tirto.id - Menjelang perayaan Kemerdekaan 17 Agustus, grasi menjadi isu yang sering diperbincangkan, khususnya jika presiden mengeluarkannya bagi tahanan yang mendapat sorotan publik, misalnya gembong narkoba ataupun politik. Pemberian grasi adalah hak prerogatif presiden yang tak bisa digugat. Dalam UU No 22 Tahun 2002 (PDF) grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.
Permohonan grasi hanya dapat diajukan satu kali oleh terpidana terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang berupa pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah dua tahun. Presiden bisa memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung (MA) dan wewenang MA ini termaktub dalam UU Mahkamah Agung 2004.
Kinerja Penyelesaian Permohonan Grasi
Salah satu kewenangan MA berdasarkan peraturan perundang-undangan adalah memberikan pertimbangan terhadap permohonan grasi. Dibandingkan permohonan kasasi dan peninjauan kembali, jumlah permohonan grasi terbilang lebih sedikit. Pada 2017, misalnya, perkara kasasi yang masuk ada 11.396 perkara, peninjauan kembali sebanyak 3.975 perkara, dan grasi hanya 59 perkara.
Dari tahun ke tahun, MA menerima permohonan grasi mencapai puluhan perkara, tetapi tidak semua perkara ditangani dan diberikan putusan. Misalnya saja, dalam kurun waktu 9 tahun, jumlah beban permohonan grasi yang ditangani oleh MA adalah 807 perkara. Dari jumlah tersebut sebanyak 669 perkara (82,90 persen) diberikan pertimbangan. Dalam hal ini, yang dimaksud sebagai jumlah beban adalah jumlah permohonan grasi yang masuk di tahun tersebut ditambah dengan sisa permohonan grasi yang belum diberikan putusan di tahun sebelumnya.
Salah satu hal yang paling mencolok adalah jumlah beban permohonan grasi pada 2010, yaitu sebanyak 319 perkara. Jumlah ini melonjak 659,52 persen dari tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, 309 perkara diberikan pertimbangan dan menyisakan 10 perkara grasi. Sebab tingginya permohonan ini diasumsikan karena pemerintah berupaya menuntaskan utang permohonan grasi dari 1950.
Pasal 15 UU No 2 tahun 2002 menyatakan bahwa permohonan grasi yang belum mendapat penyelesaian yang diajukan sebelum berlakunya UU No 2/2002 diselesaikan dalam waktu dua tahun terhitung sejak UU ini mulai berlaku (PDF). Artinya, seluruh permohonan grasi sebelum ditetapkannya UU No 22 Tahun 2002 yang belum selesai diputuskan oleh Presiden harus selesai setidak-tidaknya pada 2 tahun sejak UU tersebut disahkan, yakni mulai pada 22 Oktober 2002 sampai dengan 22 Oktober 2005.
Namun, hingga 2010, pemerintah gagal menyelesaikan seluruh utang permohonan grasi. Masih ada 2.106 perkara grasi yang belum dapat diselesaikan, yang merupakan warisan sejak penggunaan UU Grasi sebelumnya di tahun UU Nomor 3 Tahun 1950.
Solusinya, pemerintah mengeluarkan UU No 5 tahun 2010 untuk menyelesaikan banyaknya utang permohonan grasi yang menyatakan bahwa permohonan grasi yang belum diselesaikan berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi diselesaikan paling lambat tanggal 22 Oktober 2012.
Perkara Pidana Khusus
Selama 9 tahun, dari seluruh permohonan grasi yang diberikan pertimbangan, jenis perkara terbanyak adalah pidana khusus sebanyak 445 perkara, dilanjutkan oleh pidana umum 212 perkara, dan pidana militer sejumlah 12 perkara. Dalam hal ini, perkara pidana umum meliputi tindak pidana yang diatur dalam KUHP, sedangkan perkara pidana khusus meliputi tindak pidana yang diatur dalam UU tersendiri di luar KUHP.
Tingginya permohonan grasi yang diberi pertimbangan MA pada 2010 didominasi oleh perkara pidana khusus sebanyak 224 perkara. Banyaknya perkara pidana khusus ini lantaran jumlah perkara pidana khusus yang masuk ke MA juga lebih banyak ketimbang perkara pidana lainnya. Setelah 2010, pemberian pertimbangan terhadap permohonan grasi pada tiap jenis perkara cenderung stabil dengan jumlah yang relatif sedikit.
Namun, pada 2014 ada kenaikan jumlah pemberian pertimbangan terhadap permohonan grasi sebesar 66,7 persen pada jenis perkara pidana umum dan 50 persen pada jenis perkara pidana khusus dari tahun sebelumnya.
MA Lebih Banyak Menolak Permohonan Grasi
Berbeda dengan hasil putusan kasasi dan peninjauan kembali, Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI tidak memuat seluruh hasil pertimbangan terhadap permohonan grasi. Data yang alpa adalah data tahun 2009, 2013, 2014, dan 2017. Selain itu, berdasarkan data yang tercatat, hasil putusan pertimbangan terhadap permohonan grasi terlengkap adalah pada perkara pidana khusus.
Dari data yang tersedia, mayoritas hasil pertimbangan MA adalah menolak permohonan grasi perkara pidana khusus, yaitu 195 perkara. Sementara jumlah grasi yang dipertimbangkan untuk dikabulkan adalah 111 perkara dan grasi yang tidak dapat diterima ada 1 perkara.
Namun, hasil pertimbangan tersebut tak menunjukkan berapa perkara yang akhirnya dikabulkan dan ditolak oleh presiden. MA sebatas mengajukan pertimbangan hukum kepada presiden selaku pemegang keputusan akhir dan pertimbangan ini bersifat tidak mengikat presiden.
Presiden Tak Wajib Membeberkan Pertimbangan
Satochid Kartanegara dalam Hukum Pidana Bagian Dua (hal. 304), menyebutkan beberapa alasan yang menjadi landasan dalam pemberian grasi. Pertama, grasi diberikan untuk memperbaiki akibat dari pelaksanaan undang-undang itu sendiri yang dianggap dalam beberapa hal kurang adil. Kedua, apabila terhukum sedang mempunyai penyakit yang parah. Selain itu, grasi diberikan atas pertimbangan demi kepentingan negara.
Sayangnya, alasan pengabulan atau penolakan grasi oleh presiden tak transparan dan tak bisa diakses publik. UU Grasi tidak mengatur indikator yang jelas apa dasar pertimbangan presiden dalam mengabulkan dan menolak pemberian grasi. UU juga tidak mewajibkan presiden untuk transparan dan akuntabel terkait keputusannya tersebut.
Soal ini, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pada 1 September 2015 mengirimkan permintaan informasi kepada Presiden untuk meminta informasi mengenai Keppres Grasi. Namun, permintaan tersebut ditolak oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kemensetneg.
Alasannya, informasi tersebut masuk dalam informasi yang dikecualikan yang apabila dibuka dapat mengungkap akta otentik yang bersifat pribadi seseorang sebagaimana tercantum dalam Pasal 17 huruf g Undang-undang No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Bagi sebagian pihak, hal ini dinilai sebagai sebuah kemunduran jaminan hak masyarakat untuk memperoleh informasi di Indonesia. Perbincangan mengenai grasi di periode kepemimpinan SBY dan Jokowi banyak menyorot soal grasi yang diberikan kepada terpidana korupsi dan narkoba. Ada beberapa kasus yang menjadi perdebatan publik terkait pemberian grasi oleh SBY dan Jokowi.
Pada 2012, misalnya, SBY mengabulkan permohonan grasi Schapelle Leigh Corby, terpidana 20 tahun kasus penyelundupan ganja 4,2 kilogram ke Bali pada 8 Oktober 2004, berupa pemotongan masa hukuman selama lima tahun. SBY juga memberikan grasi berupa hukuman seumur hidup pada terpidana mati Meirika Franola alias Ola yang terbukti membawa 3,5 kilogram heroin dari London melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta.
Selain itu, SBY memberikan grasi kepada terpidana korupsi, seperti Aulia Pohan, Bunbunan Hutapea, Aslim Tadjudin, dan Maman Soemantri. Keempatnya adalah mantan deputi gubernur Bank Indonesia yang terlibat kasus pengucuran dana Rp100 miliar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia di 2003. Syaukani HR, terpidana kasus korupsi APBD Kutai Kertanegara, juga menikmati grasi yang diberikan SBY.
Di periode Jokowi, beberapa permohonan grasi yang dikabulkan adalah mantan Ketua KPK Antasari Azhar pada 23 Januari 2017 menjadi bebas murni. Jokowi juga memberikan grasi kepada aktivis perempuan, Eva Susanti Bande, yang dipenjara empat tahun lantaran kasus sengketa agraria. Kemudian di awal pekan Mei 2015, Presiden Jokowi kembali memberikan grasi kepada lima orang tahanan politik Papua.
Di sisi lain, keputusan Jokowi menolak grasi terpidana mati kasus narkoba menuai protes banyak pihak. Para terpidana narkoba tersebut tetap dieksekusi mati.
Tak adanya peraturan yang menjamin transparansi alasan di balik penolakan dan pengabulan pemberian grasi dapat membuat publik berspekulasi. Hal ini berpotensi membuka peluang penyalahgunaan wewenang presiden dalam menggunakan haknya berkaitan dengan pengabulan dan penolakan permohonan grasi. Di lain sisi, pembatasan informasi soal keputusan presiden atas grasi dianggap sebagai bentuk proteksi terkait dengan informasi negara yang dianggap rahasia dan demi kepentingan negara.
Editor: Maulida Sri Handayani