tirto.id - "Jalanan tol Jakarta ke Bekasi lancar banget. Ini baru namanya jalan tol!"
Egi Asrifah warga Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat dengan riang menceritakan situasi jalanan yang dia lewati kepada reporter Tirto via sambungan telepon, Kamis (9/4/2020). Tentu ini kabar bagus buat warga Bekasi lain.
Jalan yang punya predikat tol termacet ini kini lengang bukan kepalang sejak COVID-19 merebak dan banyak perusahaan menerapkan work from home (WFH) alias kerja dari rumah. Jalan tol tersebut kini hanya dilewati mereka yang terpaksa tetap ke tempat kerja dan sesekali truk pengangkut barang.
Menurut data Asosiasi Tol Indonesia (ATI), lalu lintas harian rata-rata (LHR) seluruh jalan tol turun turun signifikan pada Maret, berkisar antara 40 hingga 60 persen. Untuk Jabodetabek, jumlah kendaraan yang melintas pada akhir Maret hanya tercatat sebanyak 1,06 juta, padahal di awal Februari berada di angka 3,19 juta.
Hal yang sama terjadi pada ruas Tol Trans Jawa yang pada Februari masih mencatat LHR sebanyak 1,25 juta kendaraan menjadi hanya 840 ribu pada Maret.
"Beda daerah, beda-beda [penurunannya]. Karena mereka juga menyikapinya beda-beda. Di Jatim ada yang sudah turun di bawah 50 persen," kata anggota Asosiasi Tol Indonesia (ATI) Faturahman kepada reporter Tirto, Kamis (9/4/2020).
Sepinya lalu lintas semakin terasa pada tol-tol yang baru diresmikan Presiden Joko Widodo, sebab biasanya itu terletak di kawasan yang tergolong belum ramai dan belum terintegrasi dengan ruas lain. Contohnya Trans Sumatera.
"Mereka sebenarnya tanpa di-PSBB-kan (Pembatasan Sosial Berskala Besar) sekarang traffic-nya sudah turun," sambung dia.
Faturahman khawatir penurunan lalu lintas jalan tol ini masih akan terus berlanjut seiring dengan akan semakin banyaknya daerah yang menerapkan PSBB. "Ini data sebelum berlaku (PSBB)," katanya.
Masih Perlu Dikebut?
Di tengah situasi ini, pemerintah ternyata belum mau menghentikan sementara proyek-proyek yang tengah berjalan. Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR Hedy Rahadian mengatakan proyek "jalan tol lanjut terus."
Meski demikian, ia menegaskan kalau PUPR telah siap merealokasi anggaran yang jumlahnya sebesar Rp8 triliun untuk menanggulangi pandemi.
Bagi Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), proyek-proyek tol bisa ditunda dan uang untuk itu biasa dipakai untuk penanggulangan COVID-19.
Ada beberapa hal yang menjadi dasar pemikiran tersebut. Pertama, menghentikan proyek berarti melindungi pekerja. "Ketika banyak perkantoran diliburkan, tidak boleh ada standar ganda untuk pekerja konstruksi, apalagi yang berada di luar ruangan," katanya kepada reporter Tirto.
Kedua, infrastrukur yang dipaksakan dibangun tak akan bisa dimanfaatkan maksimal di tengah perlambatan ekonomi imbas pandemi. Bila pemanfaatannya tak optimal, tentu pemasukan juga jadi minim dan bisa bikin perusahaan yang jadi operator malah merugi. "Jika infrastruktur dipaksakan, maka utilitas pemanfaatan infrastruktur akan sangat rendah," tegasnya.
Dasar ketiga adalah perkara anggaran. Baik pembangunan infrastruktur maupun program penanggulangan COVID-19 butuh anggaran yang besar, sementara di sisi lain sumber daya yang tersedia terbatas. Pemerintah harus berani menentukan mana anggaran yang perlu diprioritaskan.
"Sebaiknya alokasi dana infrastruktur terutama dari APBN digunakan untuk keperluan penanganan COVID-19. Masih butuh pembelian alat kesehatan, APD, dan insentif tenaga medis. Itu lebih bijak saya kira," katanya.
Senada dengan Bhima, analisis kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah berpandangan pembangunan tol yang dipaksakan malah bisa berakibat buruk pada keberlanjutan ekonomi nasional.
Selain itu, risiko juga akan ditanggung pelaku usaha. Dengan tingkat pemanfaatan yang rendah, operator jalan tol akan sulit mencapai target pendapatan serta sulit mengimbangi beban operasional.
"Pembangunan ini mau enggak mau kita memikirkan tidak saja mobilitas tapi tingkat pendapatannya. Kita untungnya berapa dari pembangunan itu? Jangan main bangun-bangun saja. Kan, kodisinya sedang tidak baik," kata Trubus.
Namun pendapat berbeda disampaikan anggota Asosiasi Tol Indonesia (ATI) Faturahman. "Jalan tol, kan, bangunnya enggak cepat," katanya. Menurutnya, jalan tol itu adalah bisnis infrastruktur yang memang akan membawa untung dalam jangka panjang. Tol juga bisa langsung digunakan saat pandemi berakhir, dan itu dapat berpengaruh besar untuk membangkitkan kembali denyut ekonomi.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino