tirto.id - Keputusan Presiden Joko Widodo atau Jokowi menggratiskan tol jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) dinilai sarat dengan kepentingan politik. Kebijakan itu dianggap hanya cara mantan Gubernur DKI Jakarta itu meraup suara di Pulau Madura pada Pilpres 2019.
Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto mengatakan muatan politik itu sangat kentara bila melihat fakta perolehan suara Jokowi-JK di Pulau Madura pada Pilpres 2014. Dia meyakini adanya keinginan Jokowi meraup suara dari masyarakat Madura lebih banyak dari sebelumnya. Salah satu cara untuk itu adalah membuat kebijakan yang mengena bagi masyarakat.
“Saya yakin dalam hati Pak Jokowi ingin Madura menang. Walaupun Pak Jokowi sampaikan ke publik ini enggak ada kaitannya dengan politik, tapi enggak mungkin Pak Jokowi enggak mau ada imbas politik pada beliau,” kata Yandri di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (30/10/2018).
Meski meyakini adanya kepentingan politik di balik pembebasan biaya melintas di jembatan yang menghubungkan Pulau Madura dan Jawa itu, Yandri tetap optimistis Madura menjadi lumbung suara bagi pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Menurut Yandri, sejauh ini sinyal positif selalu muncul dari warga Madura untuk mendukung pasangan yang diusung koalisi Gerindra, PAN, PKS, dan Demokrat itu.
“Insyaallah Prabowo-Sandiaga menang dan bisa meningkat perolehannya. Karena Sandiaga sudah ke sana, Prabowo nanti ke sana. Lalu ada beberapa pertemuan ulama menyatakan dukungan pada Prabowo,” kata Yandri.
Pernyataan Yandri itu bisa saja benar. Akan tetapi, Presiden Jokowi sudah membantahnya. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini pun mengklaim bahwa kebijakannya itu tidak ada kaitannya dengan citra politik menjelang Pilpres 2019.
“Kalau mau urusan politik, ya ntar saya gratiskan bulan Maret saja tahun depan. Jangan apa-apa dikaitkan dengan politik. Ini urusan ekonomi, ini urusan investasi, ini urusan kesejahteraan, ini urusan rasa keadilan,” kata Jokowi seperti dikutip Antara, usai mengumumkan jembatan Suramadu gratis, pada Sabtu (27/10/2018).
Selain itu, Jokowi menegaskan negara tidak berhitung untung dan rugi dalam mengambil keputusan untuk membebaskan atau menggratiskan biaya bagi kendaraan yang melintasi jembatan yang menghubungkan Pulau Madura dan Jawa itu.
“Negara itu berhitung yang berkaitan dengan keadilan sosial. Yang berkaitan dengan rasa keadilan, kesejahteraan. Itu yang dihitung,” kata Jokowi seperti dilansir lama resmi Setkab.
Presiden Jokowi berharap dengan penggratisan jalan tol Suramadu itu, maka sektor pariwisata, properti, investasi bisa betul-betul bergerak di Madura, sehingga terbuka lapangan pekerjaan yang sebanyak-banyaknya.
Hal senada juga diungkapkan Juru Bicara Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Ace Hasan Syadzily. Menurut Ace, kebijakan itu tak bisa dilihat semata dari perspektif politik. Menurutnya, jembatan Suramadu wajar digratiskan saat ini.
Alasannya, kata Ace, jembatan itu sudah dilintasi hampir 10 tahun sejak diresmikan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 10 Juni 2009. Saat ini, Ace menyebut jembatan Suramadu tinggal dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat tanpa mengharap pemasukan darinya.
“Jadi menurut saya kalau orang melihatnya secara politis, ya pasti kapanpun akan dilihat secara politis. Ini pas kebetulan menjelang 2019 pasti dinilainya juga begitu. Biarin saja orang mau melihat secara politis, yang penting rakyat senang dan tidak membebani pemerintah itu sendiri," kata Ace di kawasan Menteng, Jakarta, Senin (29/10/2018).
Ace juga menyinggung bahwa Jokowi sejak memerintah pada 2014 lalu sering mengeluarkan kebijakan yang menyasar daerah-daerah di mana ia menderita kekalahan pada pemilu terakhir. Menurutnya, sikap itu bukan politis, namun menunjukkan sikap negarawan Jokowi.
"Pak Jokowi punya perhatian misalnya di Sumatera Barat, dan saya kira itu sesuatu yang wajar seorang presiden punya design khusus terhadap daerah yang memang di 2014 lalu Pak Jokowi kalah,” kata politikus Golkar ini.
Mendongkrak Elektabilitas dengan Kebijakan Populis
Jika ditilik dari perspektif politik, keputusan Jokowi meniadakan tarif melintas di jembatan Suramadu sebagai sesuatu yang wajar. Sebabnya, ia pasti membutuhkan suara dari masyarakat Madura setelah kalah pada Pilpres 2014.
Kala itu, Prabowo yang berpasangan dengan Hatta Radjasa mendapat 830. 968 suara dari pemilih Pulau Madura. Sementara Jokowi dan Jusuf Kalla hanya mendapat dukungan 692.631 suara dari warga pulau garam tersebut.
Direktur Pusat Studi Sosial Politik Indonesia Ubedilah Badrun mengkonfirmasi kemungkinan itu. Menurutnya, Jokowi jelas sengaja membebaskan biaya atau tarif di jembatan Suramadu demi suara di Pilpres 2019.
Ubedilah berkata, langkah Jokowi itu merupakan pengejawantahan dari teori politik imaging policy. Teori itu, kata Ubedilah, menyebut bahwa sebuah kebijakan bisa memberi dampak pada citra penguasa.
"Jadi dia membuat kebijakan untuk citranya, dan itu relatif berkorelasi dengan elektabilitas. Jadi memang sarat dengan makna politik," kata Ubedilah kepada reporter Tirto, pada Selasa (30/10/2018).
Dosen di Universitas Negeri Jakarta ini menilai, Jokowi jelas ingin mendongkrak elektabilitas dari Pulau Madura. Apalagi, saat ini hubungan Jokowi dengan masyarakat Madura secara tidak langsung dianggap tak begitu baik.
Anggapan itu muncul setelah batalnya Jokowi menggaet Mahfud MD, tokoh nasional dari Madura, menjadi calon wakil presiden di Pilpres 2019. Mahfud di akhir-akhir masa pendaftaran kandidat Pilpres 2019 terdiskualifikasi sebagai cawapres Jokowi.
“Maka dengan cara itu mungkin Jokowi punya motif menyembuhkan luka itu. Jadi dari situ memang bisa ditafsirkan sebagai kebijakan yang bernuansa politis untuk mendongkrak elektabilitas,” kata Ubedilah.
Meski sudah melakukan kebijakan untuk mendongkrak elektabilitasnya Jokowi dianggap tak serta merta dapat dukungan banyak dari masyarakat Madura. Ubedilah menyebut kebijakan Jokowi soal Suramadu hanya akan berdampak signifikan jika diterima dan berdampak luas bagi masyarakat Madura.
"Mungkin ada [dampaknya] tapi tak tinggi dan tak mengubah mindset masyarakat," kata Ubedilah.
"Karena, pertama, kebijakan itu muncul di tengah kekecewaan orang Madura. Jadi di tengah kekecewaan itu sebuah kebijakan sangat sulit bisa diterima."
Menurut Ubedilah, jembatan Suramadu belum tentu memiliki fungsi yang tinggi bagi masyarakat Madura. Warga di sana dianggap bisa saja lebih sering bepergian menggunakan kapal atau moda transportasi lain.
"Itu juga bisa mengurangi pendapatan yang pakai kapal, orang yang biasa bawa barang kan mereka dapat keuntungan dari kapal lautnya. Jadi itu yang membuat mereka tak sepenuhnya menggembirakan lah. biasa-biasa saja. Untuk sebagian kecil [masyarakat] mungkin ada [dampaknya]," ujar Ubedilah.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Abdul Aziz