tirto.id - Pada Januari 1871 seorang istri pekerja tambang meminta tolong pada penjahit di Reno, Nevada bernama Jacob Davis untuk membuatkan celana yang kuat bagi suaminya. Davis bersedia. Menggunakan kain putih tebal bernama cotton duck dan paku keling alias rivet, celana yang kuat dan tahan lama yang kemudian dikenal sebagai “celana jin” akhirnya lahir.
Tak lama selepas kelahiran jin, Davis, beserta rekan bisnisnya bernama Levi Strauss, akhirnya mematenkan dan memproduksi secara besar-besaran produk ini. Dengan merek Levi Strauss & Co alias Levi’s, celana jin legendaris “501” lahir dan menjadi simbol fesyen yang digemari.
Pada 1967 Levi’s melebarkan sayap produknya dengan memproduksi jaket berbahan denim bernama Trucker Jacket.
Sejak saat itu tidak ada perubahan berarti dari produk-produk buatan Levi’s. Namun, 50 tahun berselang, sentuhan Google sukses mengubahnya. Oleh Google, Trucker Jacket tak hanya soal gaya berbusana atau menghangatkan tubuh, tetapi bertransformasi menjadi jaket pintar yang sanggup menjalankan perintah digital.
Sebagaimana dilansir blog resmi Levi’s, jaket hasil kerja sama dengan Google yang diberi nama “Levi’s Trucker Jacket with Jacquard” sanggup menjadi perantara untuk berinteraksi dengan Google Assistant, menampilkan notifikasi SMS atau telepon, memindahkan lagu yang tengah diputar, hingga berfungsi membuka aplikasi kamera pada ponsel pintar.
Erin Griffith, jurnalis teknologi New York Times, menyebut bahwa apa yang disuguhkan versi canggih dari jaket denim berharga $350 ini sebagai sesuatu yang “canggung, kegunaannya masih dipertanyakan, tetapi seru.”
Jacquard lah yang membuat Trucker Jacket sanggup bertransformasi menjadi jaket pintar. Ia adalah teknologi buatan Google berbahan kain sensitif peka sentuhan dengan tambahan metal yang dikoneksikan dengan sirkuit komputer berukuran sangat kecil yang terintegrasi dengan bluetooth.
Kini bukan hanya jaket yang pintar, tetapi juga ransel, kaos, kacamata, gelang, hingga jam tangan. Perubahan dari hanya sebagai produk fesyen menjadi perangkat teknologi dikenal dengan sebutan wearable device.
Sebenarnya wearable device bukanlah barang baru. Kelahirannya, menurut Griffith, paling tidak dapat ditarik pada 2013 tatkala Sergey Brin, pendiri Google, berbicara di TED dan mencela bagaimana orang-orang menatap layar ponsel pintar mereka.
Di saat Brin berbicara soal bagaimana interaksi pengguna dan ponsel dilakukan, Google, melalui Google X, diketahui tengah mengembangkan perangkat kacamata dengan lensa yang dapat menampilkan layar interaksi. Lantas, di bulan April 2013, melalui konferensi Google I/O, perusahaan itu memperkenalkan Google Glass Explorer Edition, kacamata pintar yang sanggup mengubah bagaimana manusia berinteraksi dengan ponsel.
BI Intelligence, sebagaimana diberitakan Times, pernah menyebut bahwa Google Glass akan menjadi produk yang sukses besar. Mereka menyebut, pada 2018, Glass akan menjadi bisnis Google bernilai $11 miliar. Dan kemunculan Google Glass memicu perusahaan lain menciptakan wearable device-nya sendiri.
Sayangnya, tatkala tahun 2018 terlewati, prediksi BI Intelligence hancur. Jangankan $11 miliar, bahkan hari ini tidak diketahui di mana Google Glass berada.
Fitbit, yang memperkenalkan gelang dan jam tangan pintar, juga mengalami nasib hampir serupa. Kapitalisasi pasar yang bernilai $10 miliar di tahun 2015 terjun menjadi hanya $3,7 miliar hari ini.
Pertanyaannya, mengapa wearable device tidak sukses? Dan sudah tahu tidak sukses, mengapa Google hingga Apple masih merilis varian baru?
Privasi dan “Apa Gunanya?”
Ketidaksuksesan wearable device yang terlihat hari ini dapat ditarik pada apa yang menimpa Google Glass. Rose Eveleth, jurnalis teknologi Wired, menyebut bahwa kacamata pintar ini sebagai “perangkat gak jelas yang dibuat si kutu buku yang tak pernah diinginkan siapapun.”
Sebelum Google Glass lahir, memotret atau merekam gambar merupakan pekerjaan yang membutuhkan upaya khusus. Seseorang yang hendak memotret atau merekam harus menggunakan kamera dan mengarahkan pada objek yang dikehendakinya. Google Glass menghilangkan upaya khusus ini karena si kacamata memiliki built-in camera yang terhubung secara real-time ke server Google.
Eveleth menegaskan Google Glass membuat orang-orang takut. Sementara itu, Timothy Toohey, pengacara spesialis masalah privasi, sebagaimana dikatakannya pada Times, menyebut bahwa “Google Glass akan menjadi penyebab utama keributan (jika perangkat ini benar-benar hadir di masyarakat.”
Sementara Karen Stevenson, juga pengacara soal privasi, menyatakan bahwa kehadiran Glass “membuat semua warga menjadi paparazi berikut korban paparazi.”
Atas ketakutan terganggunya privasi oleh Glass, Roberto Yus, peneliti asal University of Zaragoza, bahkan menciptakan “penangkal” berupa teknologi yang memanfaatkan peer-to-peer communication channel bernama FaceBlock. Dan ketakutan ini pun berlanjut dengan kecaman dan pemblokiran pada Glass.
Perangkat yang menurut Google diciptakan untuk “memberdayakan penggunanya” ini pun gagal di pasaran.
Masalah privasi ini kemudian menggelayuti hampir setiap wearable device yang ada. Pada gelang pintar, jam tangan pintar, kaos pintar, hingga jaket pintar tersemat beragam sensor. Penggunanya, jika dilihat dari sudut perusahaan pencipta, terlihat sebagai sumur yang menghasilkan data bagi mereka. Via beragam perangkat pintar itu, berapa langkah kaki yang telah dilalui, seberapa cepat detak jantung, hingga ke mana penggunanya pergi sangat mudah dideteksi.
Selain privasi, kegagalan wearable device menjadi barang mainstream terjadi karena perangkat ini tidak memiliki guna yang benar-benar jelas. Sebagaimana diwartakan Reuters, Euan Ashley, peneliti University of California, melalui penelitiannya pada 60 orang dewasa yang menggunakan tujuh gelang/jam tangan pintar (Apple Watch, Basis Peak, Fitbit Surge, Microsoft Band, MIO Alpha 2, PulseOn, dan Samsung Gear S2), menemukan bahwa perangkat-perangkat tersebut tidak benar-benar memberikan manfaat bagi penggunanya.
Menurut Ashley, rata-rata perangkat itu memiliki rasio kesalahan pengukuran detak jantung hingga 5 persen. Sementara itu rasio kesalahan dalam pengukuran kalori rata-rata berada lebih dari 25 persen. Maka, membeli perangkat-perangkat ini dengan alasan kesehatan tidak benar-benar dapat membantu, bahkan ketidakakuratannya dapat membahayakan.
Editor: Ivan Aulia Ahsan