Menuju konten utama

ITS: Palangkaraya Bukan Kota Marina Tak Cocok Jadi Ibukota

Menurut hasil kajian ITS, Palangkaraya tidak layak dijadikan ibukota mengingat letaknya yang berada di pedalaman dan tak cocok jadi ibukota marina.

ITS: Palangkaraya Bukan Kota Marina Tak Cocok Jadi Ibukota
Prof Johan Silas (kiri) membeberkan kajiannya tentang pemindahan ibukota terkait rencana pemindahan Jakarta ke daerah lain, di Kampus ITS, Surabaya. FOTO/Doc. ITS.

tirto.id - Wacana pemindahan ibukota dari Jakarta ke kota lain di Indonesia sempat menjadi bahan perbincangan. Pemerintah sempat menyebut Palangkaraya sebagai calon ibukota yang baru, namun hal ini masih menuai polemik.

Hasil kajian terbaru Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya menyebutkan Palangkaraya, Kalimantan Tengah tidak layak dijadikan ibukota mengingat letaknya yang berada di pedalaman dan tak cocok jadi ibukota marina. Selain itu, Palangkaraya tidak dalam posisi di wilayah tengah Indonesia, untuk mengatasi ketimpangan Indonesia bagian barat dan timur.

“Kajian yang dilakukan tim Geofisika ITS, titik tengah Indonesia berada di antara Kaltim dan Sulteng,” papar Rektor ITS, Prof Ir Joni Hermana dalam rilis tertulis yang diterima Tirto, Jumat (18/8/2017).

Dalam hasil kajiannya, ITS merilis 3 karakter kota yang layak dijadikan ibukota negara Indonesia di masa depan.

Menurut salah satu anggota tim kajian Prof Ir Johan Silas, karakter pertama, ibukota baru Indonesia adalah kota marina yang memanfaatkan potensi laut dan bukan pedalaman. “Kota marina maksudnya kota yang mencerminkan karakter yang kuat akan ciri negara kepulauan (archipelago capital city) atau negara maritim,” ujar pakar arsitektur ITS tersebut.

Karakteristik berikutnya, dikatakan Johan, kota tersebut mampu mengakomodasi kegiatan inti dan menyebarkan kegiatan pendukungnya mengikuti potensi masing-masing daerah. “Kemudian koneksi antara kota inti dan pendukung akan efisien dan efektif jika dilakukan dengan pemanfaatan berbasis iptek,” sambungnya.

Selain itu, untuk mengatasi ketimpangan Indonesia bagian barat dengan bagian timur, lokasi ibukota harus berada relatif di wilayah tengah Indonesia. Wilayah yang paling ideal, dikatakannya, yakni titik tengah di antara Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah.

Dikatakan Johan, kriteria lain pemilihan ibukota baru yang diusulkan ITS di antaranya adalah mempertimbangkan jalur fiber optic backbond nasional, pembatasan variansi kegiatan di dalam ibukota baru, serta mengubah ‘muka’ Indonesia dari Jawa based menjadi negara kepulauan.

Kajian tentang alasan kelayakan pemindahan ibukota dan kriteria ibukota yang sesuai untuk Indonesia di masa depan ini disampaikan oleh para pakar ITS mengingat Jakarta sudah tidak layak sebagai ibukota negara.

Menurut Rektor ITS Prof Ir Joni Hermana, dari segi penunjukan kota Jakarta sebagai ibukota di masa awal kemerdekaan, tidak melihat kondisi keamanan Jakarta sebagai ibukota negara.

Selain itu, pembangunan kota Jakarta bersifat konurbasi. ”Artinya, terjadi kecenderungan kota yang menyebabkan daerah sekitar bergantung ke Jakarta dan tereksploitasi,” jelas Joni.

Dalam perspektif negara kepulauan, lanjut Joni, ketimpangan pembangunan sangatlah terlihat. Tercatat 81 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Indonesia tahun 2015 dikuasai oleh Pulau Jawa dan Sumatera. Pembangunan di wilayah Indonesia bagian barat tersebut mengarah pada pembangunan berbasis ke daerah, bukan maritim.

“Padahal pemerintah Indonesia sekarang ingin mengembangkan pembangunan ekonomi berdasarkan kemaritiman sebagai sokogurunya,” ulas guru besar Teknik Lingkungan.

Selain itu, kondisi Jakarta memperlihatkan tingkat perkembangan kota yang mengkhawatirkan dan mengganggu kinerja pejabat tinggi dalam mengelola negara, misalnya saja masalah kemacetan.

“Di Jakarta bila Hari Buruh saja, itu sudah macet parah,” ungkap pakar arsitektur ITS, Johan.

Baca juga artikel terkait PEMINDAHAN IBUKOTA atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri