Menuju konten utama

Isi Serat Wedhatama Pupuh Gambuh dan Terjemahannya

Pupuh Gambuh merupakan salah satu dari lima tembang yang terdapat dalam Serat Wedhatama. Simak isi Serat Wedhatama Pupuh Gambuh di artikel ini.

Isi Serat Wedhatama Pupuh Gambuh dan Terjemahannya
Salah Satu peserta dalam Kompetisi Bahasa dan Sastra Jawa 2022 untuk kategori alih aksara jawa yang digelar Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta di Taman Pintar, Senin (22/8/2022). ANTARA/HO-Dinas Kebudayaan Yogyakarta

tirto.id - Serat Wedhatama merupakan karya yang ditulis oleh Kanjeng Gusti Adipati Arya (KGPPA) Mangkunegara IV. Tembang dalam Serat Wedhatama tergolong sebagai karya sastra Jawa estetik tinggi.

Serat Wedhatama memuat sejumlah tembang macapat, yakni Pupuh Pangkur, Sinom, Pocung, Gambuh dan Kinanthi. Setiap tembang memiliki ketentuan tersendiri, termasuk baris yang wajib ada dalam setiap baitnya, jumlah suku kata yang sesuai untuk setiap baris, dan penekanan huruf vokal pada ujung baris.

Berkaitan dengan hal tersebut, Serat Wedhatama Pupuh Gambuh merupakan tembang yang paling panjang dibandingkan dengan empat yang lain. Serat Wedhatama Pupuh Gambuh memuat 35 bait dengan ketentuan guru gatra 5 baris. Sementara itu, guru wilangan dan guru lagu-nya terdiri dari: 7u, 10u, 12i, 8u, dan 8o.

Isi Serat Wedhatama Pupuh Gambuh dan Artinya

Zahra, dalam buku Macapat Tembang Jawa Indah dan Kaya Makna (2018), menjelaskan, pengertian Pupuh Gambuh berkaitan dengan kesesuaian atau kecocokan, terutama dalam konteks hubungan antara dua individu yang saling melengkapi.

Tembang Pupuh Gambuh mengisahkan tentang seseorang yang telah menemukan pasangan hidupnya. Dikisahkan bahwa mereka berdua merupakan jodoh yang cocok dan memutuskan untuk menjalin ikatan pernikahan.

Tembang Pupuh Gambuh juga menggambarkan harmoni dan sikap bijaksana dalam kehidupan. Sikap bijaksana di sini merujuk pada kemampuan untuk menempatkan segala sesuatu pada tempatnya dengan tepat.

Dikutip dari buku Prigel Bahasa Jawa Kanggo SMA/SMK Kelas XI (2014) oleh Gandung Widaryatmo, berikut isi Serat Wedhatama Pupuh Gambuh pada 1-35.

Pada 1

Samengko ingsun tutur,

sembah catur supaya lumuntur,

dihin raga, cipta jiwa, rasa, kaki,

ing kono lamun tinemu,

tandha nugrahing Manon.

Artinya:

Kelak saya bertutur,

empat macam sembah supaya dilestarikan,

antara lain sembah raga, cipta, jiwa, rasa, anakku!

disanalah akan bertemu,

tanda anugrah Tuhan.

Pada 2

Sembah raga punika,

pakartine wong amagang laku,

sesucine asarana saking warih,

kang wus lumrah limang wektu,

wantu wataking wawaton.

Artinya:

Sembah raga adalah,

perbuatan orang yang olah batin,

menyucikan diri dengan sarana air,

yang sudah biasa lima waktu,

sebagai rasa hormat terhadap waktu.

Pada 3

Inguni uni durung,

sinarawung wulang kang sinerung,

lagi iki bangsa kas ngetok-ken anggit,

mintoken kawagnyanipun,

sarengate elok-elok.

Artinya:

Dahulu kala belum pernah,

dikenalkan dengan ajaran yang tersembunyi,

baru kali ini ada orang menunjukkan hasil rekaan,

memamerkan kebiasaannya,

amalannya aneh-aneh.

Pada 4

Thithik kaya santri Dul,

gajeg kaya santri brahi kidul,

saurute Pacitan pinggir pasisir,

ewon wong kang padha nggugu,

anggere guru nyalemong.

Artinya:

Kadang seperti santri Dul,

seperti santri wilayah selatan,

sepanjang pinggir pantai Pacitan,

ribuan orang yang memercayai,

asal-asalan dalam berbicara.

Pada 5

Kasusu arsa weruh,

cahyaning Hyang kinira yen karuh,

ngarep-arep urup arsa den kurebi,

tan wruh kang mangkoko iku,

akale keliru enggon.

Artinya:

Terburu-buru ingin tahu,

cahaya Tuhan dikira dapat ditemukan,

menanti-nanti besar keinginan mendapatkan anugrah,

namun gelap mata orang tidak paham yang demikian itu,

nalarnya sudah salah kaprah.

Pada 6

Yen ta jaman rumuhun,

tata titi tumrah tumaruntun,

bangsa srengat tan winor lan laku batin,

dadi ora gawe bingung,

kang padha nembah Hyang Manon.

Artinya:

Bila zaman dahulu,

tertib teratur runtut harmonis sariat

tidak dicampur aduk dengan olah batin,

jadi tidak membuat bingung,

bagi yang menyembah Tuhan.

Pada 7

Lire sarengat iku,

kena uga ingaranan laku,

dihin ajeg kapindhone ataberi,

pakolehe putraningsun,

nyenyeger badan mwih kaot.

Artinya:

Sesungguhnya syariat itu,

dapat juga disebut tindakan,

pertama tetap kedua tekun,

anakku hasil syariat adalah,

menyegarkan badan agar lebih baik,

Pada 8

Wong seger badanipun,

otot daging kulit balung sungsum,

tumrah ing rah memarah antenging ati,

antenging ati nunungku,

angruwat ruweting batos.

Artinya:

Orang segar badannya,

otot, daging, kulit, dan tulang sum-sumnya

mempengaruhi darah membuat tenang di hati.

ketenangan hati membantu,

membersihkan kekusutan batin.

Pada 9

Mangkono mungguh ingsun,

ananging ta sarehne asnafun,

beda-beda panduk panduming dumadi,

sayektine nora jumbuh,

tekad kang padha linakon.

Artinya:

Begitulah menurutku,

tetapi karena orang itu berbeda-beda,

beda pula garis pembagian nasib,

sebenarnya tidak cocok,

tekad yang dijalankan itu.

Pada 10

Nanging ta paksa tutur,

rehning tuwa tuwase mung catur,

bok lumuntur lantaraning reh utami,

sing sapa temen tinemu,

nugraha geming Kaprabon.

Artinya:

Namun terpaksa bertutur,

karena sudah tua kewajibannya menasehati,

siapa tahu dapat lestari menjadi pedoman tingkah laku utama,

barang siapa bersungguh-sungguh mendapatkan,

anugrah kemuliaan dan kehormatan.

Pada 11

Samengko sembah kalbu,

yen lumintu uga dadi laku,

laku agung kang kagungan Narapati,

patitis tetesing kawruh,

meruhi marang kang momong.

Artinya:

Berikutnya sembah kalbu,

jika berkesinambungan juga menjadi olah,

olah tingkat tinggi yang dimiliki Raja,

tujuan ajaran ilmu ini,

memahami yang mengasuh diri (guru sejati/pancer).

Pada 12

Sucine tanpa banyu,

mung nyenyuda mring hardaning kalbu,

pambukane tata, titi, ngati-ati

atetep talaten atul,

tuladhan marang waspaos.

Artinya:

Bersucinya tidak menggunakan air

hanya menahan nafsu di hati

dimulai dari perilaku yang tertata, teliti dan hati-hati

teguh, sabar dan tekun,menjadi watak dasar,

teladan bagi sikap waspada.

Pada 13

Mring jatining pandulu,

panduk ing ndon dedalan satuhu,

lamun lugu persuasi reh maligi,

lageane tumalawung,

wenganing alam kinaot.

Artinya:

Alam penglihatan yang sejati,

menggapai sasaran dengan tata cara yang benar,

biarpun sederhana tatalakunya dibutuhkan konsentrasi,

sampai terbiasa mendengar suara sayup-sayup dalam keheningan,

itulah terbukanya “alam lain.”

Pada 14

Yen wus kambah kadyeku,

sarat sareh saniskareng laku,

kalakone saka eneng, ening, eling,

Ilanging rasa tumlawung,

kono adile Hyang Manon.

Artinya:

Bila telah mencapai seperti itu,

syaratnya sabar segala tingkah laku,

berhasilnya dengan cara membangun kesadaran, mengheningkan cipta, pusatkan pikiran kepada Tuhan,

dengan hilangnya rasa sayup-sayup,

di situlah keadilan Tuhan terjadi.

Pada 15

Gagare ngunggar kayun,

tan kayungyun mring ayuning kayun,

bangsa anggit yen ginigit nora dadi,

marma den awas den emut,

mring pamurunging lelakon.

Artinya:

Gugurnya jika menuruti kemauan jasad (nafsu),

tidak suka dengan indahnya kehendak rasa sejati,

jika merasakan keinginan yang tidak-tidak akan gagal,

maka awas dan ingat lah,

dengan yang membuat gagal tujuan.

Pada 16

Samengko kang tinutur,

sembah katri kang sayekti katur,

mring Hyang Sukma sukmanen sehari-hari,

arahen dipun kecakup,

sembah ing Jiwa sutengong.

Artinya:

Nanti yang diajarkan,

sembah ketiga yang sebenarnya,

diperuntukkan kepada Hyang sukma (jiwa) setiap hari,

hayatilah dalam kehidupan

usahakan agar mencapai sembah jiwa ini.

Pada 17

Sayekti luwih prelu,

ingaranan pepuntoning laku,

kalakuan kang tumrap bangsaning batin,

sucine lan Awas Emut,

mring alame alam amot.

Artinya:

Sungguh lebih penting,

yang disebut sebagai ujung jalan spiritual,

tingkah laku olah batin,

sucinya dengan awas dan selalu ingat,

akan alam nan abadi kelak.

Pada 18

Ruktine ngangkah ngukut,

ngiket ngrukut triloka kakukut,

jagad agung gimulung lan jagad cilik,

den kandel kumandel kulup,

mring kelaping alam kono.

Artinya:

Cara menjaganya dengan menguasai, mengambil,

mengikat, merangkul erat tiga jagad yang dikuasai,

jagad besar tergulung oleh jagad kecil,

pertebal keyakinanmu anakku,

akan kilaunya alam tersebut.

Pada 19

Keleme mawa limut,

kalamatan jroning alam kanyut,

sanyatane iku kanyatan kaki,

Sajatine yen tan emut,

sayekti tan bisa awor.

Artinya:

Tenggelamnya rasa melalui suasana “remang berkabut”,

mendapat firasat dalam alam yang menghanyutkan,

sebenarnya hal itu kenyataan, anakku,

sejatinya jika tidak ingat,

sungguh tak bisa “larut”.

Pada 20

Pamete saka luyut,

sarwa sareh saliring panganyut,

lamun yitna kayitnan kang mitayani,

tarlen mung pribadinipun,

kang katon tinonton kono.

Artinya:

Jalan keluarnya dari luyut (batas antara lahir dan batin),

tetap sabar mengikuti “alam yang menghanyutkan”,

asal hati-hati dan waspada yang menuntaskan ,

tidak lain hanyalah diri pribadinya,

yang tampak terlihat di situ.

Pada 21

Nging away salah surup,

kono ana sajatining Urub,

yeku urup pangarep uriping Budi,

sumirat sirat narawung,

kadya kartika katongton.

Artinya:

Tetapi jangan salah mengerti,

di situ ada cahaya sejati,

ialah cahaya pembimbing, ersua penghidup akal budi,

bersinar lebih terang dan cemerlang,

tampak bagaikan bintang.

Pada 22

Yeku wenganing kalbu,

kabukane kang wengku winengku,

wewengkone wis kawengku neng sireki,

nging sira uga kawengku,

mring kang pindha kartika byor.

Artinya:

Yaitu membukanya pintu hati,

terbukanya yang kuasa-menguasai (antara cahaya/nur dengan jiwa/roh),

cahaya itu sudah kau (roh) kuasai. Tapi kau (roh),

juga dikuasai oleh cahaya,

yang seperti bintang cemerlang.

Pada 23

Samengko ingsun tutur,

gantya sembah ingkang kaping catur,

sembah Rasa karasa rosing dumadi,

dadine wis tanpa tuduh,

mung kalawan kasing Batos.

Artinya:

Nanti ingsun ajarkan,

beralih sembah yang ke empat,

sembah rasa terasalah hakikat kehidupan,

terjadinya sudah tanpa petunjuk,

hanya dengan kesentosaan batin.

Pada 24

Kalamun ersua lugu,

aja pisan wani ngaku-aku,

antuk siku kang mangkono iku kaki,

kena uga wenang muluk,

kalamun wus pada melok.

Artinya:

Apabila belum bisa membawa diri,

jangan sekali-kali berani mengaku-aku,

mendapat laknat yang demikian itu anakku,

artinya, seseorang berhak berkata,

apabila sudah mengetahui dengan nyata.

Pada 25

Meloke ujar iku,

yen wus ilang sumelang ing kalbu,

ersu kandel kumandel ngandel mring takdir,

iku den awas den emut,

den memet yen arsa momot.

Artinya:

Menghayati pelajaran ini,

bila sudah hilang keragu-raguan hati,

hanya percaya dengan sungguh-sungguh kepada takdir,

itu harap diwaspadai, diingat,dicermati

bila ingin menguasai seluruhnya.

Pada 26

Pamoring ujar iku,

kudu santosa ing budi teguh,

sarta sabar tawekal legaweng ati,

trima lila ambeh sadu,

weruh wekasing dumados.

Artinya:

Melaksanakan petuah itu,

harus kokoh pada budi pekertinya teguh,

serta sabar tawakal lapang dada,

menerima dan ikhlas apa adanya,

mengerti kepercayaan yang terjadi.

Pada 27

Sabarang tindak-tanduk,

tumindake lan sakadaripun,

den ngaksama kasisipaning ersua,

sumimpanga ing laku dur,

hardaning budi kang ngrodon.

Artinya:

Segala perbuatan,

dilakukan apa adanya,

lalu minta maaf atas kesalahan ersua,

menjauhlah dari perbuatan tercela,

(dan) watak angkara yang besar.

Pada 28

Dadya wruh iya dudu,

yeku minangka pandaming kalbu,

ersua buka ing kijab bullah agaib,

sesengkeran kang sinerung,

dumunung telenging batos.

Artinya:

Sehingga tahu baik dan buruk,

demikian itu sebagai ketetapan hati,

yang membuka penghalang/tabir antara ersua dan Tuhan,

tersimpan dalam rahasia,

terletak di dalam batin.

Pada 29

Rasaning urip iku

krana momor pamoring sawujud,

wujuddullah sumrambah ngalam sakalir,

lir manis kalawan madu,

endi arane ing kono.

Artinya:

Rasa hidup itu,

dengan cara manunggal dalam satu wujud,

wujud Tuhan meliputi alam semesta,

bagaikan rasa manis dengan madu.,

begitulah ungkapannya.

Pada 30

Endi manis endi madu,

yen wis bisa nuksmeng pasang semu,

pasamaoning hebing kang Maha Suci,

kasikep ing tyas kacakup,

kasat mata lair batos.

Artinya:

Mana manis mana madu,

apabila sudah bisa menghayati gambaran itu,

bagaimana pengertian sabda Tuhan,

hendaklah digenggam di dalam hati,

sudah jelas dipahami secara lahir dan batin.

Pada 31

Ing batin tan keliru,

kedhap kilap liniling ing kalbu,

kang minangka colok celaking Hyang Widi,

widadaning budi sadu,

pandak panduking liru nggon.

Artinya:

Dalam batin tak keliru,

segala cahaya indah dicermati dalam hati,

yang menjadi petunjuk dalam memahami hakikat Tuhan,

selamatnya karena budi (bebuden),

tak ingin salah tempat.

Pada 32

Nggonira mrih tulus,

kalaksitaning reh kang rinuruh,

ngayanira mrih wikal warananing gaib,

paranta lamun tan weruh,

sasmita jatining endhog.

Artinya:

Agar usahamu berhasil,

dapat menemukan apa yang dicari,

upayamu agar dapat melepas penghalang kegaiban,

apabila kamu tidak paham maka lihatlah,

tentang bagaimana terjadinya telur.

Pada 33

Putih lan kuningpun,

lamun arsa titah teka mangsul,

dene nora mantra-mantra yen ing lair,

bisa aliru wujud,

kadadeyane ing kono.

Artinya:

Putih dan kuningnya,

bila akan mewujud (menetas),

wujud datang berganti,

tak disangka-sangka bila kelahirannya,

dapat berganti wujud,

kejadiannya di situ.

Pada 34

Istingarah tan metu,

lawan istingarah tan lumebu,

dene ing njro wekasane dadi njawi,

raksana kang tuwajuh,

aja kongsi kabasturon.

Artinya:

Dipastikan tidak keluar,

juga tidak masuk,

kenyataannya yang di dalam akhirnya menjadi di luar,

rasakan sunguh-sungguh,

jangan sampai terlanjur tak bisa memahami.

Pada 35

Karana yen kebanjur,

kajantaka tumekeng saumur,

tanpa tuwas yen tiwasa ing dumadi,

dadi wong ina tan wruh,

dheweke den anggep dhayoh.

Artinya:

Karena jika terlanjur,

akan tak tenang sepanjang hidup,

tidak ada gunanya bila kelak mati

jadi orang hina tapi mengerti,

dirinya sendiri dianggap tamu.

Contoh Pupuh Gambuh

Dikutip dari buku Macapat Tembang Jawa Indah dan Kaya Makna (2018), berikut contoh Pupuh Gambuh.

Aja nganti kabanjur,

barang polah ingkang nora jujur,

yen kebanjur sayekti kojur tan becik,

becik ngupayaa iku,

pitutur ingkang sayektos.

(Jangan sampai terlanjur,

bertingkah polah yang tidak jujur,

jika terlanjur tentu akan celaka dan tidak baik,

lebih baik berusahalah,

ikuti ajaran yang sejati.)

Tutur bener puniku,

sayektine apantes tiniru,

nadyan metu saking wong sudra papeki,

lamun becik nggone muruk,

iku pantes sira anggo,

(Ucapan yang benar itu,

sejatinya pantas untuk diikuti,

meskipun keluar dari orang yang rendah derajatnya,

jika baik dalam mengajarkan,

itu pantas engkau gunakan.)

Ana pocapanipun,

adiguna adigang adigung,

pan adigang kidang adigung pan esthi,

adiguna ula iku,

telu pisan mati sampyuh.

(Ada sebuah ungkapan,

adiguna, adigang, adigung,

adigang itu seperti kijang, adigung itu seperti gajah,

adiguna itu ular,

ketiganya mati bersama secara sia-sia.)

Baca juga artikel terkait EDUKASI DAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Umi Zuhriyah

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Umi Zuhriyah
Penulis: Umi Zuhriyah
Editor: Fadli Nasrudin