Menuju konten utama

"Bagi-bagi Sertifikat Tanah Bukan Berarti Reforma Agraria"

Selain bagi-bagi sertifikat pemerintah juga mestinya membenahi ketimpangan kepemilikan lahan di Tanah Air.

Presiden Joko Widodo memberi sambutan dalam pembukaan Rakernas Kementerian ATR/BPN 2018 di Jakarta, Rabu (10/1/2018). ANTARA FOTO/Rosa Panggabean

tirto.id - Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais menyebut kata "pengibulan" untuk program pemerintah membagi-bagi sertifikat tanah. Alasannya, meski sertifikat dibagikan, tapi pemerintah membiarkan 74 persen tanah di Indonesia dikuasai kelompok tertentu saja.

Perkataan Amien Rais terucap saat jadi pembicara diskusi 'Bandung Informal Meeting' yang digelar di Hotel Savoy Homman, Jalan Asia Afrika, Bandung, Minggu (18/3/2018).

Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan akan membuka dosa politikus senior yang mengkritik pemerintah dengan asal-asalan. Pernyataan ini sebagai respons dari pihak yang mengkritik kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ucapan Luhut ini pun dinilai sebagai ancaman. Pihak PAN menilai ancaman itu mengarah pada Amien Rais.

Di luar polemik tersebut, pertanyaan mendasar adalah apa yang sudah dilakukan Jokowi soal reforma agraria? apakah cukup dengan membagi-bagi sertifikasi tanah?

Saat menjadi calon presiden di 2014 lalu, Jokowi memang menargetkan redistribusi dan kepemilikan 9 juta hektar lahan sebagai program reforma agraria di dalam Nawacita. Namun, bagi Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika bagi-bagi sertifikat tanah tidak berarti otomatis sebagai reforma agraria.

Pada Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memang mengatur soal pendaftaran tanah untuk menjamin hak dalam bentuk sertifikasi yang mengacu pada Pasal 19 "Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia"

"...biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran tanah dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya."

Namun, Dewi mengatakan Jokowi belum berhasil melaksanakan reforma agraria sesuai UUPA karena redistribusi lahan yang ia lakukan tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan pemerintah sebelumnya. Salah satu contohnya redistribusi lahan hanya terjadi untuk lahan bebas konflik.

“[Bagi-bagi sertifikat tanah] bukan berarti reforma agraria. Karena seharusnya ada penataan ulang dulu sebelum sertifikasi dilakukan,” kata Dewi saat dihubungi Tirto, Rabu (21/3/2018).

Dewi memandang pemerintah mestinya membenahi ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia. Misalnya, dengan mencatat lahan milik perseorangan dengan berluas jutaan hektar yang hak guna usahanya hampir habis untuk kemudian dibagikan kepada masyarakat. Hal ini menurutnya amanat pokok Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960.

Kegagalan reforma agraria menurut Dewi juga lantaran pemberian lahan terhadap korporasi terus berlanjut. Sehingga lahan luas tidak berfungsi sebagai penghasil produk pertanian tapi malah justru menjadi tempat berdirinya industri, properti, dan pertambangan. Ujung-ujungnya memicu konflik agraria di berbagai daerah.

“Ini menyebabkan penurunan jumlah petani secara signifikan dan angka urbanisasi dan pertambahan maupun buruh migran terus merangkak naik,” katanya.

Menurut Dewi pembagian sertifikat lahan juga tak menyelesaikan masalah konflik agraria. Sebab, subjek penerima sertifikat tidak dibatasi kepada penggarap, melainkan kepada masyarakat yang telah lama menempati tanah tersebut. Apalagi pemerintah tidak menindaklanjutinya dengan penyuluhan agar lahan dapat dimanfaatkan sebagai alat produksi pertanian.

“Pemberian modal, buku, bantuan pupuk dan lain-lain itu seharusnya dilakukan paralel. Kalau enggak begitu, tanahnya bisa diakumulasikan lagi sama kelompok-kelompok bermodal besar. Simpelnya, mereka dikasih lahan tapi enggak bisa jadi alat produksi. Datang pengusaha, diintimidasi, mereka akhirnya jual,” katanya.

Sepanjang 2015, KPA melaporkan telah terjadi sedikitnya 252 kejadian konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 400.430 hektar dan melibatkan sedikitnya 108.714 kepala keluarga (KK). Berdasarkan laporan akhir tahun KPA, pemenuhan hak-hak dasar warga atas sumber-sumber agraria, pemulihan hak-hak korban konflik serta upaya penyelesaian konflik agraria nyaris tak tersentuh sepanjang 2015.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Semarang Zainal Arifin mengatakan pemerintah mestinya memberi perhatian terhadap konflik lahan antara petani dengan korporasi sesuai janji kampanye nawacita. Apalagi, konflik agraria terus terjadi dan mengalami eskalasinya sangat cepat.

"Baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Karena yang lama belum terselesaikan, tapi sudah muncul konflik yang baru," imbuhnya.

Berdasarkan Buku Realisasi Kegiatan Legalisasi Aset dan Redristribusi Tanah Tahun 2015-2017 dari BPN, sampai Agustus 2017, pemerintah sudah menyerahkan 2.889.993 sertifikat tanah. Dalam tahun 2018, sertifikasi ditargetkan menjadi 7 juta sehingga target 9 juta sertifikat akan dirampungkan pada 2019.

Direktur Jenderal Pengendalian dan Pemanfaatan Ruang dan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) Budi Situmorang mengatakan tugas Kementerian ATR adalah melakukan reforma agraria dengan memberikan sertifikat tanah kepada masyarakat. Ia berharap pemberian sertifikat dapat dimanfaatkan secara baik untuk meningkatkan ekonomi masyarakat.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/10/18/reforma-agraria--MILD--rangga.jpg" width="860" alt="Infografik reforma agraria" /

Baca juga artikel terkait SERTIFIKAT TANAH atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Politik
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Muhammad Akbar Wijaya