakan penundaan pembangunan dan pembengkakan biaya untuk pembangunan stadion baru. Proyek Olimpiade ini membebani para pembayar pajak Montreal sekitar 1,5 miliar dolar AS dalam utang yang membutuhkan waktu sampai dengan 30 tahun untuk melunasinya. Utang baru lunas pada 2006.
Menjadi tuan rumah Olimpiade Athena 2004, disebut sebagai salah satu penyebab terpuruknya Yunani dalam kebangkrutan. Menelan biaya hampir 11 miliar dolar AS yang merupakan dua kali lipat dari anggaran awal. Angka itu tidak termasuk keamanan yang menghabiskan lebih dari 1,2 miliar dolar AS dan pembangunan proyek infrastruktur sarana Olimpiade seperti yang diberitakan CNBC.
Selain Athena, The Guardian juga menyebut penyelenggaraan Olimpiade Atlanta 1996 dan Sydney 2000 juga menjadi segelintir penyelenggaraan Olimpiade yang membuat buntung.
Sejak pertama kali digelar lebih dari 120 tahun yang lalu mulai 1896, baru Los Angeles – AS yang berhasil meraup untung dari penyelenggaraan Olimpiade tahun 1984. Mengapa kota tersebut bisa untung?
Majalah Fortune dalam salah satu terbitannya menjelaskan bahwa LA melakukan sesuatu yang tidak biasa saat menjadi tuan rumah Olimpiade 1984. Keuntungan yang dikempit LA mencapai 215 juta dolar AS dikarenakan kota ini sudah dilengkapi dengan fasilitas olahraga dan pariwisata yang cukup.
Sehingga komite perencanaan hanya perlu meningkatkan sarana olahraga yang sudah ada. Surplus tersebut adalah sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya, setidaknya sejak LA menjadi tuan rumah Olimpiade pertama kali tahun 1932.
Hasil studi perekonomian para tuan rumah pasca-Olimpiade yang dilakukan oleh Council on Foreign Relation berjudul The Economics of Hosting the Olympic Games juga menunjukkan hasil yang negatif. Menurut studi itu, penelitian yang dilakukan setelah Olimpiade menunjukkan bahwa manfaat yang diklaim seperti dorongan ekonomi besar dengan menciptakan lapangan kerja, menarik wisatawan, dan meningkatkan hasil ekonomi secara keseluruhan, justru memberikan hasil yang meragukan.
Ini seperti studi yang dilakukan Matheson bersama ekonom Robert Baumann dan Bryan Engelhardt dari Massachusetts's College of the Holy Cross. Dalam studi tersebut, ditemukan adanya pertumbuhan permintaan tenaga kerja dalam jangka pendek akibat penyelenggaraan gelaran olahraga. Namun, tidak ada peningkatan jangka panjang untuk penyerapan tenaga kerja akibat gelaran Olimpiade.
Senada, European Bank for Reconstruction and Development dalam laporan 2014 juga menyebut, lapangan pekerjaan yang diciptakan dalam rangka Olimpiade seringkali bersifat sementara. Hanya 10 persen dari 48.000 pekerjaan sementara yang diciptakan selama Olimpiade London 2012 diberikan kepada pengangguran.
Temuan yang dilakukan oleh Andrew K. Rose dan Mark M. Spiegel dalam working paper berjudul "The Olympic Effect" (PDF) yang diterbitkan oleh Biro Riset Ekonomi Nasional mengungkap bahwa efek Olimpiade terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak berasal dari fundamental ekonomi seperti pembangunan infrastruktur. “Sebaliknya, penawaran untuk menjadi tuan rumah Olimpiade adalah kebijakan yang berbiaya mahal,” tulis laporan tersebut.
Tidak sedikit pemerintah provinsi suatu negara akhirnya menolak atau menarik diri dari tawaran menjadi tuan rumah Olimpiade. Dua kota di Italia yaitu Milan dan Roma juga menarik tawaran sebagai penyelenggara Olimpiade 2000. Pengumuman penarikan dilakukan sejak tahun 1992 dan 1993.
Pejabat dan warga kota Hamburg, Jerman, menolak menjadi tuan rumah Olimpiade 2024. Senada, Dewan Kota Budapest menyatakan secara resmi untuk membatalkan tawaran sebagai tuan rumah Olimpiade 2024. Jajak pendapat menunjukkan semakin banyak warga Hungaria yang menentang tawaran menjadi tuan rumah Olimpiade.
Sekelompok profesional muda dan mahasiswa bahkan turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan tersebut. Menurut mereka, Olimpiade merupakan pembelanjaan yang tidak terjangkau yang akan mengundang korupsi sebagaimana menjadi masalah besar di negara-negara Eropa Tengah.
Jadi, jika Indonesia memang berniat untuk menjadi tuan rumah Olimpiade, ada baiknya meniru apa yang telah dilakukan oleh Los Angeles sehingga tidak tekor dalam penyelenggaraan ajang tersebut. Atau kalaupun ingin menarik proposal, sah-sah saja, mumpung masih 13 tahun lagi.
Editor: Suhendra