tirto.id - Sehat itu mahal, sepertinya benar terasa meski kini sudah eranya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dua bulan sudah tarif anyar BPJS Kesehatan diberlakukan, ribuan orang merespons dengan skema turun kelas.
Pekan lalu, Wiwi (57) menelepon nomor kontak 1500400. Ia menekan tombol bantuan di angka dua dan berbicara dengan operator. Setelah membacakan nomor kepesertaan BPJS Kesehatan miliknya, Wiwi meminta perubahan data peserta.
“Saya mau pindah kelas, turun ke kelas tiga.”
“Status kepesertaan ibu dari kelas dua ke kelas tiga sudah diubah, dan akan berlaku di bulan berikutnya,” demikian operator memproses laporan Wiwi.
Ia terpaksa memangkas plafon JKN lantaran anaknya berat membayar tarif iuran baru. Wiwi dan suaminya sudah tidak bekerja. Segala kebutuhan mereka ditanggung oleh sang sulung. Sementara si sulung masih membiayai satu adiknya yang sebentar lagi lulus sekolah menengah atas.
“Awalnya bayar bertiga cuma Rp150-an ribu. Kemarin (Januari 2020) bayar Rp330 ribu, berasa banget, gaji enggak naik tapi bebannya nambah,” ungkap Tyas, (26), anak sulung Wiwi.
Setiap bulan Tyas membayar tagihan milik orangtua dan sang adik, sementara iuran BPJS miliknya sudah ditanggung perusahaan tempatnya bekerja. Selain BPJS, ia masih memiliki beban finansial lain, seperti membayar uang sekolah sang adik dan kebutuhan harian keluarga.
Keluarga Wiwi bukanlah satu-satunya peserta JKN yang memutuskan turun kelas sejak pemberlakuan Peraturan presiden Nomor 75 Tahun 2019.
Tirto mendapati Ratu Fikri Rizki (27), seorang karyawati swasta di daerah Serang, Banten, mengambil keputusan sama.
Ia hendak mengganti data kepesertaan dari semula di kelas satu menjadi kelas tiga. Sayang, persyaratan ini hanya berlaku bagi peserta BPJS yang sudah memiliki masa anggota satu tahun. Sementara masa anggota miliknya baru mencapai sepuluh bulan.
“Maret nanti sudah rencana turun ke kelas tiga. Ya ampun! Duit gue dong Rp160 ribu sebulan buat BPJS doang,” keluhnya.
Fikri sempat pernah ingin menutup akun BPJS miliknya dan beralih ke asuransi swasta. Menurutnya, BPJS memiliki banyak kekurangan dalam perlindungan kesehatan dibanding asuransi swasta. Namun, niatnya tak bisa terealisasi sebab BPJS berlaku seumur hidup.
Jalan paling meringankan baginya lewat menurunkan standar kelas. Tapi, BPJS memiliki minimum masa keanggotaan sebagai syarat, selain perubahan kelas harus diikuti oleh seluruh anggota keluarga. Kemudian, perubahan pada bulan berjalan akan berlaku pada bulan selanjutnya, dan permohonan harus diajukan sendiri oleh peserta.
Aktivasi perubahan bisa dilakukan melalui aplikasi JKN, nomor layanan 1500400, kantor cabang terdekat, mal pelayanan publik, atau mobile costumer service (MCS). Rincian perubahan biaya yang telah disahkan meliputi Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu per bulan untuk Kelas I, lalu Kelas II dari Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu per bulan, dan Kelas III dari Rp25 ribu menjadi Rp42 ribu per bulan.
Aturan itu tertuang dalam Pasal 34 Peraturan Presiden 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Kenaikan iuran BPJS hingga 100 persen sudah dimulai sejak 1 Januari 2020. Ia berlaku bagi Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja.
Tak Ada Solusi
“Saya tak punya rentang kendali untuk memaksa," demikian Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto merespons kenaikan iuran BPJS Kesehatan dalam rapat bersama komisi IX DPR pada 20 Januari 2020).
Menteri Terawan mengaku ikut kecewa dan sedih atas keputusan ini. Namun, ia tak dapat mengubah keadaan lantaran wewenang penyesuaian tarif berada di BPJS Kesehatan, yang bertanggung jawab kepada presiden.
Padahal, pada rapat akhir tahun 2019, Kemenkes dan DPR memutuskan tak mengerek tarif JKN. Solusi saat itu adalah mengambil subsidi kelas dari surplus iuran di kelas lain. Namun, iuran BPJS Kesehatan Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas III tetap naik.
“Data yang kami pegang dari teman-teman BPJS hingga kini sudah ada sekitar 800 ribu orang yang turun,” ungkap Saleh Partaonan Daulay, anggota Komisi IX, kepada Tirto.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Annas Ma'aruf berkata angka itu merupakan pergerakan peserta yang turun ke kelas tiga. Ia berkata ada pula peserta BPJS Kesehatan yang justru melakukan kenaikan kelas, meski jumlahnya tidak sampai lima ribu orang.
"Jadi secara faktual jumlahnya terus bergerak, tapi tidak semua turun karena menyesuaikan kemampuan ekonomi juga," katanya kepada Tirto.
Tapi, menurut Daulay, kenaikan iuran tidak sebanding fasilitas BPJS Kesehatan untuk peserta yang tidak mengalami perbaikan.
Problem klasiknya terkait diskriminasi dan keterbatasan akses obat. Banyak pasien BPJS melaporkan perlakuan kasar yang diterima mereka oleh tenaga kesehatan. Perlakuan berbeda ini bila mereka memakai pembayaran mandiri atau asuransi mandiri.
BPJS tidak menanggung semua obat yang dibutuhkan pasien. Tak bisa dipungkiri BPJS telah membantu banyak pasien, tapi jaminan kesehatan ini masih punya celah, apalagi dengan kenaikan iuran yang gila-gilaan.
“Kami (Komisi IX) sudah memanggil kepala daerah dan perwakilan rumah sakit. Penjelasannya, fasilitas tidak berbanding lurus dengan kualitas layanan,” ujar Daulay.
Layakkah Mengandalkan BPJS Kesehatan?
Di tengah kontroversi kenaikan iuran, terdengar suara sumbang soal insentif dan fasilitas asuransi swasta yang didapatkan jajaran staf BPJS Kesehatan.
Kabar ini diembuskan oleh Komisi IX alias Komisi Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Dewi Asmara, Wakil Ketua Komisi IX, mengatakan anggaran insentif direksi dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan BPJS Kesehatan 2019 mencapai Rp32,88 miliar.
Jika dibagi, direksi BPJS Kesehatan menikmati insentif Rp342,56 juta per bulan. Selain itu, dewan pengawas BPJS Kesehatan menerima alokasi dana insentif Rp211,14 juta per orang setiap bulan.
“Kalau kami berbicara mengenai suatu badan yang rugi, mbok ya ada hati mengadakan penghematan,” ungkap Dewi, dilansir dariCNN Indonesia.
Kemudian, lewat salah satu unggahan di media sosial pada 2 Januari 2020), anggota Komisi IX Saleh Partaonan Daulay mengemukakan staf BPJS Kesehatan difasilitasi asuransi lain, yang lebih mumpuni ketimbang BPJS. Fakta itu ia dapatkan dari informasi seorang kepala bagian rumah sakit di Riau.
“Artinya, mereka sendiri merasa tidak cukup kalau hanya dilindungi BPJS Kesehatan,” tulis Daulay.
Setelah mendengar informasi itu, Daulay mencari jejak digital penggunaan asuransi lain oleh staf BPJS. Benar saja: mereka dilindungi asuransi Inhealth.
Tirto mengkonfirmasi kepada salah satu pegawai BPJS Kesehatan yang dirahasiakan identitasnya.
Ia mengamini selama ini para pegawai dibekali asuransi Mandiri Inhealth. Jaminan kesehatan unit bisnis dari PT Askes (Persero) ini bersifat komersial dan dipakai untuk perusahaan swasta, BUMN, dan institusi pemerintahan.
Jika melakukan pemeriksaan kesehatan, katanya, ia lebih sering memakai asuransi Mandiri Inhealth ketimbang BPJS Kesehatan.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Annas Ma'aruf membantah mengenai kebijakan insentif. Anggaran itu memang diatur khusus dalam peraturan presiden, tapi sejak BPJS berdiri pada 2014, mereka belum mendapatkan insentif tersebut.
Sementara masalah asuransi lain, Iqbal berkata fasilitas itu sudah diberikan kepada karyawan jauh sebelum BPJS menjadi sistem JKN.
"Kami harus lihat sejarahnya, BPJS itu transformasi dari PT Askes Persero (pada 2014). Jaminan itu (asuransi lain) sudah ada sebelum BPJS berdiri. Jadi apa masalahnya?"
Sebelumnya, kebijakan insentif kepada staf BPJS diatur dalam Peraturan Presiden 110 Tahun 2013 terkait Gaji dan Upah dan Manfaat Tambahan Lainnya. Namun, Presiden Joko Widodo baru saja mengeluarkan beleid baru Perpres 20 Nomor 25 Tahun 2020 soal Tata Kelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Jika memang benar staf BPJS Kesehatan mendapatkan insentif dan perlindungan asuransi lain, rasanya sungguh tak elok mereka tutup mata terkait kenaikan iuran dan minimnya fasilitas yang diberikan ke peserta BPJS.
Editor: Windu Jusuf