tirto.id - Indonesia memiliki acuan dalam mengadili kasus tindak pidana melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Aturan tersebut merupakan warisan Belanda yang mulanya bernama Wetboek van Strafrechtvoor Nederlandsch Indie (WvSNI) dan diberlakukan pada 1 Januari 1918. Aturan ini lantas diadopsi Indonesia setelah merdeka pada 17 Agustus 1945 menjadi KUHP lewat UU Nomor 1 tahun 1946 tanggal 26 Februari 1946.
Dalam pengadopsian tersebut, aturan kerja rodi dihapuskan. Aturan tentang penggantian denda juga diubah dari mata uang gulden ke rupiah. KUHP menjadi acuan hukum pidana positif hingga saat ini.
KUHP dipakai untuk mengadili perkara pidana demi melindungi kepentingan umum. Di dalamnya terkandung peraturan tentang tindak pidana yang bisa berdampak buruk pada keamanan, ketentraman, kesejahteraan, dan ketertiban umum. Hukum pidana menjadi upaya hukum terakhir penyelesaian yang memiliki sanksi bersifat memaksa.
KUHP memiliki 569 pasal yang terbagi ke dalam 3 buku. Buku 1 tentang Aturan Umum yang memuat Pasal 1-103. Buku 2 mengenai Kejahatan yang beri Pasal 104-488. Buku 3 mengenai Pelanggaran yang memuat Pasal 489-569.
Bunyi Pasal 351 KUHP
Pasal 351 KUHP masuk dalam Bab XX di Buku 2 diterangkan mengenai penganiayaan. Pasal ini memiliki 5 ayat dan masih berkaitan dengan pasal lain di KUHP. Mengutip laman Kejari Sukoharjo, berikut bunyi Pasal 351 KUHP selengkapnya:
Pasal 351
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah;
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun;
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun;
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan;
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Dikutip dari laman JDIH Kabupaten Banyuwangi, tindak penganiayaan adalah perlakuan menyiksa atau menindas orang lain. Akibat dari perbuatan tersebut menimbulkan rasa sakit atau luka di tubuh orang lain. Penyiksaan merupakan bagian dari tindakan melawan hukum.
Terkait istilah "luka", penjelasan rincinya termaktub pada Pasal 90 KUHP. Di sana dijelaskan bahwa kategori "luka" meliputi:
- Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut
- Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian
- Kehilangan salah satu panca indera
- Mendapat cacat berat
- Menderita sakit lumpuh
- Terganggu daya pikir selama empat minggu atau lebih
- Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
1. Penganiayaan biasa.
Penganiayaan biasa diatur melalui Pasal 351 KUHP. Penganiayaan ini meliputi bentuk umum penganiayaan yang bukan penganiayaan berat atau ringan.
2. Penganiayaan ringan.
Penganiayaan ini bukan berupa penganiayaan berencana, bukan penganiayaan terhadap ibu/bapak/anak/istri, pegawai yang bertugas, memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa, serta tidak menimbulkan penyakit maupun halangan untuk menjalankan pekerjaan, dan pencaharian. Pengaturannya lewat Pasal 353 dan 356 KUHP.
3. Penganiayaan berencana.
Penganiayaan berencana diatur melalui Pasal 353 KUHP. Ada tiga pembagiannya berdasarkan dampak yang dialami korban yaitu mengaibatkan kematian; mengakibatkan luka berat; dan tidak mengakibatkan luka berat.
4. Penganiayaan berat.
Perbuatan penganiayaan berat menimbulkan luka berat pada orang lain, bahkan kematian. Kejahatan ini diatur lewat Pasal 354 KUHP.
5. Penganiayaan berat berencana.
Kejahatan ini melibatkan penganiayaan berencana yang menimbulkan luka berat pada orang lain. Penindakannya diatur melalui Pasal 354 ayat (1) KUHP
6. Penganiayaan terhadap orang.
Pidananya diatur lewat Pasal 351, 353, 354, dan 355 dan dapat ditambah sepetiganya bila memenuhi syarat:
- Pelaku melakukannya pada ibunya, bapaknya, yang sah, atau istri serta anaknya
- Kejahatan dilakukan pada pejabat ketika atau karena menjalankan tugas yang sah
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Nur Hidayah Perwitasari