tirto.id - Kasus pemalsuan surat berharga belakangan ini semakin marak terjadi di masyarakat. Contoh surat berharga yang kerap dipalsukan misalnya saham, akta notaris, surat tanah, surat nikah, ijazah dan lain-lain.
Untuk menjerat pelaku pemalsuan surat berharga tersebut, hakim akan menggunakan pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Tepatnya, terkait pemalsuan berbagai jenis surat berharga dan akta tersebut diatur pada Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada Bab XII dari Pasal 263 sampai dengan Pasal 276.
KUHP adalah kitab induk berisi peraturan hukum pidana positif yang digunakan oleh Indonesia sebagai negara hukum. Tujuan digunakanya KUHP adalah untuk mengadili berbagai kasus dan perkara yang menyangkut pidana agar seluruh kepentingan umum yang menyangkut keamanan, ketentraman, kesejahteraan, dan ketertiban masyarakat bisa terjaga.
Saat pertama disusun di masa penjajahan Belanda pada 15 Oktober 1915, KUHP dikenal dengan nama Wetboek van Strafrecht Voor Nederlandsch Indie (WvSNI). Kemudian 1 Januari 1918 WvSNI mulai diberlakukan di Hindia Belanda atau Indonesia saat itu.
Usai proklamasi tepatnya 26 Februari 1946, WvSNI berubah nama jadi KUHP kemudian isinya disesuaikan dengan kondisi negara yang telah merdeka. Para pendiri bangsa yang melakukan pengubahan nama dan perombakan isi KUHP tersebut membuang peraturan tentang kerja rodi serta denda uang gulden yang sebelumny aterdapat di dalam WvSNI.
KUHP pun dibagi menjadi tiga buku dengan tiga aturan yang berbeda yaitu:
Buku 1 berisi tentang aturan umum (Pasal 1-103)
Buku 2 berisi tentang aturan pidana kejahatan (Pasal 104-488)
Buku 3 memuat aturan pidana pelanggaran (Pasal 489-569)
Isi Pasal 266 KUHP
Pasal 266 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) adalah salah satu di antara pasal yang mengatur tentang pemalsuan surat berharga pada KUHP, yakni yang terdapat di Bab XII dari Pasal 263 - Pasal 276.
Bunyi Pasal 266 adalah seperti berikut ini,
(1) Barangsiapa menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam sesuatu akte authentiek tentang sesuatu kejadian yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akte itu, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akte itu seolah-olah keterangannya itu cocok dengan hal sebenarnya, maka kalau dalam mempergunakannya itu dapat mendatangkan kerugian, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum barangsiapa dengan sengaja menggunakan akte itu seolah-olah isinya cocok dengan hal yang sebenarnya jika pemakaian surat itu dapat mendatangkan kerugian. (K.U.H.P. 35, 52, 64, 264-1,274, 276, 279, 451 bis, 451 ter, 452, 486).
Penulis: Cicik Novita
Editor: Nur Hidayah Perwitasari