tirto.id - “A decision that wins the heart of the people” adalah judul halaman depan surat kabar Tuoi Tre di Vietnam pada 18 April 2014. Tuoi Tre membuat judul semacam itu sebagai respons dari pernyataan Perdana Menteri Vietnam, Nguyen Tan Dung, yang dengan tegas menyampaikan Vietnam menarik diri sebagai tuan rumah Asian Games Hanoi 2018.
Keputusan awal pemerintah Vietnam mengundurkan diri sebagai tuan rumah perhelatan olahraga bergengsi dan terbesar se-Asia ini justru disambut gembira oleh rakyatnya dan menjadi berita utama di halaman depan berbagai surat kabar di Vietnam. Media dan publik Vietnam saat itu memuji keputusan perdana menteri mereka.
“Seluruh negeri menyambut baik keputusan perdana menteri. Negara ini memiliki banyak hal yang perlu dikhawatirkan dan mendengarkan suara masyarakat adalah hal yang sangat berharga bagi rakyat untuk percaya kepada pemerintah. Dengan adanya kepercayaan rakyat, maka semua kesulitan dapat diatasi,” tulis Do Quang Dan di kolom surat pembaca harian Tuoi Tre.
Saat itu, kondisi ekonomi Vietnam dinilai belum pulih sejak terpapar krisis keuangan global dan resesi ekonomi sejak 2012. “Anggaran negara terbatas, dan harus diprioritaskan untuk hal-hal mendesak lainnya,” ucap Nguyen Tan Dung seusai bertemu dengan Menteri Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata Vietnam hingga pada Kamis malam, 17 April 2014 seperti dikutip dari South China Morning Post.
Menurut Tan Dung, kas negara tidak cukup untuk menutupi biaya penyelenggaraan Asian Games 2018, meski efisiensi belanja negara di berbagai kementerian dan lembaga Vietnam sudah dilakukan. Kementerian Olahraga Vietnam memperkirakan anggaran penyelenggaraan Asian Games 2018 sebesar $150 juta dan Vietnam secara resmi memenangkan tender Asian Games pada November 2012.
Namun, tingkat pengeluaran untuk Asian Games diperkirakan lebih besar. Bila menilik biaya yang dikeluarkan oleh Korea Selatan pada penyelenggaraan Asian Games Incheon 2014 mencapai $1 miliar atau sekitar Rp14 triliun lebih. “Biaya itu luar biasa mahal dan tidak masuk akal," kata Nguyen seperti dilansir dari BBC Vietnam.
Selain itu, minimnya pengalaman Vietnam menjadi tuan rumah gelaran bertaraf internasional juga menjadi salah satu alasan. Nguyen mengakui menjadi tuan rumah agenda bertaraf internasional, akan mengangkat pamor Vietnam di mata global dan dapat mempromosikan negara sebagai salah satu tujuan wisata menarik di Asia.
“Tetapi, jika dalam pelaksanaan menjadi tuan rumah persiapan tidak berhasil dengan baik, maka efek yang dihasilkan justru sebaliknya yaitu merusak citra negara,” tulis pernyataan resmi pemerintah yang dilansir dari South China Morning Post.
Mundurnya Vietnam sebagai tuan rumah Asian Games 2018 disayangkan oleh The Olympic Council of Asia (OCA) atau Dewan Olimpiade Asia. Ini seperti yang disampaikan oleh Hoang Vinh Giang, Wakil Ketua Komite Olimpiade Vietnam, yang merasa kecewa dengan penarikan diri tersebut. Menurutnya, langkah mengundurkan diri Vietnam sebagai tuan rumah Asian Games patut disesalkan.
“Karena ini adalah peluang yang sangat bagus dan kita tidak tahu lagi kapan Vietnam akan memiliki kesempatan lain untuk menjadi tuan rumah,” kata Giang seperti dikutip dari South China Morning Post.
Kantong Besar Rumah Asian Games
Penunjukan tuan rumah gelaran Asian Games 2018 telah dilakukan sejak tahun 2011. Saat itu, terdapat tiga negara yang bersaing untuk menjadi tuan rumah; Vietnam, Indonesia, dan juga Uni Emirat Arab (UEA).
Detik-detik terakhir jelang pemungutan suara negara tuan rumah, UEA mengundurkan diri meninggalkan dua kandidat Vietnam dan Indonesia. Vietnam selanjutnya keluar sebagai tuan rumah dengan hasil 29 suara dalam proses pemungutan dan Indonesia sebanyak 14 suara. Jika jadi, maka gelaran Asian Games 2018 menjadi gelaran pertama olahraga terbesar se-Asia yang dihelat Vietnam. Indonesia sebelumnya telah menjadi tuan rumah gelaran ini pada 1962.
Pasca-pengunduran diri awal yang dilakukan Vietnam, Indonesia kemudian menjadi calon tuan rumah tunggal untuk penyelenggaraan event ini. Laporan Tirto berjudul Uang Negara yang Tak Kembali dari Hajatan Asian Games menyebut, penyelenggaraan Asian Games membutuhkan sekitar Rp8,7 triliun untuk dana operasional saja. Rinciannya Rp5 triliun didapat dari dukungan dana pemerintah dan sisanya Rp1,6 triliun diraih dari sponsor. Ini belum termasuk Rp27 triliun untuk infrastruktur sarana dan prasarana olahraga. Sedangkan pemasukan dari penjualan tiket sekitar Rp50-Rp 60 miliar.
The Economist dalam salah satu catatannya 2015 lalu yang berjudul Sporting mega-events Just Say No (PDF) mengungkapkan, terdapat efek riak ekonomi yang sangat besar jika suatu negara menjadi tuan rumah kegiatan bertaraf internasional misalnya seperti Piala Dunia maupun Olimpiade. Namun, pengeluaran yang dikucurkan oleh negara tuan rumah baru dapat lunas oleh utang jangka panjang.
Andrew Zimbalist, seorang ekonom olahraga Amerika Serikat (AS), mengungkapkan besarnya pengeluaran yang tidak diimbangi oleh pendapatan dapat mengecewakan negara yang menjadi tuan rumah olahraga internasional. “Menjadi tuan rumah gelaran olahraga internasional menjadi ‘pertaruhan ekonomi’ berisiko tinggi dengan potensi tingkat pengembalian yang rendah,” tulis The Economist.
Laporan itu menggambarkan pemerintahan yang bijaksana harus menghindari penyelenggaraan acara internasional dengan segala cara. Tidak ada alasan memang bila penyelenggara kegiatan olahraga harus menghasilkan keuntungan ekonomi. Selama beberapa dekade terakhir, International Olympic Committee (IOC) atau Komite Olimpiade Internasional mengambil alih mayoritas pendapatan dari penjualan hak siar suatu dari hajatan olahraga internasional.
“Data terbaru mengungkapkan, sekarang lebih dari 70 persen pendapatan dari hak siar masuk ke IOC. Ini jauh lebih tinggi dibanding tahun 1960 sampai dengan tahun 1980, di mana pendapatan hak siar yang diberikan kepada IOC hanya sebesar kurang dari 4 persen,” tulis The Economist.
Selain itu, tidak ada bukti nyata yang mendukung proyeksi bahwa menjadi tuan rumah suatu kegiatan olahraga bertaraf internasional akan menyumbang devisa yang besar dari sektor pariwisata. Masih menurut catatan The Economist, olimpiade yang digelar di Beijing dan London hanya menarik minat sedikit pengunjung dibanding penyelenggaraan Olimpiade tahun-tahun sebelumnya.
Jonathan Barclay, dalam jurnal kompilasi Institute of Economic Affairs yang dipublikasi Oxford berjudul Predicting the Cost and Benefits of Mega-Sporting Events: Misjudgement of Olympic Proportions? (PDF) menuliskan, manfaat ekonomi dari penyelenggaraan acara olahraga bertaraf internasional sering dibesar-besarkan. Biasanya, keuntungan yang didapat dari penyelenggaraan sering dilebih-lebihkan dan meremehkan biaya operasional maupun pembenahan infrastruktur lainnya.
Menurut Jonathan, jika wisatawan datang ke suatu negara tuan rumah penyelenggara kegiatan olahraga besar selama beberapa hari dan menonton pertandingan olahraga hanya satu kali saja, maka pengeluaran bersihnya akan menjadi biaya tiket saja. “Karena pengeluaran lain berupa transportasi maupun akomodasi merupakan biaya lain-lain yang tidak bisa dihitung menjadi pendapatan penyelenggaraan acara olahraga,” tulis Jonathan.
Sebagai tambahan, fenomena lain yang juga tidak memengaruhi pendapatan suatu negara tuan rumah penyelenggara acara adalah jika wisatawan datang ke negara tersebut dan kebetulan bertepatan dengan kegiatan olahraga yang digelar. Berdasarkan fakta tersebut bahwa hajatan olahraga tidak memengaruhi pilihan lokasi wisatawan untuk berlibur, sehingga tidak dapat diatributkan sebagai peningkatan pendapatan bersih sebagai akibat gelaran acara olahraga.
Thais Petrenko dalam thesisnya berjudul Economic Impacts of Olympic Games: The analysis of four case studies (PDF) mencontohkan penyelenggara Olimpiade Beijing memperkirakan pengeluaran turis selama acara akan menghasilkan total RMB116 miliar. Hasil nyata, jumlah turis yang diharapkan datang dan pengeluarannya kurang dari itu.
“Sebab utamanya karena negara tuan rumah meningkatkan keamanan sehingga pembatasan visa diberlakukan, sehingga turis asing yang datang pun terbatas,” tulis Thais.
Alasan lainnya, adalah biaya tinggi yang perlu dikeluarkan wisatawan internasional untuk memperoleh visa sehingga menyebabkan banyak wisatawan tersebut yang mendapatkan visa melalui operator tur. Akibatnya, pendapatan devisa negara menjadi berkurang. Ini juga terjadi dengan biaya transportasi penerbangan. Tiket pesawat menjadi lebih mahal karena meningkatnya biaya keamanan, mengakibatkan banyak wisatawan yang melakukan perjalanan melalui agen pariwisata.
Beijing, menurut Thais, adalah contoh bagaimana biaya besar keluar untuk kegiatan Olimpiade tidak berbanding lurus dengan nilai ekonomi keseluruhan. Misalnya, stadion Olimpiade yang terbengkalai padahal masih bisa memberikan nilai tambah ekonomi jangka panjang. Oleh sebab itu, akan sangat memprihatinkan jika negara-negara dengan ekonomi lemah menjadi tuan rumah pesta olahraga bergengsi demi mengejar gengsi, karena potensi masalah besar harus dihadapi setelah hajatan selesai, dan ini pula yang disadari oleh Vietnam saat memutuskan mundur sebagai tuan rumah Asian Games 2018, sejak dua tahun lalu.
Editor: Suhendra