tirto.id - Sebagian politikus yang unggul dalam survei Pilpres 2024 berasal dari luar partai politik alias bukan kader. Salah satu survei yang dimaksud dikeluarkan oleh Saiful Mujani Research Center (SMRC) pada medio Februari 2022 khusus untuk Jawa Barat. Jabar dipilih karena merupakan provinsi dengan pemilih terbanyak (kurang lebih 33 juta).
Hasilnya, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Gubernur Jabar Ridwan Kamil, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bersaing ketat sebagai calon presiden. Anies paling unggul setelah dipilih 17 persen dari 801 responden. Di bawahnya ada Prabowo dengan 16,8 persen, kemudian RK 16,5 persen, dan Ganjar 14,9 persen.
Satu perbedaan paling mencolok di antara mereka adalah terkait hubungan dengan partai. Prabowo dan Ganjar adalah tokoh partai, sementara Anies dan RK bukan.
Meskipun tokoh partai, Prabowo tidak pernah merasakan jadi pemimpin cabang, pimpinan daerah, atau struktural Partai Gerindra selain ketua umum–konsep umum tentang kader yang ditempa dari bawah. Dia sempat ada di Partai Golkar, tapi hanya mendaftar sebagai calon presiden dalam konvensi tahun 2004.
Singkatnya, Prabowo yang malang melintang di dunia militer puluhan tahun memilih melewati jalan pintas ketika masuk ke jalur politik dengan langsung mencalonkan diri sebagai calon presiden dan kelak membentuk partai baru.
Sementara Ganjar memang termasuk yang sudah melewati serangkaian proses kaderisasi sebelum akhirnya populer sebagai calon presiden. Dia pernah duduk di bangku DPR sejak 2004 hingga 2013. Namun posisi itu awalnya dia dapat bukan dari kemenangan di pemilu, melainkan pergantian antar waktu (PAW) karena kader PDIP yang lolos ditugaskan di tempat lain.
Dia berhasil menjadi Gubernur Jateng pada 2013, tapi itu tidak terlalu mengherankan karena sejak awal provinsi itu memang basis tradisional PDIP.
Dibanding Ganjar, Puan Maharani–yang merupakan anak pemimpin PDIP Megawati Sukarnoputri–sebenarnya punya rekam jejak yang lebih mentereng. Sama seperti Ganjar, dia tidak memulai dari bawah, tapi pernah menempati beragam posisi struktural di partai, menjadi menteri pada periode pertama Presiden Joko Widodo, dan kemudian Ketua DPR.
Beberapa pihak menduga Puan adalah sosok yang diproyeksikan menjadi calon presiden. Namun, elektabilitasnya dari survei ke survei tidak juga membaik.
Tokoh-tokoh partai semacam Puan–yang tidak begitu dipercaya publik–kemudian membuat banyak partai akhirnya mencari alternatif lain. Ini bukan masalah di PDIP dan Gerindra saja–yang sulit mencari tokoh pengganti Prabowo–tapi juga hampir semua partai. PAN, misalnya, tidak lagi ngotot menonjolkan nama Zulkifli Hasan untuk menjadi calon presiden, tetapi justru menilai RK adalah sosok yang cocok untuk “berada di lingkungan PAN.”
Sedangkan Anies sempat diteriaki “presiden!” ketika berkunjung ke kantor PPP di Yogyakarta. Lama sekali PPP benar-benar tak punya calon untuk berpeluang besar jadi presiden. Anies kini jadi pilihan yang paling memungkinkan.
Partai-partai, ringkasnya, mulai mendekati mereka yang populer agar bisa diusung sebagai calon kontestan.
Gagal Kaderisasi demi Kemenangan?
Fenomena di atas sebenarnya sekadar membuktikan bahwa tidak banyak partai punya kaderisasi yang ideal dan tertata rapi. Tidak semuanya juga yang menempa kader sendiri kemudian memberikan mereka cukup waktu untuk membuktikan kecakapan sebelum diusung ke tingkat yang lebih tinggi.
PDIP dengan Jokowi misalnya. Setelah Jokowi dibawa ke dari Solo ke Jakarta, targetnya adalah mantan Wali Kota Solo itu menyelesaikan satu periode mengurus ibu kota. Namun belum rampung lima tahun dia sudah dijadikan calon presiden atas dasar satu hal besar: popularitas, yang bahkan lebih tinggi dari Megawati.
Fenomena Jokowi membuktikan politik di Indonesia pasca Orde Baru telah menjelma menjadi ajang pencitraan belaka, bahkan dalam derajat tertentu serupa pengultusan.
“Dua pemilu (presiden) belakangan membuktikan itu. Jokowi dipuja karena kepribadiannya sebagai jebolan tukang kayu yang merakyat dan seorang teknokrat, sedangkan Prabowo dipuja karena retorika antiasing yang lawas dan karakter kepemimpinan neo-otoritariannya,” catat Dias Pabyantara dan Radityo Dharmaputra dalam artikel berjudul Elections in Indonesia: Personality Cult and Majoritarian Conservatism (2019).
Keberadaan keduanya menghasilkan dikotomi dukungan yang tidak lagi berdasarkan program dan rencana nyata. Hal ini termanifestasikan lewat istilah cebong (sebutan bagi pendukung fanatik Jokowi) dan kampret (pendukung fanatik Prabowo).
Satu hal menonjol dari dari situasi ini adalah relatif tidak ada tokoh partai lain yang mampu merangsek naik menandingi dua nama tersebut, bahkan sampai sekarang. Dan partai termasuk pihak yang menghasilkan situasi itu.
Laporan yang disusun Luky Sandra Amalia dan Sandy Ikfal Rahardjo dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berjudulPenyelenggaraan dan Sistem Pemilu Legislatif: Upaya Peningkatan Kualitas Keterwakilan dan Akuntabilitas Wakil Rakyat (2018) menyebut bahwa kaderisasi yang belum berjalan menimbulkan sikap pragmatis partai untuk mengakomodasi calon dari eksternal yang punya popularitas.
Masalah ini bukan hanya di tataran pemilu presiden, terkadang pemilu legislatif pun memakai formulasi yang sama. Hal ini tampak jelas ketika partai merekrut dan memilih artis-artis yang dianggap punya kans menang lebih banyak daripada kader sendiri.
“Memang harus diakui bahwa pemilu langsung dengan mekanisme suara terbanyak saat ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tetapi jika partai bersedia meluangkan waktunya dari sekarang untuk merawat sumber rekrutmennya dan melakukan fungsi kaderisasi, maka partai tidak perlu kedodoran tiap mendekati masa pendaftaran caleg setiap lima tahun sekali,” catat Luky dan Sandy.
Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh LIPI, responden yang menjawab sistem kaderisasi partai politik buruk mencapai angka 77% dan ada 20% yang menilai kaderisasi partai “sangat buruk”. Salah satu indikasi kegagalan kaderisasi ini adalah banyaknya sistem “loncat partai” dari para politikus “sehingga loyalitas politikus tersebut rendah terhadap nilai, norma, dan ideologi partai yang diyakini dapat membangun Indonesia lebih baik ke depan.”
“Kaderisasi partai yang belum maksimal membuat partai kelabakan menghadapi sistem pemilu PR (presidensial)- terbuka dengan mekanisme suara terbanyak tersebut. Idealnya, dalam sistem seperti ini partai politik menempatkan kader terbaiknya yang mengakar di setiap dapil untuk memenangkan suara terbanyak. Alih-alih memperbaiki kaderisasinya, partai malah mencomot calon di luar kader partainya,” tulis Luky dan Sandy lagi.
Salah satu partai yang kaderisasinya paling kuat adalah PKS. Jurnalis sekaligus anggota KAMMI Ahmad Jilul Qur'ani Farid menulis untuk Tirto bagaimana PKS berhasil menerapkan pembinaan (tarbiyah) dalam proses kaderisasi sehingga menciptakan “basis kader yang kokoh dan pemilih loyal.”
Jenjang kaderisasi PKS dimulai dari pemula, madya, dewasa, kemudian ahli. Beda dengan partai lain yang memungkinkan pihak luar atau kader muda melangkahi pendahulunya, di PKS hal itu tak dimungkinkan.
Namun sistem seperti ini nyatanya belum pernah mengantarkan satu pun kader PKS menjadi kandidat presiden apalagi memenangkannya, selain menurut Ahmad memungkinkan praktik oligarkis dan senioritas. Dalam salah satu survei SMRC, pemilih berayun PKS termasuk yang paling sedikit, yakni 20% dan kedekatan dengan pemilih ada di urutan ketiga dengan 11,7%.
Tak heran akhirnya partai berlomba-lomba mencari orang dari luar untuk bisa bersaing dalam pemilu.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino