tirto.id - Permintaan Rizieq Shihab agar Gerindra, PAN, PKS dan PBB secepatnya membangun koalisi keumatan menjelang Pilpres 2019 mendapat sorotan. Direktur Populi Centre Usep S Ahyar menilai, koalisi keumatan yang diserukan imam besar Front Pembela Islam (FPI) itu berpotensi memperuncing segregasi dan konflik horizontal di kalangan masyarakat.
Hal ini, kata Usep, karena kata “umat” merupakan sebuah konsep yang menyimbolkan golongan tertentu, yakni Islam. Sehingga, jika benar-benar direalisasikan koalisi berdasarkan kata tersebut, maka akan menciptakan perpecahan di antara umat beragama. Baik di antara umat Islam yang berbeda pandangan politik, maupun dengan umat agama lain.
“Sentimen yang sudah menganga saat Pilgub DKI, bisa semakin melebar dengan koalisi umat di [Pilpres] 2019,” kata Usep kepada Tirto, Rabu (6/6/2018).
Lebih lanjut, Usep menilai, langkah semacam ini menunjukkan kebuntuan akal dan strategi dari PKS, PAN, PBB dan Gerindra sebagai partai yang tergabung dalam koalisi keumatan dalam meraih kekuasaan. Alhasil, cara-cara yang berpotensi merusak persatuan dan kesatuan bangsa pun mesti ditempuh.
“Walapun, menurut saya itu tidak mudah [meraih kekuasaan]. Karena berbeda dengan Jakarta. Lawan politiknya tidak seperti Ahok [Basuki Tjahaja Purnama] yang memang antitesa umat,” kata Usep.
Menurut Usep, Jokowi sebagai sosok atau calon yang kemungkinan besar menjadi lawan politik dari kandidat yang diajukan koalisi umat ini juga didukung partai dengan latar belakang keislaman, seperti PKB dan PPP.
Akan tetapi, kata Usep, kubu Jokowi perlu mengantisipasi kemungkinan penggunaan sentimen agama yang masif dari kubu koalisi umat. Menurutnya, cara yang terbaik adalah mengampanyekan komitmen persatuan dan kesatuan bangsa dan bukan bersikap reaksioner dengan memunculkan sentimen anti-umat Islam.
"Jangan menggunakan hukum untuk kriminalisasi ulama, misalnya. Lebih baik banyak memberikan langkah persatuan dan membuktikan kinerja," kata Usep.
Guna melalukan itu, kata Usep, Jokowi bisa menggunakan kinerja partai-partai pendukungnya saat ini yang berasal dari latar belakang yang beragam. Misalnya, kata dia, Jokowi bisa menggunakan PDIP, Nasdem dan Hanura untuk memberikan pengertian kepada golongan nasionalis. Sementara PPP dan PKB bisa digunakan untuk mendekati kalangan Islam, sedangkan Golkar, dengan sejarah panjangnya sebagai golongan karya, bisa kepada mereka yang berlatar belakang birokratis.
Senada dengan Usep, Sekretaris Badan Pelatihan dan Kaderisasi DPP PDIP, Eva Kusuma Sundari pun menyayangkan penggunaan terminologi “umat” sebagai sebuah bentuk koalisi politik. Karena, kata dia, politisasi agama di negara homogen atau heterogen tempatnya hanya menciptakan keburukan.
“Semua negara yang konflik saat ini adalah negara mayoritas muslim akibat politisasi agama," kata Eva kepada Tirto.
Oleh karena itu, Eva menyatakan, PDIP berkomitmen tetap berpegang pada tekad untuk memajukan politik berkeadaban. Sehingga demokrasi yang dihasilkan dari pemilu dapat berkualitas.
"Identitas politik bangsa sudah final. Jadi akan teguh mengajukan gagasan untuk memajukan kesejahteraan rakyat," kata Eva.
Anggota Komisi XI DPR ini pun menyatakan, partainya tidak akan menyikapi politik sentimen keagamaan ala koalisi umat dengan cara-cara yang reaksioner. Melainkan, "melalui pendidikan politik soal kewarganegaraan, bahwa Pancasila adalah inklusif."
Respons Gerindra
Wakil Sekjen DPP Gerindra, Andre Rosiade menyatakan koalisi umat dibentuk bukan untuk memperuncing segregasi di antara masyarakat, melainkan mewadahi aspirasi umat Islam yang selama ini kurang diperhatikan partai-partai lainnya.
Andre bahkan mengklaim, sebelum disampaikan Rizieq pun antara Gerindra, PKS dan PAN sudah membicarakan koalisi dan sedikit lagi mencapai kata sepakat. "Dengan dukungan ulama dan umat Islam, koalisi ini semakin kuat," kata Andre kepada Tirto.
Andre juga membantah sentimen agama menjadi satu-satunya senjata koalisi ini untuk meraih kemenangan di Pilpres 2019. Menurut dia, koalisi akan tetap berpegang pada kritik terhadap lima tahun berjalannya pemerintahan Jokowi.
Karena, menurut Andre, banyak hal yang tidak direalisasikan Jokowi selama menjabat sebagai presiden. Salah satunya terkait pengentasan kemiskinan, stabilisasi harga pokok dan ketimpangan sosial masyarakat. Tiga hal yang menurutnya, membuat masyarakat semakin sengsara.
"Kami mengapresiasi perihal infrastruktur, tapi ya harus dibangun dengan terukur. Jangan membuat masyarakat susah seperti sekarang," kata Andre.
Maka, kata Andre, tujuan utama dari koalisi umat adalah untuk memunculkan pemimpin Indonesia baru yang lebih berpihak pada rakyat dan tidak melupakan janji-janjinya.
Dalam hal ini, Andre pun membantah anggapan Usep bahwa koalisi Jokowi saat ini lebih susah dikalahkan daripada saat Pilgub DKI Jakarta. Menurutnya, komposisi partai pendukung Jokowi tetap sama dengan pendukung Ahok dan telah terbukti kalah.
"Pak Prabowo dengan dukungan umat Islam, ulama dan rakyat akan menjadi kekuatan yang bisa mengalahkan Jokowi," kata Andre.
Capres-Cawapres Versi PA 212 untuk Koalisi Umat
Amanat koalisi umat ini disampaikan Rizieq setelah Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) PA 212 di Cibubur, Jakarta, Selasa (29/5). Rizieq mengamanatkan untuk terus mendorong terealisasinya deklarasi terbuka koalisi keumatan Gerinda, PAN, PKS dan PBB sebelum deklarasi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).
''Dengan tujuan persatuan umat Islam yang sudah terbangun dalam spirit 212 tetap terjaga dengan baik sehingga akan berdampak pada kemenangan di Pilkada serentak 2018, Pileg dan Pilpres 2019," kata Ketua Umum PA 212, Slamet Ma'arif, dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Rabu (6/6/2018).
Pada rakernas tersebut, juga ditetapkan capres dan cawapres untuk diusung koalisi umat. Terdapat nama Rizieq sebagai capres. Selain itu, terdapat pula nama Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto; Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi; Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra; dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan.
Untuk nama cawapres, adalah Ahmad Heriyawan, Hidayat Nur Wahid, Yusril Ihza Mahendra, dan Anis Matta. Nama lainnya yakni Zulkifli Hasan, Eggi Sudjana, Bachtiar Nasir, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Abdul Aziz