tirto.id - Pagebluk COVID-19 di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Data per Minggu 13 September, total kasus mencapai 218.382--bertambah 3.636 kasus dari sehari sebelumnya. Sebanyak 8.723 orang meninggal dunia, dan yang dinyatakan sembuh 155.010.
Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Tri Yunis Miko Wahyono menilai jumlah kasus yang tidak kunjung turun disebabkan beberapa faktor yang saling berkelindan.
Faktor pertama adalah diabaikannya protokol kesehatan oleh masyarakat. Faktor ini sedikit banyak disebabkan oleh faktor kedua, yakni ketidakseriusan pemerintah dalam menerapkan kebijakan pencegahan.
“PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) transisi menyebabkan orang abai pada protokol kesehatan,” ujarnya kepada reporter Tirto, Jumat (11/9/2020) pagi.
PSBB transisi adalah masa jeda di DKI Jakarta antara PSBB dan the new normal, sebuah slogan yang dikampanyekan pemerintah pusat agar roda ekonomi terus berjalan ketika virus belum ditemukan obatnya. Di daerah lain namanya berbeda. Di Bogor, Depok, dan Bekasi, misalnya, dinamakan PSBB Proporsional.
Presiden Joko Widodo menyebut the new normal adalah era di mana masyarakat hidup berdampingan dengan Corona dengan menerapkan protokol kesehatan.
Tri mengatakan pemerintah memaksakan kehendak agar ekonomi bisa berjalan beriringan dengan penanganan kesehatan. Mengutamakan kegiatan ekonomi akan menyebabkan kerumunan dan potensi transmisi virus menjadi besar.
Selain itu, pemerintah belum maksimal untuk melakukan sosialisasi the new normal atau yang juga disebut adaptasi kebiasaan baru (AKB).
Atas dasar itu, Miko menyarankan agar PSBB bisa diterapkan dalam skala kecil, dari tingkat kelurahan hingga kota, dengan ketat.
“Kalau tidak, pembesaran jumlah kasus akan cepat. Rumah sakit sudah kewalahan. Harusnya semua provinsi mulai berhitung sumber daya mereka, baik fasyankes (fasilitas pelayanan kesehatan) dan nakes (tenaga kesehatan). Kalau tidak Indonesia akan kewalahan dalam dua sampai empat bulan ke depan,” ujarnya kepada reporter Tirto, Jumat (11/9/2020) pagi.
Presiden juga perlu mengevaluasi kinerja di Kementerian Kesehatan (Kemkes) sekaligus menghentikan kerja-kerja lembaga-lembaga yang tidak terkait. Menurutnya cukup Kemkes yang diterjunkan dan diperkuat.
“BIN ngapain? Militer ngapain? Saya bingung. Harusnya Kemkes dan kementerian yang searah. Yang tidak searah buat apa?”
Copot Menteri Inkompeten
Pengajar kebijakan publik di Universitas Gadjah Mada Satria Aji Imawan mengatakan Presiden terutama perlu mengevaluasi kinerja Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. “Kinerja Pak Terawan saya pikir sangat buruk dari awal,” ujarnya kepada reporter Tirto, Jumat siang.
Ia juga menyoroti kinerja Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang tetap melaksanakan Pilkada 2020, program yang menurutnya “tidak menjadi prioritas pemerintah.” “Termasuk KemenPAN-RB yang tetap melaksanakan tes CPNS. Ada yang tidak sesuai dengan jalan pemerintah untuk menekan angka Corona.”
Terakhir, yang perlu dievaluasi adalah regulasi di Kementerian Keuangan yang menurutnya mempersulit lembaga lain memutar anggaran.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati bahkan menilai beberapa menteri tak hanya harus dievaluasi, tapi diganti. Salah satunya adalah Menkes Terawan.
“Presiden harus ganti Menteri Kesehatan dengan orang yang kompeten, bisa, dan mau bekerja. Termasuk bekerja bukan untuk kepentingan sendiri. Selama menteri-menteri masih bias kepentingan begini dan sebangsa Terawan, payah kita,” kata Asfin saat dihubungi Jumat sore.
Presiden sebenarnya sudah tiga kali marah-marah kepada para menterinya karena kinerja mereka tak memuaskan. Isu reshuffle pun pernah muncul pada awal Juli meski sampai sekarang itu tidak teralisasi.
Selain Terawan, Asfin menilai Menko Perekonomian Airlangga Hartarto juga layak diganti, terutama setelah mengkritik kebijakan PSBB DKI. Airlangga mengkritik kebijakan PSBB ala Anies, yang berlaku efektif hari ini, karena merugikan secara ekonomi.
“Itu konflik kepentingan yang membuat pernyataannya [Airlangga]. Sarat bias. Kacau Airlangga ini,” katanya.
Airlangga juga disorot Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari berbagai organisasi. Irma Hidayana, inisiator LaporCOVID-19—bagian dari koalisi, mengatakan Airlangga seolah menampik laporan WHO pada 9 September 2020 yang menyebut tingginya klaster perkantoran di Indonesia.
“Pernyataan ini menunjukkan tidak sensitifnya Menko Perekonomian terhadap perlindungan kesehatan dan pertaruhan nyawa warga DKI Jakarta akibat transmisi virus Sars-Cov2 yang menyebar dengan kecepatan tinggi,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (11/9/2020).
Irma juga mengingatkan Airlangga bahwa Keputusan Menteri Kesehatan mengenai PSBB Jakarta belum pernah dicabut.
Menurutnya, dengan perkembangan kasus seperti sekarang sekarang, pilihan Pemprov DKI untuk memberlakukan kembali PSBB perlu didukung. Jika tidak akan terjadi lonjakan pasien dan rumah sakit tidak dapat menampungnya.
Selain evaluasi, Irma berharap Presiden konsisten dengan pernyataannya sendiri, yaitu mengutamakan kesehatan, yang realisasinya adalah “membuat dan melaksanakan kebijakan dengan mengutamakan perlindungan kesehatan sebelum mempercepat kegiatan perekonomian.”
Penulis: Haris Prabowo & Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino