tirto.id - Pasal 7 sebelum dan sesudah amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merujuk pada pembaruan atau perubahan aturannya. Sehubungan dengan itu, pasal 7 UUD 1945 telah mengalami empat kali amandemen.
Setelah disahkan tahun 1945, pada 17 Agustus 1950 diberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Aturan ini muncul seiring dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) usai penyerahan kedaulatan oleh Belanda.
Pemerintahan sementara ini berhenti pada 1959, sehingga menyebabkan UUD 1945 bertahan sebagai pijakan sampai tahun 1998. Setelah berakhirnya Orde Baru, amandemen UUD 1945 pun dilakukan sebanyak 4 kali, yaitu pada 1999, 2000, 2001, dan 2002.
Bunyi Pasal 7 UUD 1945 Sebelum Amandemen
Bunyi Pasal 7 sebelum amandemen menyebutkan bahwa presiden dan wakilnya memiliki masa jabatan selama lima tahun. Apabila telah selesai, dapat dipilih kembali tanpa ada batasan berapa kali periode diperbolehkan menjabat.
Berikut bunyi teks asli pasal 7 sebelum amandemen.
Pasal 7
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali
Bunyi Pasal 7 UUD 1945 Sesudah Amandemen
Amandemen UUD 1945 pertama dilakukan tahun 1999. Salah satu pasal yang penting dan diamandemen pada Sidang Umum MPR 1999 adalah Pasal 7 tentang jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Pasal 7 kembali mengalami perubahan dalam amandemen ketiga pada 2001. Kala itu, ditambahkan isinya melalui Pasal 7A, 7B, dan 7C. Sementara untuk Pasal 7 yang utama, isinya masih seperti pada amandemen pertama dan tidak direvisi.
Berikut ini hasil amandemen UUD 1945 Pasal 7, dikutip dari laman resmi DPR RI.
Pasal 7
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.*)
Pasal 7A
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. ***)
Pasal 7B
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. ***)
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. ***)
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. ***)
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadiladilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. ***)
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. ***)
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. ***)
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. ***)
Pasal 7C
Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. ***)
____________
*) Perubahan Pertama
***) Perubahan Ketiga
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Yuda Prinada