tirto.id - Upaya pemerintah menekan defisit transaksi berjalan melalui program mandatori biodiesel 20 persen untuk solar (B20) mengalami kendala. Salah satunya datang dari Asosiasi Pemilik Pelayaran Nasional Indonesia (INSA) yang meminta pelaksanaan mandatori B20 ditunda, padahal program ini telah berjalan sejak 1 September 2018.
Permohonan disampaikan INSA melalui surat yang ditujukan kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Berdasarkan surat yang beredar di kalangan wartawan, setidaknya ada 9 alasan yang membuat INSA meminta penundaan mandatori B20. Beberapa di antaranya karena kandungan Fatty Acid Methyl Eter (FAME) pada BBM B20 akan membawa kotoran/lumpur ke saringan/filter dan berakibat seringnya penggantian fuel filter dan meningkatkan ongkos pemakaian.
INSA juga keberatan lantaran BBM B20 tidak dapat disimpan dalam tangki terbuka karena akan menyerap/sensitif pada kelembapan dan mempercepat pertumbuhan bakteri. Selain itu, pemakaian BBM B20 akan mengurangi tenaga dan mengakibatkan penambahan penggunaan BBM untuk jarak tempuh yang sama.
Jika pemakaian BBM B20 pada industri pelayaran dipaksakan, diperlukan investasi biaya awal seperti pembersihan tangki, pipa, dan sistem BBM dan pemeliharaan sistem penyimpanan B20 di kapal.
Namun demikian, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution balik mempertanyakan alasan yang disampaikan INSA. Sebab, kata Darmin, kapal milik TNI dan truk besar pengangkut barang saja sudah bersedia menggunakan BBM B20 sebagai bahan bakar.
“Memangnya [mesin mereka] lebih sensitif? Jangan gitu lah. Kalau enggak mau, bilang saja enggak mau. Nanti biar kami cek, diuji,” kata Darmin di kantornya, Jakarta, Jumat (9/11) akhir pekan lalu.
Sikap Darmin yang tidak mau berkompromi cukup beralasan. Sejak perekonomian global bergejolak dan impor Indonesia yang lebih besar ketimbang ekspornya, pemerintah mengupayakan berbagai cara untuk menekan defisit transaksi berjalan. Salah satunya mengeluarkan kebijakan mandatori B20.
Pemerintah berharap kebijakan mandatori B20 ini segera menurunkan impor, khususnya BBM jenis solar yang selama ini cukup besar. Targetnya adalah neraca perdagangan migas dapat tercatat positif pada akhir 2018.
Namun mengacu pada data terbaru yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI), defisit perdagangan migas masih menjadi penyebab dari pembengkakan defisit transaksi berjalan di triwulan III 2018. Nilai defisit pada triwulan III 2018 tercatat sebesar 8,8 miliar dolar AS atau setara dengan 3,37 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto).
“Peningkatan kinerja neraca perdagangan barang, terutama dipengaruhi meningkatnya defisit neraca perdagangan migas. Sementara peningkatan surplus neraca perdagangan barang nonmigas relatif terbatas,” kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman melalui keterangan tertulisnya.
Agusman menyebutkan peningkatan defisit neraca perdagangan migas disebabkan adanya peningkatan impor minyak di tengah kenaikan harga minyak dunia.
Mandatori B20 Belum Optimal
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai pembengkakan defisit transaksi berjalan itu masih dipengaruhi implementasi program B20 yang belum maksimal. Ia mengatakan produksi B20 acap terkendala faktor teknis di lapangan, seperti penyaluran bahan campuran B20 yang dinamakan FAME.
“Saya percaya kebijakan ini bisa mengurangi impor. Tapi memang selama ini masih mentok di implementasi dan kesiapan dari user. Mungkin untuk 1-2 tahun, dari penerapan yang sudah ada, belum bisa secara efektif menekan defisit transaksi berjalan,” kata Bhima kepada reporter Tirto, pada Senin (12/11/2018).
Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Ia melihat penerapan mandatori B20 di lapangan masih dievaluasi. Fabby menyebutkan efek dari kebijakan B20 ini memang tak bisa langsung diperoleh dalam sekejap, khususnya dalam menekan defisit transaksi berjalan.
Karena itu, Fabby mengimbau pemerintah terus memperbarui informasi kepada masyarakat terkait angka penurunan impor solar. Dari pembaruan itu, kata Fabby, dapat diketahui korelasi pelaksanaan kebijakan dengan tujuan yang hendak dicapai.
Fabby mengatakan pemerintah juga semestinya bisa lebih tanggap jika ada permintaan sebagaimana dilayangkan INSA. Meski tak harus mengabulkan permohonan INSA, tapi Fabby menilai kementerian/lembaga terkait harus segera merespons isi surat tersebut.
“Saya sendiri belum melihat ada tim khusus yang bergerak cepat untuk koordinasi apabila ada hal semacam ini [minta penundaan]. Ini yang perlu jadi catatan. Saya kira pemerintah harus cukup responsif terhadap permintaan,” kata Fabby.
Artinya, pemerintah masih perlu fleksibel dalam menanggapi permintaan sebagaimana disuarakan INSA. Pelaksanaan mandatori B20 memang harus terus jalan. Namun, tujuan untuk menekan defisit transaksi berjalan sepertinya akan sering terkendala apabila pemerintah tidak cepat tanggap terhadap keluhan yang muncul.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz