Menuju konten utama

Jokowi dan Jejaring Perwira Solo

Presiden Jokowi berkepentingan memperkuat "jaringan Solo" di tubuh TNI-Polri demi Pilpres dan menghindari kepentingan ruwet di Istana.

Jokowi dan Jejaring Perwira Solo
Aris Santoso, kolumnis. tirto.id/Sabit

tirto.id - Presiden Jokowi terbukti menjalankan secara efektif posisinya selaku Panglima Tertinggi TNI, bukan sekadar simbolis, meskipun ia berlatar belakang birokrasi sipil. Selaku Panglima Tertinggi, Jokowi memiliki hak prerogatif menentukan jabatan strategis, seperti ketika mempromosikan Marsekal Hadi Tjahjanto (AAU 1986) sebagai KSAU, kemudian sebagai Panglima TNI.

Publik sudah paham bahwa promosi Marsekal Hadi sebagian (besar) ditopang berkat hubungan baik keduanya yang terjalin sejak sama-sama berdinas di Solo. Sejak awal menjabat, Presiden Jokowi tampaknya ingin membangun jaringan di TNI dan Polri sebagai cara untuk memperkuat posisi politisnya di kedua lembaga tersebut.

Dalam pergantian Kapolri dan KSAU pada awal 2015, Jokowi terkesan masih memberi angin pada Megawati (selaku Ketua Umum PDIP), sehingga perwira-perwira pilihan Megawati berhasil naik, khususnya pada posisi KSAU (Marsekal Agus Supriatna). Namun, sesudah itu, Jokowi bisa lepas dari bayang-bayang Megawati.

'Jaringan Solo': Faktor Keberuntungan

Dalam menentukan posisi di TNI dan Polri, ada kecenderungan Jokowi memilih kolega-koleganya yang dulu berdinas di Solo. Tentu ini sah-sah saja. Anggap saja ini bagian dari privilese seorang Panglima Tertinggi. Dan tentu saja cara seperti ini merupakan berkah tersendiri bagi perwira yang pernah bertugas di Solo.

Asal sedikit sabar, mereka tinggal menunggu giliran untuk dipromosikan. Bagi kalangan internal TNI, faktor keberuntungan dalam promosi perwira adalah hal biasa, sebagaimana yang sudah-sudah.

Kecenderungan Jokowi memilih pejabat dengan latar belakang penugasan di Solo terlihat ketika Jokowi memilih mantan Dandim Surakarta Kol. Inf. Widi Prasetyono (Akmil 1993) sebagai ajudannya. Kolonel Widi adalah Dandim Surakarta saat Jokowi menjadi Wali Kota Solo. Sejak April 2017, Kolonel Widi sudah menjadi Danrem Solo, artinya sudah setahun lebih, dan siap dipromosikan dalam pos brigjen.

Perwira kedua yang bisa disebut adalah Brigjen Bhakti Agus Fajari (Akmil 1987), yang pernah berdinas sebagai Danrem Solo, dengan pangkat kolonel. Saat Jokowi sudah menjadi presiden, Bhakti Agus dipindah sebagai Danrem Padang, sebuah pos untuk Brigjen. Dengan demikian, dalam posisi sebagai Danrem Padang, Bhakti Agus memperoleh promosi dalam kepangkatan, dan masuk jajaran pati (perwira tinggi). Kemudian, pada akhir 2017, Bhakti Agus kembali lagi ke Jateng sebagai Kasdam IV/Diponegoro.

Untuk perwira Polri yang bisa disebut adalah Komjen Pol Lutfi Lubihanto (Akpol 1984), yang kini menjabat Kepala Baintelkam Polri. Seperti model perwira di atas, Luthfi sebelumnya pernah bertugas sebagai Kapolresta Surakarta (2003, pangkat AKBP) dan Kapoltabes Surakarta (2006, pangkat Kombes), yang saat itu beririsan saat Jokowi menjabat Wali Kota Solo.

Tentu daftar nama ini masih bisa diperpanjang lagi, semisal Mayjen (Purn) Andogo Wiradi (Akmil 1981, mantan Danrem Solo), Brigjen TNI Maruli Simanjuntak (Akmil 1992, mantan Danrem Solo dan Komandan Grup 2 Kopassus Kartosura), dan seterusnya.

Namun, di antara sekian nama perwira yang pernah menjadi kolega Jokowi di Solo, terselip nama yang kurang beruntung, yaitu Letkol Inf. Sadputro Adi Nugroho (Akmil 1988B, Dandim Solo 2007-2009), yang namanya kini seolah hilang dari peredaran.

Posisi Korem Solo

Guna sedikit memahami peta satuan (militer) di Solo, posisi Korem (Komando Resort Militer) Solo bisa kita jadikan jendela.

Di tanah air ada sekitar 44 atau 45 korem. Dari sekian banyak korem itu, ada sekitar 12 korem yang masuk kategori (sebut saja begitu) “tipe A”, yaitu korem yang pimpinannya (danrem) berpangkat bintang satu, antara lain Danrem Kupang, Danrem Biak, Danrem Riau, Danrem Padang, Danrem Manado, dan seterusnya. Untuk korem di Jawa, hanya Korem Yogyakarta (072/Pamungkas) yang dipimpin brigjen.

Kebijakan korem dipimpin perwira tinggi baru muncul sekitar lima tahun lalu. Sebelumnya flat: seluruh danrem berpangkat kolonel. Ketika seluruh danrem masih berpangkat kolonel, tetap ada korem yang dianggap masuk “tipe A”, yakni korem yang dianggap memiliki nilai strategis tinggi.

Konsekuensi bagi danrem yang sedang menjabat: dia bisa langsung dipromosikan pada jabatan brigjen selepas menjabat. Korem yang dimaksud adalah Korem Bogor, Lampung, Aceh (dua Korem), Papua (tiga Korem), dan di masa lalu masih ditambah Korem Timor Timur.

Korem Solo, yang nama resminya adalah Korem 074/Warastratama, tidak masuk kategori terakhir tersebut. Ini bisa dihubungkan dengan bagaimana kondisi sosial-politik yang menjadi wilayah Korem Solo, yang relatif tenang dan nyaris tanpa gejolak. Tentu fenomena ini tidak bisa digeneralisir sepenuhnya karena perwira sekelas Luhut Panjaitan (lulusan terbaik Akmil 1970, kini Menko Maritim), di masa lalu pernah menjadi Danrem Madiun, yang beban sosial-politiknya setara dengan Danrem Solo.

Demikian juga posisi satuan lain, seperti Pangkalan Udara (Lanud) Adi Sumarmo, tempat Marsekal Hadi Tjahjanto pernah menjadi pimpinan dulu. Posisi Lanud Solo tidak sepenting Lanud Madiun, home base pesawat tempur canggih; sementara Lanud Solo lebih untuk lokasi pendidikan kejuruan.

Dengan munculnya Jokowi sebagai Presiden, rupanya memberi efek bagi satuan-satuan di Solo, khususnya pada korem setempat. Kini menjabat Danrem Solo menjadi sama favoritnya seperti bila menjabat Danrem Bogor.

Kepentingan Jokowi

Bisa dipahami bila Presiden Jokowi berkepentingan memperkuat jaringan Solo di TNI-Polri mengingat sebelumnya ia kurang bersentuhan dengan dua institusi tersebut. Berbeda dari Presiden SBY yang memang dibesarkan di institusi TNI. Walau bagaimanapun Jokowi melihat, dalam percaturan politik di Tanah Air, posisi TNI (khususnya Angkatan Darat) tetap penting.

Mari kita coba urai sejenak, apa kira-kira kepentingan Jokowi membangun “Solo connection” di TNI?

Setidaknya ada dua, yakni strategis (jangka panjang) dan taktis (jangka pendek). Untuk kepentingan strategis, bisa dihubungkan dengan niat Jokowi untuk maju kembali sebagai capres pada Pilpres 2019.

Kira-kira skenario kasarnya adalah sebagai berikut. Brigjen Agus Fajari segera dipromosikan dalam pos bintang dua (mayjen) dan salah satu kemungkinannya menjadi Pangdam Siliwangi. Demikian pula Kol. Inf. Widi Prasetyono yang akan dipromosikan sebagai Danrem Padang; mirip dengan jalur karier Brigjen Agus Fajari dulu, yang memperoleh pangkat brigjen saat menjadi Danrem Padang.

Dua wilayah tersebut (Jabar dan Sumbar), sejak lama dikenal sebagai medan yang terjal bagi PDIP, partai asal Jokowi.

Khususnya di Jabar dan Sumbar, dari pemilu ke pemilu, PDIP sulit sekali mendulang suara. Dan itu sama artinya kurang ada dukungan bagi Jokowi. Karenanya Jokowi merasa perlu mengirim dua perwira kepercayaannya untuk “mengawal” dua wilayah itu.

Soal kepentingan taktis bisa dihubungkan dengan perkembangan di Istana hari ini saat Jokowi terlihat kurang firm dengan orang-orang di sekitarnya. Fenomena kecemasan di Istana setidaknya ditandai dua peristiwa.

Pertama, munculnya polemik berlarut-larut soal hak keuangan unsur pimpinan BPIP (Badan Pengelola Ideologi Pancasila). Kedua, masuknya figur seperti Ali Mochtar Ngabalin di lingkungan Istana (tepatnya Kantor Staf Kepresidenan).

Saya tidak akan mengulang lagi soal polemik seputar hak keuangan pimpinan BPIP. Hanya masalahnya, bila orang-orang di sekitar Jokowi memang firm, tentu kegaduhan ini bisa dihindari, setidaknya diantisipasi. Kemudian soal bergabungnya Ali Mochtar Ngabalin di KSP, ini seolah melawan nalar publik, bukan saja Ali Mochtar pada Pilpres sebelumnya masuk kubu Prabowo, tapi lebih pada performanya yang kurang meyakinkan selama ini.

Mengapa selaku KSP dan orang dekat Presiden, Moeldoko tidak merekrut saja dua juniornya di TNI AD yang jelas lebih kredibel dan kompeten ketimbang merekrut figur sipil tapi kualitasnya kita tahu sendiri?

Saya bisa mengajukan dua nama (sekadar contoh) yang rasanya lebih pantas masuk KSP, yaitu Mayjen TNI Heronimus Guru (Akmil 1984, kini Deputi Operasi Basarnas) dan Mayjen TNI Imam Edy Mulyono (Akmil 1984, mantan Komandan Pasukan PBB di Maroko, peraih gelar master dari Harvard). Keduanya sebentar lagi akan pensiun, tetapi fisik dan pemikiran masih prima; ayang sekali kalau kompetensi mereka tidak dimanfaatkan.

Yang ingin saya katakan adalah Jokowi membutuhkan pijakan kokoh dari perwira-perwira kepercayaannya, untuk menghadapi kerumitan di Istana. Perwira-perwira kepercayaannya ini diposisikan sebagai “senjata pamungkas” di kemudian hari tatkala Jokowi tidak sanggup lagi mengendalikan beragam karakter orang-orang di Istana, yang membawa agenda masing-masing pula.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.