Menuju konten utama
Program Sertifikasi Tanah

Jika Sertifikat Gratis, Sofyan Kok Wajarkan Pungutan Rp150 Ribu

Peneliti ICW Tama S Langkun mengkritik pernyataan Sofyan Djalil yang menganggap wajar pungutan asalkan tak melebihi Rp150 ribu.

Jika Sertifikat Gratis, Sofyan Kok Wajarkan Pungutan Rp150 Ribu
Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil menyerahkan sertifikat tanah kepada perwakilan warga saat penyerahan sertifikat tanah untuk rakyat di Surabaya, Kamis (6/9/2018). ANTARA FOTO/Zabur Karuru

tirto.id - Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil buka suara terkait pungutan liar (pungli) dalam pengurusan sertifikasi tanah. Ia memastikan lembaganya akan terus mensosialisasikan jika program yang digalakkan pemerintah ini gratis.

“BPN [Badan Pertanahan Nasional] tidak mengutip apa pun. Di tingkat desa mereka boleh memungut bayaran sesuai dengan keputusan tiga menteri, kalau untuk daerah Tangerang sebesar Rp150 ribu,” kata Sofyan, di Jakarta, Rabu (6/2/2019) seperti dikutip Antara.

Pernyataan Sofyan ini merespons kasus pungli pengurusan sertifikat tanah, seperti yang terjadi pada warga Pondok Cabe Ilir, Tangerang Selatan. Mereka harus membayar uang hingga Rp2,5 juta demi menebus sertifikat tanah.

Sofyan menjelaskan pungutan liar terkait pengurusan sertifikat tanah terjadi bukan di tingkat BPN, melainkan di tingkat desa, RT, atau RW, bahkan kelompok masyarakat atau Pokmas.

“Pokmas ini yang kadang-kadang melakukan apa yang kita kenal saat ini sebagai pungli,” kata Sofyan dalam konferensi pers Rapat Kerja Nasional 2019 Kementerian ATR/BPN.

Khusus untuk kasus yang dialami warga di Tangerang Selatan, kata Sofyan, institusinya sulit menindak pelaku karena korban tidak mau melaporkan perkara yang menimpa mereka kepada aparat.

“Kalau seperti ini sulit sekali, namun kami akan investigasi di mana sumber pungli tersebut,” kata mantan Menteri BUMN ini.

Namun, kata Sofyan, jika pungutan masih dalam koridor keputusan tiga menteri, yaitu sebesar Rp150 ribu, itu masih dibenarkan dan tidak termasuk pungli. Sebab, yang masuk kategori pungli adalah pungutan yang melebihi ketentuan itu.

“Itu memang kami benarkan karena terdapat biaya-biaya pra-sertifikat yang harus dibayar oleh masyarakat, dan biaya Rp150 ribu merupakan biaya yang relatif sangat murah. Tapi yang jadi masalah kalau orang melakukan pungli lebih dari angka tersebut,” kata Sofyan.

Aktivis antikorupsi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun mengkritik pernyataan Sofyan yang menganggap wajar pungutan asalkan tak melebihi Rp150 ribu.

“Dalam bentuk apa pun yang berhubungan dengan public service, pelayan negara terhadap warga negaranya, dia harus punya dasar, mau pajak atau PNBP [Penerimaan Negara Bukan Pajak]. Itu semua harus jelas nomenklaturnya,” kata Tama saat dihubungi reporter Tirto.

Pernyataan Sofyan yang “mewajarkan” pungutan sebesar Rp150 ribu ini bertolak belakang dengan komitmen Jokowi saat awal mula program sertifikat tanah ini digalakkan pada 2016. Saat itu, Jokowi minta agar prosesnya dibuat lebih sederhana, mudah, cepat, dan tidak ada pungutan.

“Jangan lagi ada yang berbelit belit, yang gampang dimudahkan, yang mudah dicepatkan. Jangan diruwet-ruwetkan, apalagi pakai minta pungli, hati-hati,” kata Jokowi saat menyerahkan 2.580 sertifikat tanah program strategis 2016, di Kecamatan Wonosari, Gunungkidul, Yogyakarta.

Salah Prosedur

Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Beni Wijaya, mengatakan pungli terjadi karena metode yang dilakukan pemerintah sudah salah sejak awal dan tidak melibatkan partisipasi warga.

“Bagi-bagi sertifikat itu bukan reforma agraria, tapi salah satu bagian akhir dari reformasi agraria. Masalahnya karena dia tidak benar, maka wajar terjadi penyelewengan kayak begini,” kata Beni saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (7/2/2019).

Beni menyatakan, pemerintah seharusnya melakukan redistribusi tanah dengan melibatkan partisipasi masyarakat di beberapa wilayah yang sudah dipetakan, terutama yang menjadi area konflik agraria.

Untuk menghindari pungli, kata Beni, pelibatan masyarakat semestinya dilakukan agar proses redistribusi lahan yang dipungkasi dengan sertifikasi tanah itu berjalan sesuai harapan.

“Yang di Tangerang itu tidak memenuhi prasyarat karena tidak ada keterlibatan langsung dari bawah. Maka kami mensyaratkan setiap tanah yang diredistribusi itu dibentuk dulu organisasi masyarakat atau petaninya. Nantinya mereka berkolaborasi dengan pemerintah agar sesuai subjek objeknya dan tidak ada penyelewengan,” kata Beni.

Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PDIP Arteria Dahlan mengatakan, lembaganya bakal memanggil Kementerian ATR/BPN untuk meminta klarifikasi soal pungli ini. Sebab, ada potensi tindakan serupa dapat berulang dan terjadi di daerah-daerah lain.

“Enggak ada itu [pungutan], semua pembagian sertifikat bebas biaya. Kecuali yang sudah ditentukan. Nanti kami akan cari tahu, panggil, minta klarifikasi keadaan sebenarnya seperti apa,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto.

Menurut Arteria, pungli dalam program sertifikat tanah itu bakal menghambat program kerja pemerintah serta pemanfaatan tanah oleh masyarakat. Apalagi, jumlah sertifikat yang dibagikan pemerintah cukup besar.

"Tahun lalu target 7 juta yang terbagikan 9 juta seratus," kata Arteria.

Baca juga artikel terkait SERTIFIKAT TANAH atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Abdul Aziz