Menuju konten utama

Jika Kepala Intelijen Bukan Kepercayaan Presiden

Budi Gunawan yang gagal menjadi Kapolri, segera dilantik menjadi Kepala BIN. Ia akan menjadi Kepala BIN yang notabene bukan “sekutu” presiden, seperti Sutiyoso. Di era sebelum Presiden Jokowi, Kepala BIN merupakan "orang dekat" presiden, bukan hasil kompromi.

Jika Kepala Intelijen Bukan Kepercayaan Presiden
Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia Komjen Pol Budi Gunawan bersiap mengikuti uji kalayakan dan kepatutan calon Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) di ruang rapat Komisi I Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (7/9). Komjen Budi Gunawan diusulkan oleh Presiden Joko Widodo menjadi calon Kepala BIN menggantikan Sutiyoso. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/foc/16.

tirto.id - Komisaris Jenderal (Pol) Budi Gunawan berjalan dengan kawalan polisi masuk ruang sidang Komisi I DPR RI di Senayan, pada Rabu (7/9/2016). Mantan calon Kapolri yang gagal itu berjalan santai dengan mengenakan seragam resmi Polri, menerobos awak media yang menunggu, lalu duduk menghadapi para wakil rakyat yang akan mengujinya.

Pagi itu, BG, begitu sapaan akrabnya, akan menjalani fit and proper test sebelum menduduki jabatan barunya sebagai Kepala Badan intelijen Negara (BIN). Proses uji kelayakan dan kepatutan berlangsung lebih dari tiga jam. BG masuk ruang sekitar pukul 10.00 WIB dan keluar dari ruang setelah jam makan siang.

Begitu meninggalkan ruang, BG pun langsung mendatangi awak media. “Puji syukur, alhamdulillah kepada Allah SWT karena uji kelayakan dan kepatutan pada hari ini berjalan dengan lancar dan baik,” katanya.

Ucapan syukur memang tepat diucapkan BG, sebab Komisi I DPR menyatakan secara resmi dirinya dinyatakan layak sebagai Kepala BIN menggantikan Sutiyoso. Rencananya, BG akan segera dilantik pada Selasa (13/9/2016).

Disodorkannya nama BG oleh Presiden Joko Widodo ke meja DPR, memang mengingatkan orang pada peristiwa serupa pada awal tahun lalu. Saat itu, pada 9 Januari 2015, Jokowi menadatangani surat bernomor R-01/Pres/01/2015 yang menyodorkan nama BG sebagai Kapolri untuk menggantikan Jenderal Polisi Sutarman.

Selang empat hari kemudian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan BG sebagai tersangka korupsi saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2004-2006.

Penetapan tersangka itu pun berbuntut panjang. Konflik antara KPK dengan Polri pun tak terelakan. Pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto berbalik dijadikan kriminal oleh polisi. Abraham Samad dijadikan tersangka kasus pemalsuan dokumen dan paspor. Sementara Bambang Widjojanto dijadikan tersangka dalam kasus rekayasa saksi palsu terkait Pemilukada tahun 2010. Bambang bahkan sempat ditangkap oleh polisi berpakaian preman bersenjata di hadapan anaknya.

Situasi sempat keruh dan memunculkan konflik antara dua institusi yakni kepolisian dan KPK. Akhirnya, Jokowi pun membatalkan pengangkatan BG sebagai Kapolri, meski sidang paripurna DPR menyatakan BG lolos uji kelayakan dan kepatutan dan menjadi calon Kapolri, pada 15 Januari 2015. Sebagai ganti, Wakapolri Badrodin Haiti pun dilantik Presiden Jokowi sebagai Kapolri pada 17 Januari 2015.

Anomali Pemilihan BG Jadi Kepala BIN

Perjalanan BG menjadi Kepala BIN nyaris mulus. Memang ada yang sempat mempertanyakan tentang latar belakang BG dari institusi kepolisian. Selama ini kursi Kepala BIN hampir selalu diduduki oleh sosok yang berlatar belakang militer.

Sepanjang perjalanan BIN di Indonesia, hampir semua Kepala BIN berlatarbelakang militer. Mulai dari Kepala BIN pertama, Kolonel TNI Zulkifli Lubis hingga Letjen TNI (Purn) Sutiyoso yang sekarang masih menjabat.

Kecuali di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang menunjuk Jendral Polisi Sutanto sebagai Kepala BIN. Pemilihan Sutanto saat itu mencatat sejarah baru, untuk pertama kalinya Kepala BIN berasal dari institusi Kepolisian.

Pengamat intelijen, Ridwan Habib mengatakan, perdebatan apakah Kepala BIN harus dari TNI atau Polisi merupakan perdebatan yang tak relevan. Sebab sejatinya, pemilihan Kepala BIN adalah hak prerogatif Presiden.

"Ini kan haknya Presiden. Jadi tentu tidak ada kaitannya dengan asal institusi. Bahwa asal institusi itu jadi bahan pertimbangan presiden, itu bisa saja. Tapi itu bukan hal yang mutlak," kata Ridwan saat dihubungi tirto.id pada Selasa (6/9/2016).

Ridwan menjelaskan, dua pemikir intelijen di Amerika Serikat pernah memperdebatan hal yang hampir serupa. Keduanya adalah Sherman Kent dan Robert Gates. Sherman Kent berpendapat bahwa seorang Kepala Intelijen haruslah orang yang profesional dan memiliki kapastitas di bidangnya, serta bebas dari kepentingan politik. Sedangkan Robert Gates justru berpendapat sebaliknya. Menurutnya, Kepala Intelijen haruslah orang kepecayaan Presiden dan orang yang dekat dengan politik.

Keduanya memiliki argumen yang sama-sama kuat. Namun di Indonesia, semua Presiden mengikuti mahzab pemikiran Robert Gates. Sejak Soeharto hingga SBY, Presiden cenderung memilih Kepala BIN diisi sosok yang dipercayainya.

Sebagai contoh di zaman Orba. Kepala BIN selalu dijabat orang kepercayaan Presiden Soeharto dan berlatar belakang militer. Sutopo Juwono dan Yoga Soegomo adalah orang kepercayaan Soeharto dan sangat dekat dengan lingkaran keluarga Cendana.

Tidak hanya untuk posisi Kepala BIN, sejumlah nama besar yang dekat dengan Soeharto juga disisipkan dalam jabatan strategis di BIN. Sebut saja Ali Moertopo yang mendampingi Sutopo Juwono sebagai Deputi Kepala BIN yang pada waktu itu masih bernama BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara).

Begitu pula zaman Megawati, Kepala BIN dipercayakan kepada Jenderal AM Hendropriyono. Sosok Hendro bukan hanya dekat dengan Megawati, tapi juga dekat dengan PDIP sebagai partai penguasa pada saat itu. Hal yang sama juga terjadi di era Presiden SBY ketika menunjuk Sutanto dan Marciano Norman sebagai Kepala BIN. Keduanya merupakan orang dekat dan kepercayaan SBY.

"Jadi bukan soal dari militer atau sipil, tapi dilihat sebagai orang kepercayaan. Karena BIN ini mata telinga presiden," ujar Ridwan.

Alasan memilih Kepala BIN dari orang kepercayaan, dinilai Ridwan paling rasional. Sebab BIN melayani single client yakni Presiden. Oleh sebab itu, seorang Kepala BIN harus orang yang bisa dipercaya oleh presiden. Jika tidak, dikhawatirkan laporan BIN yang disodorkan oleh Kepala BIN justru mentah dan tidak bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan Presiden dalam mengambil keputusan. Atau yang paling fatal, Presiden bisa salah dalam mengambil keputusan.

“Kan sia-sia, perangkat sudah bekerja di lapangan dengan baik, analisis baik, tapi malah tidak dipakai laporannya karena Presiden tidak percaya. BIN ini politis juga, soal kepercayaan itu penting,” ungkapnya.

Jika Bukan Kepercayaan Presiden

Gambaran ideal sosok Kepala BIN yang merupakan orang kepercayaan Presiden agaknya tidak terjadi di era Presiden Jokowi. Beberapa bulan setelah menjadi presiden, Jokowi menunjuk Sutiyoso menjadi Kepala BIN, pada 8 Juli 2015.

Sutiyoso memang merupakan sosok militer yang cukup sukses di dunia politik. Dia pernah menjabat Gubernur DKI Jakarta selama dua periode. Tak hanya itu, Sutiyoso merupakan pendiri PKPI yang turut menyukseskan Jokowi menjadi orang nomor satu di Indonesia. Jokowi memilih Sutiyoso lebih dikarenakan “balas jasa” karena Sutiyoso dan PKPI berada di dalam barisan pendukung Jokowi dalam Pilpres 2014.

Hubungan antara Jokowi dengan Sutiyoso sebagai Kepala BIN, bisa diukur dengan melihat sejauh mana saran BIN digunakan oleh Presiden dalam mengambil keputusan. Dalam kasus kewarganegaraan ganda Arcandra Taher, sebagai Kepala BIN, Sutiyoso rupanya tidak dimintai masukan terkait Arcandra.

“Kasus Arcandra ini indikasi saja. Presiden tidak tanya ke Sutiyoso, tidak minta pertimbangan. Setelah kecolongan, Sutiyoso bilang ke media kalau tidak dimintai pendapat soal itu,” tutur Ridwan.

Kejadian itu menunjukkan sinyal nyata bahwa Jokowi tidak percaya pada Sutiyoso sehingga tidak meminta pendapat dan informasi intelijen sebelum melantik Arcandra. “Itu artinya ada indikasi di era Sutiyoso, hubungan dengan Presiden kurang harmonis. Tapi itu hanya satu kasus saja. Kita tidak tahu apakah urusan lain intelijen dimintai pendapat,” tambahnya.

Sebelum kasus Arcandra, hal serupa juga pernah terjadi. Berdasarkan catatan Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari, sebagai Kepala BIN Sutiyoso sudah pernah memperingatkan adanya ancaman bom di Mapolresta Solo dan juga bom Sarinah. Sayangnya informasi itu tidak digunakan dengan baik.

“Informasi sudah disampaikan, tapi entah dianggap kurang valid atau tidak dipercaya. Padahal BIN sudah‎ memberikan informasi kepada lembaga-lembaga yang memang punya otoritas untuk menangani terorisme seperti BNPT dan Densus 88. Tapi kenapa masih kecolongan juga? Padahal sebulan sebelumnya, Pak Sutiyoso sudah menyampaikan dan beri peringatan,” ungkap Kharis.

BG Kepercayaan Jokowi?

Pertanyaan yang kini mengemuka, seberapa dekat Jokowi dengan BG sehingga rela mempertaruhkan mata dan telinganya kepada BG?

Kedekatan Jokowi dengan BG yang baru saja ditunjukannya sebagai pengganti Sutiyoso pun banyak membuat orang bertanya-tanya. Maklum, BG selama ini justru dikenal sangat dekat dengan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan yang merupakan partai utama pendukung Jokowi sebagai presiden.

Kedekatan itu sudah terbangun sejak lama. BG saat masih berpangkat Kombes, pernah menjadi ajudan Megawati saat masih menjabat Wakil Presiden di masa Presiden KH Abdurrahman Wahid, maupun saat Mega naik menjadi presiden periode 2001-2004.

Maka tak perlu heran jika penunjukan BG, baik sebagai calon Kapolri maupun Kepala BIN, banyak dipercaya lebih karena kerikuhan Presiden Jokowi terhadap Megawati.

Benarkah seperti itu? BG sendiri menjawab diplomatis saat ditanya tirto.id seberapa dekat dirinya dengan Jokowi.

“Semua orang juga dekat. Artinya kedekatan itu selaku jabatan saya sebagai Wakapolri. Itu ada hal-hal yang harus kita laporkan ke Bapak Presiden. Perkembangan kejadian ke depan maupun langkah-langkah yang kita ambil,” kata BG usai menjalani uji kelayakan di DPR.

Pernyataan BG ini tentu mengambang. Sebab berdasarkan pasal 6 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 52 tahun 2010 tentang “Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Nasional Republik Indonesia”, seorang Wakapolri bertanggung jawab kepada Kapolri dan bukan kepada presiden.

Tugas Wakapolri pun tidak terkait dengan urusan melapor kepada Presiden. Tugasnya adalah membantu Kapolri dalam melaksanakan tugas dengan mengendalikan pelaksanaan tugas sehari-hari seluruh satuan staf Mabes Polri dan jajarannya, mewakili Kapolri dalam hal Kapolri berhalangan, serta melaksanakan tugas lain atas perintah Kapolri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kini BG hanya tinggal menunggu waktu untuk dilantik oleh Presiden Jokowi. Jika memang ternyata penunjukannya lebih karena alasan politis dan bukan karena faktor kedekatan dan kepercayaan, niscaya kinerja dan laporan intelijen negara bakal sekadar menjadi tumpukan kertas berdebu di atas meja Presiden.

Baca juga artikel terkait BIN atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Indepth
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana & Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti